Mengungkap Potensi Desa Upang Marga yang Bersiap jadi Desa Wisata

Salah satu perajin kemplang udang di Desa Upang Marga (ist)

BAGI masyarakat Kota Palembang nama Upang mungkin tidaklah asing, sangat wajar karena memang sudah sejak jaman sebelum kemerdekaan RI, bahkan penjajah Belanda belum berkuasa di negeri ini, Upang konon menjadi salah satu kawasan paling awal terbentuknya pemukiman di Sumatera Selatan.

Kekinian, Desa Upang sudah terbagi menjadi beberapa desa dengan kecamatan yang berbeda juga. Kali ini, kita coba mengungkap potensi ekonomi dan wisata di Desa Upang Marga ya.

Untuk sampai ke Desa Upang Marga, dari Kota Palembang kita bisa memilih untuk menempuh jalur sungai atau darat. Namun, hingga kini jalur sungai masih jadi pilihan utama karena bisa lebih cepat dan tinggal datang saja ke dermaga tak jauh dari Jembatan Ampera atau pusat Kota Palembang.

Jalur darat bisa juga jadi pilihan, hanya saja infrastruktur jalannya cenderung seadanya saja. Karena itu, tak heran saat air pasang jalan pun biasanya terendam.

Saya dan kawan satu tim, Selasa (24/8/2021) memilih untuk menelusuri jalan sungai. Sesuai arahan ketua tim kami menggunakan speed boat dari Dermaga Sungai Lais, atau berjarak sekitar 14 kilometer dari tempat kami bertemu. di kawasan Jalan Dwikora Palembang.

Dari Dermaga Sungai Lais, menumpang speed boat dengan kecepatan tinggi sekitar 1 jam, serang atau sopir speed boat yang mengendalikan laju angkutan sungai tersebut menelusuri Sungai Musi yang berarus deras dan sering berpapasan dengan kapal-kapal pengangkut batubara.

Oya, untuk kapal-kapal batubara ini jumlahnya lumayan banyak, kami tak kesampaian menghitung tapi paling tidak ada belasan kapal pengangkut hasil mengeruk bumi ini baik yang sama-sama melintasi Sungai Musi maupun yang terparkir di tepi sungai.

Setelah serang menepikan speed boat-nya, kami pun turun dan menapaki jalan kecil menuju kantor Desa Upang Marga. Hanya melewati beberapa rumah saja sudah tiba di kantor desa, pemandangan menarik karena desa yang berada di tepi Sungai Musi itu ternyata dari awal masuk sudah terlihat potensi ekonomi masyarakat setempat.

Tiap Rumah Produksi Kemplang Udang

Ternyata, setelah mengobrol dengan Kepala Desa Upang Marga, Syaiful Lizan ia mengungkapkan kalau hampir setiap rumah tangga di desanya yang jumlah kepala keluarga mencapai 648 KK dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000 jiwa tersebut memroduksi kemplang udang.

"Kemplang udang disini rasanya lebih enak dan gurih, karena adonannya lebih banyak udang ketimbang tepung," kata kepala desa yang bergelar Magister Sains (MSi) ini.

Dia menjelaskan produk olahan udang tersebut menjadi salah satu unggulan desa yang telah definitif sejak tahun 2009. "Bisa dibandingkan dengan produk serupa dari daerah lain kualitasnya pasti lebih baik, hanya saja promosinya memang masih kurang," ujar dia.

Salah seorang warga Desa Upang Marga, Rus bercerita bahwa sejak tahun 1994 sudah membuat kemplang udang tersebut. Udang dibeli dari warga desa setempat.

Kemplang diolah dari udang yang dicampur dengan tepung sagu dan ditambah garam serta penyedap rasa, dibentuk dan dikukus lalu dijemur, katanya.

Kemplang udang yang berasa gurih tersebut, dijual dengan harga Rp350 per biji dan untuk yang sudah dipanggang Rp500 per biji dan biasanya sudah dijual per kantong Rp10.000.

Selain kemplang panggang, Rus dan warga desa lainnya juga memroduksi kemplang untuk digoreng. Berbeda dengan kemplang panggang, kemplang goreng bentuknya lebih kecil dan biasanya rasanya lebih gurih dan dijual Rp60 ribu per kilogram.

Sinta salah seorang pemudi Desa Upang Marga mengatakan kalau hampir semua warga desa membuat kemplang baik panggang maupun kemplang goreng.

Dia menunjukan sejumlah rumah yang biasanya menjual kemplang panggang yang siap dikonsumsi. "Rumah pinggir jembatan, rumah di samping kantor desa semua jual kemplang kalau mau beli," kata dia.

Siapkan Pantai untuk Desa Wisata

Meskipun masih masuk kategori desa tertinggal, tak membuat perangkat Desa Upang Marga untuk bersiap mewujudkan desa mereka menjadi desa wisata.

Kepala Desa Upang Marga, Syaiful Lizan mengatakan saat ini pihaknya sedang menyiapkan lokasi pantai desa. "Tempatnya tidak jauh dari Sekolah Negeri 25 Upang Marga, luasnya sekitar 5 hektare," kata dia.

"Kami menargetkan tahun depan bisa terealisasi," ujarnya.

Dalam waktu dekat, dia menambahkan bersama tim akan menemui sejumlah stakeholder untuk merealisasikan desa wisata tersebut.

"Tak ketinggalan, nanti kami akan minta dukungan dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno," kata dia lagi.

Membangun desa wisata di Desa Upang Marga, tambah Syaiful tentunya sangat realistis. Meskipun berada di kawasan pedalaman dan perairan Sungai Musi tetapi desa yang luasnya lebih dari 31 kilometer per segi tersebut, tidak perlu waktu lama dari Kota Palembang, hanya sekitar 1 jam saja menumpang transportasi sungai sudah mendarat di desa.

Apalagi, kehidupan warga desa yang mayoritas menjadi nelayan dan terdapat lebih 2.180 hektare lahan persawahan tentunya menjadi bagian menarik lainnya dari desa yang masuk dalam teritorial Kecamatan Air Salek Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Beragam potensi desa, seperti industri rumahan yang tidak hanya membuat kemplang udang tetapi di desa yang mayoritas bersuku melayu tersebut juga ada perajin songket motif Palembang.

Belum lagi, kalau ditarik ke masa lalu, kawasan Upang tercatat sebagai wilayah yang sempat menjadi pusat kemimpinan dengan beragam bukti yang ditemukan.

Potensi yang luar biasa ini, kata Syaiful tentu sayang kalau hanya dibiarkan. Pembangunan kawasan wisata dan menjadikan Desa Upang Marga menjadi destinasi wisata akan berdampak pada bertumbuhnya perekonomian masyarakat desa.

Hal itu, tentu akan berdampak juga pada peningkatan taraf hidup masyarakat desa sehingga bisa bangkit dari desa tertinggal menjadi desa maju.

Sementara, untuk bersiap menjadi desa wisata dirinya telah membuat beragam program terutama pembangunan sejumlah infrastruktur, seperti jalan dan jembatan.

Lalu, untuk meningkatkan taraf hidup warga agar tetap terjaga kondisi kesehatannya, pihaknya juga segera mendistribusikan tempat penampungan air bersih ke setiap rumah. Karena, sampai kini warga mengandalkan air Sungai Musi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Kondisi air sungai tentunya sangat bergantung dengan cuaca atau musim, dimana saat musim kemarau biasanya air menjadi asin akibat masuknya air laut dari Selat Bangka. "Kalau tidak ada penampungan, warga terpaksa menggunakan air payau untuk mencukupi kebutuhan air," ungkap dia.(Nila Ertina)  

 

Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories