Perempuan Melawan: Menuntut Negara Hentikan Penindasan Terhadap Perempuan

Solidaritas Perempuan (ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Solidaritas Perempuan menilai, pemiskinan perempuan belum juga usai di negeri ini sebagai akibat berbagai kebijakan atas nama pembangunan. Hal ini terungkap dalam peluncuran Catatan Tahunan Solidaritas Perempuan 2024 di Jakarta, Selasa (18/02/2025).

Solidaritas Perempuan mencatat, proses  pembangunan  yang  patriarkal  dan  diwarnai penindasan dan pemiskinan, telah berdampak serius terhadap sebanyak 7.595 jiwa di 57 desa Indonesia, perempuan sebesar 3.624  jiwa (47,7%) dan laki-laki 3.971 (52,3%).

Sebanyak 11% penduduk menguasai 59% lahan yang ada di negeri ini dan tentunya memperparah ketimpangan agraria dan pemiskinan terhadap perempuan. Selain itu, realitas pemiskinan  terhadap perempuan oleh negara dengan hari ini melalui rezim legalisme otokratis/ autocratic legalism—yaitu penggunaan hukum untuk memperkuat kekuasaan yang merupakan warisan dari rezim Jokowi.

Hal tersebut dapat dilihat dari pengesahan kebijakan yang tidak dikehendaki oleh perempuan, salah satunya adalah Undang-Undang Cipta Kerja. berbagai kebijakan pembangunan seperti Undang-Undang Cipta Kerja telah memiskinkan perempuan melalui kejahatan sistemik, yakni perampasan tanah dan sumber sumber kehidupan masyarakat.

UU Cipta Kerja telah melanggengkan Pewarisan Konflik Agraria Berkepanjangan bagi masyarakat dan perempuan melalui berbagai konflik-konflik agraria yang telah terjadi sejak zaman orde baru hingga sekarang. Antara lain adalah konflik masyarakat dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di Takalar Sulawesi Selatan dan Kabupaten Ogan Ilir Palembang,  PT Solusi Bangun Andalas di Aceh, Taman Nasional Lore Lindu di Palu Sulawesi Tengah, Rencana Pembangunan Bendungan Kolhua di NTT, PT Sawit Jaya Abadi di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.

“Kalau menurut saya sampai saat ini belum ada titik terangnya, walaupun perjuangan kami sudah berbagai macam cara, sudah mediasi di kantor-kantor seperti Kabupaten, Provinsi, sampai ke Pusat. Bahkan aksi jalan kaki pun sudah kami lakukan selama 27 hari menuju Jakarta, kami ditendang seperti bola. Menurut dari kacamata saya, HGU PTPN VII Cinta manis ini, tidak ada kemufakatan dari masyarakat contohnya HGU di Rayon Burai,” komentar salah satu Perempuan Terdampak dari Desa Tanjung Pinang 1, Kabupaten Ogan Ilir.

Berbagai  Proyek  Strategis Nasional saat ini telah berkembang jauh menjadi rangkaian kejahatan sistemik yang menghancurkan kehidupan masyarakat sekitar. Ini bisa dilihat di berbagai kawasan PSN, seperti, Pembangunan Proyek   Makassar New Port di Makassar, Rempang, Geothermal di Lampung dan Nusa Tenggara Timur, Proyek Smelter Nikel di Palu, Proyek Bendungan di Jogja dan Nusa Tenggara Barat, dan Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah.

Proyek-proyek ini telah melahirkan berbagai konflik, mengeksploitasi hutan yang sangat luas, mengancam wilayah adat serta keanekaragaman hayati dan rakus akan tanah yang berujung pada penghilangan sumber hidup dan pemiskinan struktural perempuan oleh negara.

“Hidup kami semakin susah, nelayan semakin jauh melaut, sehingga perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar. Sedangkan pendapatan kami terus berkurang. Arus air laut juga terhambat karena tanggul-tanggul yang dibangun oleh perusahaan.” ujar Perempuan Nelayan di Pesisir Makassar yang terdampak Pembangunan Makassar New Port.

Ambisi restorasi dan rehabilitasi hutan 12,7 hektar pada Pemerintahan Prabowo Subianto juga menjadi target investasi yang juga dinegosiasikan pemerintah Indonesia pada COP 29. Food Estate sebagai Proyek Strategis Nasional berpotensi menjadi   karpet merah untuk eksploitasi sumber daya alam dan hutan. Proyek Food Estate, yang diklaim sebagai solusi krisis pangan oleh pemerintah, justru memperdalam krisis bagi perempuan dan petani kecil. Proyek ini tidak hanya menyebabkan hilangnya lahan pertanian produktif, tetapi juga memperburuk ketergantungan Indonesia pada impor pangan. Selain itu Restorasi hutan melalui proyek Food Estate hanya akan mengulang kegagalan yang sama.

Proyek-proyek besar yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari pemberdayaan lokal justru menjauhkan perempuan dari kearifan lokalnya, yang pada akhirnya semakin memiskinkan  perempuan.  Perempuan  harus  mencari  alternatif  keberlanjutan  hidupnya, salah satunya dengan terpaksa  bekerja ke luar negeri dan berjuang demi menyelamatkan kelangsungan   keluarga.   Minimnya   perlindungan   yang   diberikan   negara   membuat perempuan  buruh  migran  rentan  mengalami  kekerasan,  pelanggaran  hak,  eksploitasi bahkan menjadi korban perdagangan orang.

Tak  hanya  itu,  swasembada  pangan  dan  swasembada  energi  yang  didorong  oleh pemerintah saat ini juga tidak terlepas dari kepentingan korporasi yang justru memperkuat kuasa  swasta.  Kuasa  ini  diperkuat  oleh  UU  Cipta  Kerja  sebagai  karpet  merah  untuk korporasi terus menghasilkan keuntungan dan memiskinkan perempuan, seperti yang terjadi pada proyek-proyek transisi energi Geothermal di Rajabasa, Lampung, Geothermal Poco Leok di NTT hingga PLTA Poso Energi.

Andriyeni-Koordinator Program BEN Solidaritas Perempuan menegaskan, Solidaritas Perempuan  bersama  Perempuan  Akar  Rumput  menuntut  Negara  untuk: (1) Mencabut semua semua kebijakan pro investasi dan anti demokrasi yang justru menciptakan pemiskinan struktural dan menghancurkan penghidupan perempuan seperti  UU Nomor 6Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja, (2) Melibatkan perempuan dengan partisipasi bermakna dalam seluruh tahapan perumusan kebijakan dan pembangunan, (3) Mengakui dan melindungi sistem pengelolaan lingkungan yang berbasis pada pengalaman dan pengetahuan lokal perempuan, serta (4) Menghentikan kriminalisasi aktivis lingkungan, perempuan dan masyarakat adat yang memperjuangkan keadilan agraria dan iklim, serta menjamin   kebebasan   berpendapat,   berorganisasi,   akses   informasi,   dan   partisipasi bermakna dalam setiap pengambilan keputusan. (ril)

Editor: Redaksi Wongkito
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories