KatoKito
Menavigasi Dunia Multipolar: Memahami Kebijakan Luar Negeri Prabowo
Oleh: Muh. Nizar Sohyb, S.IP.,M.A.*
SEJAK Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Indonesia pada 2024, kebijakan luar negeri Indonesia telah memasuki babak baru.
Dalam menghadapi ketidakpastian global dan ketegangan geopolitik yang semakin meningkat, Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo berusaha untuk memperkuat posisinya di dunia internasional. Kebijakan luar negeri yang lebih aktif dan pragmatis ini mengarah pada respons yang lebih tegas terhadap perubahan besar yang sedang berlangsung dalam tatanan dunia.
Pada tahun 1992, Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man berpendapat bahwa dunia akan memasuki periode akhir sejarah, yang didominasi oleh nilai-nilai liberal-demokrasi Barat setelah runtuhnya Uni Soviet. Namun, pada kenyataannya, prediksi tersebut terbukti tidak tepat. Dunia kini memasuki era multipolar, di mana kekuatan besar, seperti China, Rusia, India, dan negara-negara berkembang lainnya mulai memainkan peran yang semakin signifikan dalam tatanan internasional.
Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan posisi strategis, harus secara aktif menanggapi pergeseran besar dalam politik global. Tidak lagi terjebak dalam paradigma dunia unipolar yang digambarkan Fukuyama, Indonesia di bawah Prabowo berusaha untuk memperkuat posisinya dalam dunia multipolar yang semakin terfragmentasi dan penuh ketegangan. Ini adalah momen bagi Indonesia untuk memanfaatkan peluang yang muncul dari ketegangan antara kekuatan besar dan memperkuat diplomasi internasionalnya.
Baca Juga:
- Intip Yuk 8 Tips memulai Bisnis Kuliner di Usia Muda
- Telkomsel Berikan Tambahan Kuota 30GB/Bulan dan Gratis Langganan Platform AI Premium, Daftar Kartu Halo Makin Untung
- GIIAS 2025: Ini Keuntungan Beli Suzuki Fronx, Ertiga, dan Grand Vitara Selama Pameran
Sebagai bagian dari strategi untuk memahami dan merespons perubahan ini, Prabowo mengundang John Mearsheimer, seorang ahli teori hubungan internasional yang terkenal dengan pendekatan offensive realism-nya, untuk memberi pembekalan kepada kabinet Merah Putih pada Oktober 2024. Mearsheimer menekankan pentingnya kekuatan negara besar dalam sistem internasional yang anarkis, di mana negara-negara besar harus memaksimalkan kekuatan mereka untuk bertahan dan mengamankan kepentingannya.
Prabowo, yang menyadari bahwa dunia tidak lagi berjalan sesuai dengan prediksi Fukuyama, menggunakan kesempatan ini untuk memastikan bahwa kabinetnya memiliki pemahaman yang seragam mengenai tantangan global yang berkembang.
Pembekalan ini bukan hanya tentang teori geopolitik, tetapi juga tentang bagaimana Indonesia harus beradaptasi dalam tatanan dunia yang semakin terfragmentasi, di mana kekuatan besar saling bersaing untuk memperkuat posisi mereka.
Pada saat yang sama, Prabowo menginisiasi retreat kabinet pada Februari 2025, yang bertujuan untuk menegaskan komitmen Indonesia dalam mengadopsi pendekatan lebih realistis dan pragmatis dalam kebijakan luar negeri. Dalam kesempatan itu, Prabowo menekankan bahwa Indonesia harus menjadi negara yang lebih dari sekadar pengamat dalam percaturan geopolitik global—Indonesia harus memiliki pengaruh nyata, memperjuangkan kepentingan nasional, dan memainkan peran aktif dalam dunia yang multipolar ini.
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS pada 2025 adalah salah satu implementasi dari kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih aktif ini. Keanggotaan ini memberikan Indonesia akses lebih besar ke pasar global serta meningkatkan posisi negara dalam ekonomi global, terutama di tengah ketidakpastian yang dihadapi oleh negara-negara maju. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS membuka peluang untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara berkembang lainnya, terutama dalam hal perdagangan, investasi, dan pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, Indonesia juga memperluas kerja sama dengan negara-negara besar, seperti China, Rusia, dan negara-negara Eropa, seperti Prancis, untuk memajukan teknologi dan energi terbarukan. Meskipun demikian, kebijakan ini juga menghadapi tantangan, terutama terkait dengan ketergantungan yang lebih besar terhadap China. Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam ketergantungan yang berlebihan pada satu negara besar, yang bisa mempengaruhi kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia dalam jangka panjang.
Kebijakan America First yang dicanangkan oleh Presiden Donald Trump, yang berfokus pada kepentingan domestik dan penarikan diri dari perjanjian internasional, turut mengubah peta geopolitik global. Penarikan diri Amerika Serikat dari sejumlah perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim dan kesepakatan nuklir Iran, menciptakan kekosongan yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara lain, seperti China dan Rusia, untuk memperluas pengaruh mereka.
