Perempuan dan Anak Paling Rentan jadi Korban TPPO, ini Penjelasan dan Langkah Kemen PPPA

Perempuan dan Anak Paling Rentan jadi Korban TPPO, ini Penjelasan dan Langkah Kemen PPPA (ist)

PALEMBANG, WongKito.co – Perempuan dan anak menjadi kelompok paling rentan menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yaitu berupa kejahatan kemanusiaan yang mencakup berbagai bentuk eksploitasi, seperti kerja paksa, pernikahan paksa, dan prostitusi dengan beragam modus.

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO Kemen PPPA, Prijadi Santoso mengungkapkan perempuan dan anak-anak seringkali menjadi target TPPO karena ketidaksetaraan gender yang membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi.

Selain itu, kemajuan teknologi informasi juga telah memperluas modus TPPO, termasuk melalui online scamming yang menjanjikan pekerjaan dan pendapatan instan, katanya pekan lalu.
 

Baca Juga:

Ia menjelaskan melalui platform online, pelaku merekrut calon korban, memanipulasi situasi, dan mengiming-imingi tawaran magang, kerja, beasiswa, hingga pendapatan instan melalui online scamming.

Karena itu, pemerintah Indonesia bersama seluruh pemangku kepentingan harus bergerak aktif melakukan sosialisasi guna meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya perempuan terkait ancaman TPPO serta meningkatkan pengetahuan mengenai prosedur migrasi yang aman bagi perempuan, ujar Prijadi dalam Media Talk dengan tema “Perempuan Merdeka dari Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang”.

Menurut dia berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2023, terdapat 252 korban dewasa TPPO, dengan 235 di antaranya adalah perempuan. Untuk korban anak, terdapat 206 korban, dimana 200 di antaranya adalah anak perempuan.

"Data ini menggambarkan betapa urgennya perlindungan dan pencegahan bagi kelompok rentan ini," kata dia.

Gugus Tugas Pencegahan

Prijadi menambahkan dalam upaya pencegahan, Kemen PPPA telah membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (GT PP TPPO) melalui Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 yang diperbarui menjadi Perpres Nomor 49 Tahun 2023 dimana Kepolisian Republik Indonesia kini memimpin sebagai ketua harian GT PP TPPO.

Kemen PPPA juga telah menerbitkan Permen PPPA Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berbasis Masyarakat. Permen ini sebagai acuan bagi masyarakat, Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota termasuk pemerintah desa dalam membantu upaya menghilangkan faktor yang menyebabkan terjadinya TPPO sedini mungkin dan mencegah terjadinya keberulangan masyarakat menjadi korban TPPO.

“Upaya ini dilengkapi dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) GT PP TPPO periode 2020 – 2024, yang menargetkan peningkatan koordinasi antar lembaga serta peningkatan kesadaran masyarakat," ujar dia lagi.

Sebagai langkah konkret, Kemen PPPA mendorong pengembangan program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) di berbagai daerah.

Hingga kini, terdapat 138 desa/kelurahan yang telah mengembangkan program ini, dengan 119 di antaranya sudah memiliki peraturan desa yang mendukung upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tambah dia.

Prijadi mengatakan Kemen PPPA saat ini fokus menjadi Koordinator Pencegahan GT PP TPPO untuk melakukan langkah-langkah konkret dalam upaya pencegahan, seperti meningkatkan pemahaman APH, SDM Penyedia Layanan, serta masyarakat tentang mencegah serta mengidentifikasi kasus-kasus TPPO, serta meningkatkan koordinasi antar lembaga, khususnya anggota GT PP TPPO dan pihak-pihak terkait untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas mereka pada perlindungan dan rehabilitasi korban.

Kemen PPPA juga telah menerbitkan Permen PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang SOP Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO, diharapkan semua pihak terkait dapat menyediakan layanan yang sensitif terhadap gender dan berbasis hak asasi manusia, serta berusaha untuk membangun kembali kehidupan mereka dengan menghormati martabat mereka.

Kemudian, ia menegaskan pentingnya migrasi legal bagi Pekerja Migran Indonesia juga menjadi sorotan dalam acara ini sebab dengan adanya migrasi legal, pekerja memiliki perlindungan hukum dan hak yang lebih terjamin, termasuk akses ke layanan kesehatan dan keamanan di negara tujuan. Migrasi legal juga mengurangi risiko eksploitasi dan perdagangan orang.


“Melalui Media Talk ini, Kemen PPPA berharap dapat menggugah kesadaran semua pihak untuk bersama-sama melindungi perempuan dan anak dari ancaman TPPO, serta memastikan hak-hak mereka terpenuhi dalam semua aspek kehidupan," tegas dia.

Selain itu, keluarga berperan penting dalam melindungi anak-anak dari jeratan TPPO. Keluarga dan masyarakat diharapkan dapat memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai bahaya perdagangan orang, serta mendukung anak-anak untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang memadai.

Dalam kesempatan tersebut, Dewan Penasihat Serikat Buruh Migran Indonesia (DPC SBMI) Wonosobo sekaligus Penyintas TPPO, Maizidah Salas membagikan kisah tentang perjalanan menjadi seorang korban TPPO hingga menjadi advokat yang berkomitmen membantu pekerja migran perempuan agar terhindar dari ancaman serupa.

“Saya terjerat dalam jaringan TPPO saat dijanjikan pekerjaan dengan penghasilan besar di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, setibanya di sana, saya dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi dan tanpa kebebasan,” ujar Maizidah.

Setelah melalui berbagai tantangan dan berjuang untuk membebaskan diri, Maizidah akhirnya berhasil pulang ke tanah air. Bangkit dari pengalaman traumatis tersebut, Maizidah kini mendedikasikan hidupnya untuk memberikan edukasi dan advokasi kepada pekerja migran perempuan, agar mereka lebih waspada terhadap ancaman TPPO.

Baca Juga:

Melalui berbagai program pelatihan dan penyuluhan, ia membekali para pekerja dengan pengetahuan tentang hak-hak mereka dan cara melindungi diri dari eksploitasi.

“Saya ingin memastikan tidak ada perempuan lain yang harus mengalami apa yang saya alami. Dengan memberikan informasi yang tepat, kita dapat mengurangi risiko perdagangan orang.

Selain itu, saya juga memiliki konsen terhadap pendidikan dan pemenuhan hak anak para perempuan pekerja migran. Maka dari itu, saya mendirikan fasilitas penitipan dan pendidikan bagi anak-anak para pekerja migran di kampung.

"Prinsip saya, kita sebagai perempuan harus mau belajar dan memperjuangkan hak perempuan dan membantu sesama jika mengalami kesulitan. Saya berharap dapat menginspirasi lebih banyak pihak untuk bergandengan tangan dalam memerangi TPPO dan mendukung pekerja migran perempuan yang aman dan nyaman dalam bekerja," ujar Maizidah.(ril)


Related Stories