MBG, Stunting, dan Ironi Gizi di Hari Anak Nasional

Realisasi Makanan Bergizi Gratis. (ist/indonesia.go.id)

JAKARTA, WongKito.co – Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) pada hari ini, Rabu, 23 Juli 2025. Di media sosial, khususnya di kota-kota besar, berbagai promo dan kegiatan ramai-ramai dikampanyekan di akun-akun playground, mal, hingga produk-produk terkait kebutuhan anak. 

Namun, di kemeriahan selebrasi Indonesia masih dihadapkan pada pekerjaan rumah besar yang tidak bisa ditunda: stunting. Kondisi stunting bukanlah hal baru dalam diskursus kesehatan anak di Indonesia. Kompleksitas masalahnya membuat isu ini tetap relevan, bahkan krusial, setiap kali Hari Anak Nasional datang.

Kita awali dari pengertian stunting. Stunting adalah kondisi ketika tinggi badan anak lebih pendek dari standar usianya akibat kekurangan gizi kronis sejak masa kandungan hingga dua tahun pertama kehidupan. Dampaknya tidak hanya tampak pada fisik, tetapi juga merusak perkembangan otak, sistem imun, bahkan produktivitas saat dewasa nanti.

Data terbaru dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia berhasil ditekan menjadi 19,8%, turun dari 21,5% pada 2023. Penurunan ini patut diapresiasi, tetapi juga menjadi pengingat bahwa sekitar 4,5 juta anak balita di negeri ini masih belum tumbuh optimal.

“Ini bukan sekadar angka. Ini adalah jutaan masa depan yang terancam tak bisa berkembang sepenuhnya,” kata dr. Yulita Karisma, ahli gizi masyarakat dari Universitas Indonesia. “Anak yang stunting punya risiko IQ lebih rendah, lebih rentan sakit, dan saat dewasa memiliki peluang kerja yang lebih kecil.”

Mengapa Masih Banyak Anak Mengalami Stunting?

Penyebab stunting bersifat multidimensi. Kurangnya asupan gizi pada ibu hamil, minimnya pemberian ASI eksklusif, sanitasi yang buruk, hingga praktik pola asuh yang kurang tepat menjadi mata rantai yang saling terkait.

Di desa-desa terpencil, stunting kerap dipandang sebagai dampak dari kemiskinan yang kasat mata: balita yang kurus, akses air bersih terbatas, layanan kesehatan yang jauh, serta gizi ibu hamil yang tak terpenuhi. Namun ancaman serupa diam-diam merayap pula di kota-kota besar, meski dalam rupa yang lebih halus dan tak terduga.

“Kadang orang tua mengira anak gemuk itu sehat. Padahal bisa jadi kelebihan kalori tapi kekurangan zat mikro penting seperti zat besi, zinc, dan vitamin A,” tambah dr. Yulita.

Stunting di wilayah urban bukan lagi semata akibat kelaparan, melainkan karena kekenyangan yang salah arah. Anak-anak kota kini hidup dalam limpahan ultra-processed food (UPF), makanan ultra proses seperti sosis, nugget, mie instan, minuman berpemanis, roti kemasan, dan camilan tinggi gula-garam-lemak. Produk-produk ini mudah diakses, murah, dan sangat menggoda. Namun sayangnya, ia minim nutrisi esensial yang dibutuhkan untuk tumbuh optimal.

Anak-anak kota memang kenyang, tapi tidak cukup mendapatkan zat besi, zinc, protein berkualitas, vitamin A, atau asam folat, yang semuanya krusial untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan otak. Akibatnya, stunting tipe baru pun muncul: tubuh tidak selalu tampak kurus, tetapi perkembangan tinggi badan dan fungsi otak mereka tetap terhambat.

Fenomena ini diperparah oleh gaya hidup sedentari, minim aktivitas fisik, dan minimnya literasi gizi di kalangan orang tua muda urban. Mereka disibukkan oleh pekerjaan, terbiasa membeli makanan instan, dan belum tentu memahami label gizi pada kemasan. Dalam banyak kasus, keputusan makan anak lebih banyak ditentukan oleh rasa dan kemasan lucu, bukan oleh nilai gizi.

“Anak-anak kota yang tampak sehat bisa jadi menderita stunting tersembunyi. Ini yang kami sebut sebagai hidden hunger, yaitu kekurangan mikronutrien di tengah kecukupan kalori,” jelas dr. Yulita.

Masalah ini tidak bisa dianggap sepele. Sebab UPF kini bukan hanya menjadi makanan alternatif, melainkan sumber pangan utama di banyak keluarga kelas menengah ke bawah. Bahkan menurut data Kemenkes 2023, lebih dari 40% asupan harian anak di kota besar berasal dari makanan ultra proses, angka yang meningkat dari tahun ke tahun.

Stunting di kota adalah bentuk lain dari ketimpangan: bukan karena tidak ada makanan, tapi karena makanan yang tersedia tidak mendukung tumbuh kembang. Ini adalah stunting yang tak kasat mata, karena tak selalu tampak pada pandangan pertama, tapi menghantam masa depan anak dengan cara yang sama kejamnya.

Jalan Panjang Intervensi Pemerintah

Sebagai bagian dari upaya menurunkan angka stunting, pemerintah meluncurkan program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak awal tahun 2025. Program ini menyasar lebih dari 82 juta penerima manfaat, termasuk anak sekolah, balita, ibu hamil, dan menyusui. Tujuannya jelas: memutus siklus malnutrisi yang bisa dimulai sejak dalam kandungan.

Pemerintah bahkan membentuk Badan Pangan dan Gizi Nasional untuk mengoordinasikan seluruh upaya ini secara terintegrasi. Namun, pelaksanaannya belum sepenuhnya mulus. Beberapa kasus keracunan makanan di sekolah pada tahap awal implementasi sempat menimbulkan kekhawatiran.

Sejak resmi digulirkan pada Januari 2025, program MBG telah mencatat sedikitnya 17 hingga 19 kasus dugaan keracunan makanan, yang tersebar di lebih dari 10 provinsi, berdasarkan data dari BPOM. Hingga pertengahan tahun ini, lebih dari 1.300 siswa dilaporkan mengalami gejala seperti mual, muntah, dan diare setelah mengonsumsi makanan dalam program ini.

Salah satu insiden pertama terjadi di Cianjur, Jawa Barat, hanya beberapa hari setelah program dimulai. Pada 6 Januari, 72 siswa dilarikan ke puskesmas setempat usai mengonsumsi ayam olahan yang diduga kurang matang. 

Insiden serupa terulang di Sukoharjo, Jawa Tengah, di mana 40 siswa jatuh sakit setelah menyantap menu serupa pada pertengahan Januari. Rentetan kasus terus bermunculan, dari Bandung hingga Bogor, bahkan hingga ke Maluku dan Nusa Tenggara Barat, memperlihatkan pola yang konsisten yakni keracunan terjadi akibat buruknya pengolahan dan distribusi makanan.

“Program ini memang sangat baik, tapi dapur yang digunakan tidak semuanya memenuhi standar kebersihan dan keamanan pangan,” kata Kepala BPOM Penny K. Lukito dalam keterangan persnya pada Mei 2025. 

Ia mengakui bahwa banyak dapur komunitas (SPPG) yang digunakan untuk MBG belum menerapkan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB). Selain itu, makanan sering kali dimasak terlalu awal dan baru dikonsumsi berjam-jam kemudian, menciptakan kondisi ideal untuk pertumbuhan bakteri seperti Salmonella dan E. coli.

Provinsi Jawa Barat menjadi wilayah dengan kasus terbanyak, mencatat lima insiden di kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, dan Indramayu. Salah satu kasus terbesar terjadi di Bogor, ketika 223 siswa dari beberapa sekolah mengalami keracunan massal pada Maret. Peristiwa itu menyebabkan penghentian sementara distribusi makanan MBG di 13 sekolah dan memicu evaluasi skala besar oleh pemerintah daerah.

Meski rentetan insiden ini mengejutkan, pemerintah tetap berkomitmen menjalankan program MBG secara nasional. Dalam beberapa pernyataan, Presiden Prabowo menegaskan bahwa insiden tersebut hanya mencakup sebagian sangat kecil dari total penerima manfaat MBG. Ia meminta pengawasan diperketat dan pelatihan pengelola makanan ditingkatkan untuk menghindari kejadian serupa di masa mendatang.

Sebagai respons, BPOM telah melatih lebih dari 900 petugas pengawas lapangan dan menjalin kerja sama lintas kementerian untuk menstandarisasi semua dapur produksi makanan MBG. Fokus utamanya adalah menjamin keamanan pangan tanpa mengorbankan kecepatan distribusi dan kualitas gizi yang menjadi roh utama program ini.

Di tengah semangat Hari Anak Nasional dan harapan besar pada generasi masa depan, luka-luka kecil seperti ini harus menjadi pelajaran. Program pangan anak tak cukup hanya dilihat dari niat dan angka cakupan. Ia harus dijalankan dengan standar tertinggi, karena yang dipertaruhkan bukan hanya satu atau dua porsi makan siang, melainkan masa depan anak-anak Indonesia.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Ananda Astri Dianka pada 23 Juli 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories