Mengulik Langkah Membangun Kembali Harmoni Gajah Sumatra dan Manusia

diskusi dan pemutaran film ASA Gajah Sumatra di Air Sugihan (WongKito.co/Nila Ertina)

SORE itu, Minggu (25/9/2022) diawali dengan menonton bersama (Nobar) Film Dokumenter "ASA Gajah Sumatra di Air Sugihan" sekelompok mahasiswa dan pemuda berkumpul di ruang pertemuan lantai I Gedung FISIP UIN Raden Fatah Palembang.

Hadir juga narasumber diskusi dan pemutaran film ASA Gajah Sumatra di Air Sugihan, Dr. Dolly Priatna (Belantara), Syamsuardi (Forest Wildlife Society), Taufik Wijaya (Rumah Sriksetra) dan Dr. Yenrizal dari FISIP UIN Raden Fatah Palembang.

Film dengan durasi 29 menit lebih tersebut, menjadi salah satu daya tarik peserta untuk hadir meluangkan waktu di hari libur.

Film dibuka dengan cerita oleh pedongeng, Inug Dongeng yang menarasikan bagaimana awal mulanya gajah yang menjadi hewan buruan kelompok manusia yang tinggal di dalam gua.

Cerita tersebut menggambarkan sekelompok manusia gua kalah akibat, serang balik dari sejumlah gajah yang awalnya akan dijadikan santapan lezat bagi mereka.

Baca Juga:

Menarik di sini, tim kolaborasi Belantara Foundation, Forest Wildlife dan Rumah Sriksetra  yang didukung Keindanren Nature Conservation Fund (KNCF) melibatkan anak-anak sekolah yang bermukim di desa kawasan konservasi Gajah Sumatra Air Sugihan.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna mengungkapkan tim berupaya sejak dini memperkuat kesadaran generasi muda, dengan menyasar anak-anak sekolah dasar (SD) di Air Sugihan dengan melakukan edukasi dan penyadartahuaan terhadap gajah sumatra.

"Kami mengisi pengetahuan anak-anak yang hidup berdampingan dengan kawasan konversi gajah, melalui pertunjukan seni berupa dongen melibat siswa-siswi dari tujuh sekolah," kata dia.

Ia menjelaskan dengan penguatan kelompok masyarakat dalam memitigasi konflik, edukasi dan penyadartahuan, serta pengayaan habitat gajah, diharapkan dapat mengurangi konflik manusia-gajah di Lanskap Padang Sugihan.

Dimana areal tersebut meruapakan salah satu dari sedikit habitat gajah yang tersisa yang dapat mendukung kelangsungan hidup populasi gajah dalam jangka panjang, ujar dia.

Populasi Gajah Sumatra Terbanyak di Sumsel

"Kabar gembiranya, di Sumatera Selatan khususnya di sub kantong Air Sugihan yang tahun 2019 terdapat 46 individu gajah, terbatu bertambah 3 ekor anak gajah," kata Syamsuardi dari Forest Wildlife Society.

Semakin menyenangkan lagi, dari 46 gajah dewasa yang dibagi menjadi tiga kelompok tersebut jumlah gajah jantan dan gajah betina cenderung berimbang.

"Seperti kita ketahui, ditemukan dalam kelompok gajah hanya gajah betina, karena perburuan gading masih menjadi ancaman," kata dia lagi.

Termasuk kelompok gajah di Ogan Komering Ulus (OKU) Selatan, Gunung Raya yang hanya ditemykan populasi gajah betina.

Baca Juga:

Khusus di kawasan konservasi gajah Air Sugihan, Syamsuardi mengatakan merupakan rumah nyaman gajah yang berdampingan dengan aktivitas masyarakat dibeberapa desa wilayah tersebut.

Hal itu, tambah dia tentunya menjadi kabar gembira bagi konservasi gajah karena masih ada potensi untuk kembali berkembangnya gajah sumatra.

Apalagi, kekinian dari Aceh sampai Lampung diperkirakan populasi gajah hanya tinggal 1.000 individu saja. Sebelumnya tahun 1985 terdata sekitar 2.000 individu gajah.

Perbaikan habitat gajah menjadi sangat penting dan menjaga keharmonisan  gajah dan manusia juga bagian tak kalah penting.

Gajah dan Manusia Setara

Sama dengan alam mahluk ciptaan tuhan lainnya, gajah dan manusia mestinya hidup saling berdampingan dan harus sama-sama menghargai, satu sama lain, kata Taufik Wijaya dari Rumah Sriksetra.

Sebagai penghargaan manusia atas gajah, di Sumatera Selatan biasanya gajah mendapatkan sebutan datuk atau orang tua. Sehingga, demi menjaga hubungan harmonis antara masyarakat dan gajah sejak dahulu kalah perburuan terhadap gajah tidak diperbolehkan.

"Hubungan harmonis antara manusia dan gajah dulu sangat terjaga baik masyarakat adat yang bermukim di kawasan dataran tinggi maupun dataran rendah," ujar dia.

Namun, kini mulai terkikis disebabkan orientasi manusia terhadap bentang alam yang menjadi pangkal konflik.

Padahal tidak memburu atau menganggu kehidupan gajah dan hubungan harmonis ditemukan dalam berbagai adat di Sumatera karena berbagai pengetahuan lampau, yg menjamin keharmonisan manusia dan gajah, tambah dia.

Sekali lagi, kata dia manusia dengan alam, seperti juga flora dan fauna memiliki kesetaraan dan keseimbangan, menghargai gajah sumatra menjadi sebuah sikap bukan pilihan, kata Taufik.(ert)


Related Stories