Indonesia, di bawah Prabowo, memanfaatkan perubahan ini dengan mempererat hubungan dengan negara-negara besar lainnya, seperti China dan Rusia, serta memperkuat kerja sama dengan negara-negara berkembang melalui BRICS.
Keputusan Indonesia untuk menyeimbangkan hubungan dengan berbagai kekuatan besar menunjukkan kebijakan luar negeri yang fleksibel dan mengedepankan kepentingan nasional, tetapi hal ini juga membawa tantangan dalam menjaga keseimbangan antara negara-negara besar yang memiliki kepentingan geopolitik yang berbeda.
Isu Palestina-Israel tetap menjadi pokok kebijakan luar negeri Indonesia. Indonesia, yang sejak awal mendukung Palestina, tetap berkomitmen untuk tidak mengakui Israel sampai Palestina merdeka. Namun, Prabowo dalam pernyataan di 2025 menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengakui Israel jika Israel mengakui kemerdekaan Palestina dan menghentikan pendudukan.
Pendekatan ini menunjukkan kebijakan luar negeri yang lebih fleksibel dan pragmatis. Indonesia tidak hanya berpegang pada posisi tradisional, tetapi juga membuka peluang untuk diplomasi yang lebih realistis dan memungkinkan Indonesia untuk memainkan peran sebagai mediator penting dalam konflik internasional. Keputusan ini membawa peluang bagi Indonesia untuk menjadi aktor utama dalam diplomasi global, meskipun dapat memicu reaksi domestik dari kelompok yang lebih condong pada solidaritas penuh dengan Palestina.
Sebagai pemimpin ASEAN, Indonesia memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Namun, tantangan yang dihadapi ASEAN, seperti ketegangan terkait Laut China Selatan dan perbedaan pandangan di antara negara-negara anggotanya, membuat Indonesia harus terus memimpin dengan bijaksana. Indonesia berfokus pada penguatan kerja sama politik, ekonomi, dan keamanan di ASEAN untuk memastikan bahwa kawasan ini tetap stabil dan dapat menghadapi tantangan eksternal, terutama yang berkaitan dengan ketegangan besar antara negara-negara besar, seperti China dan Amerika Serikat.
Keberhasilan Indonesia dalam memimpin ASEAN juga dipengaruhi oleh kemampuannya untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara besar sambil memperjuangkan stabilitas dan kemakmuran kawasan. Indonesia harus terus memperkuat kerja sama regional di ASEAN dengan memastikan bahwa negara-negara anggota dapat bersatu dalam menghadapi ketegangan yang berkembang di luar kawasan.
Meskipun kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Prabowo membawa banyak peluang, kebijakan ini juga membawa beberapa risiko. Salah satu risiko terbesar adalah ketergantungan terhadap negara-negara besar, seperti China. Kerja sama Indonesia dengan China melalui BRI dan investasi besar di sektor infrastruktur memang membuka peluang pembangunan yang signifikan. Namun, ketergantungan pada satu negara besar juga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi, terutama jika ketegangan geopolitik antara China dan negara-negara Barat meningkat.
Baca Juga:
- Ada Tetangga RI, Berikut 10 Kota Terkaya di Dunia yang Jadi Favorit Para Miliarder
- Jambore Jurnalistik 2025: Suara Lingkungan Menggema dari Pesisir Manado
- Saham NPGF dan NRCA Melesat, IHSG Dibuka Menguat ke 7.359,31
Prabowo juga harus berhati-hati dalam menjaga keseimbangan antara memperkuat hubungan dengan China dan negara-negara Barat. Indonesia perlu memastikan bahwa investasi asing tetap bermanfaat bagi pembangunan domestik tanpa mengorbankan kedaulatan ekonomi dan sosial.
Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Prabowo Subianto mencerminkan perubahan besar dalam cara Indonesia berinteraksi dengan dunia internasional. Indonesia kini lebih terlibat dalam diplomasi aktif yang berfokus pada penguatan hubungan dengan negara-negara besar, memperjuangkan perdamaian dunia, dan menjaga kedaulatan nasional. Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, memperkuat hubungan dengan China dan Rusia, serta mendukung solusi dua negara untuk Palestina-Israel, menunjukkan fleksibilitas Indonesia dalam menanggapi dinamika global.
Namun, kebijakan ini juga membawa risiko besar, terutama terkait dengan ketergantungan pada negara besar dan tantangan internal dalam mendukung kebijakan luar negeri yang fleksibel. Keberhasilan kebijakan luar negeri Indonesia bergantung pada kemampuan untuk menyeimbangkan peluang dan risiko ini, memastikan bahwa Indonesia tetap menjaga kedaulatan nasional dengan tegas, sementara memperkuat posisinya sebagai negara yang tidak hanya berperan dalam kawasan, tetapi juga di panggung dunia.
* Dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya.