Potensi Besar Biodiversity, Produsen Kosmetik Berharap RI Bisa Kejar Industri Bahan Baku Global

Industri bahan baku global sudah berkembang sangat pesat namun tidak dengan industri bahan baku di Indonesia. (ist/wardah)

JAKARTA, WongKito.co - Bisnis kosmetik Indonesia begitu menggiurkan. Sepanjang tahun 2022 lalu, nilainya ditaksir mencapai Rp128,5 triliun setara Rp467 ribu per kapita, berdasarkan estimasi Euromonitor.

Sayangnya ceruk pasar yang begitu besar ini belum sepenuhnya dikuasai pemain lokal, lantaran mereka masih tersandera bahan baku impor. Menurut catatan Perkosmi (Persatuan perusahaan kosmetika Indonesia) yang menaungi lebih dari 450 perusahaan kecil, menengah dan besar, bahan baku yang diimpor saat ini proporsinya mencapai sekitar 70%. 

Padahal bahan baku menjadi salah satu komponen biaya yang cukup besar dalam rantai produksi sebuah kosmetik.

Ketua Umum Perkosmi, Sancoyo Antariko yang juga pernah berkarier di salah satu produsen kosmetik (personal care) terbesar, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) mengatakan ada beberapa bahan baku kosmetika yang pernah asosiasi sampaikan ke Kemenko Perekonomian dan Komisi VI DPR untuk bisa diprioritaskan diproduksi di dalam negeri. 

Contohnya Potassium Hydroxide yang berfungsi sebagai neutralizing agenda yang biasa diimpor dari Korea Selatan, Silicon fluids/Dimethicone yang berfungsi sebagai antifoaming yang biasa diimpor dari China, India atau Amerika Serikat dan Ethylhexyl/Methoxycinnamate yang berfungsi sebagai sunscreen yang biasa diimpor dari Jerman.

Lalu, Glyceryl Stearate yang berfungsi sebagai emulsifier yang biasa diimpor dari Singapora, Acrylates Copolymer Water yang berfungsi sebagai rheology modifier yang biasa diimpor dari AS serta Sodium Salicylate yang berfungsi sebagai antibacterial yang biasa diimpor dari China atau India.

“Tentu kami harapkan jika sudah bisa diproduksi di dalam negeri, produsen bisa menjaga kualitas atau mutu yang tinggi, service atau layanan yang baik, inovasi yang dilakukan secara berkesinambungan dan tentu harganya kompetitif,” kata dia kepada TrenAsia jaringan WongKito.co, Jumat (17/02/23).

Baca Juga:

Ditambahkannya, substitusi impor bahan baku tersebut dimungkinkan mengingat kekayaan biodiversity Indonesia dan iklim pengembangan atau Research and Development (R&D) yang mendukung dari BRIN maupun universitas-universitas di Indonesia. Contohnya saja turunan minyak sawit atau kernel oil sebagai surfaktan atau bahan dasar pembersih.

Vice President of Research and Development PT Paragon Technology and Innovation (produsen merek Wardah), Sari Chairunnisa juga mengamini pendapat Sancoyo. Menurutnya, masih banyak bahan baku impor yang digunakan dalam proses produksi kosmetik, baik di Paragon maupun industri kosmetik kebanyakan. 

Hal ini dikarenakan industri bahan baku global sudah berkembang sangat pesat namun tidak dengan industri bahan baku di Indonesia. Ketertinggalan teknologi di industri bahan baku Indonesia menyebabkan kurangnya kualitas dan konsistensi dari bahan baku lokal dan juga membuat harga kurang kompetitif dengan bahan baku impor. 

“Ketertinggalan dalam penerapan riset dan teknologi di industri bahan baku Indonesia juga berdampak pada kualitas data-data pendukung bahan baku, seperti data hasil pengujian yang mendukung klaim manfaat dari bahan yang digunakan, memastikan keamanan dan kehalalan bahan baku,” kata Sari.

Padahal menurut Sari, data-data pendukung bahan baku ini sangat penting bagi pelaku industri kosmetik karena produk yang dihasilkan akan digunakan langsung oleh pengguna. 

Untuk itu diperlukan inisiatif dari berbagai bidang, baik itu industri bahan baku itu sendiri, akademisi, maupun pemerintah untuk meningkatkan kualitas penelitian bahan baku di Indonesia serta mengganti sumber bahan baku yang selama ini diimpor dari berbagai negara di dunia, seperti Jepang, Korea Selatan, China, Eropa, AS dan sebagainya.

Paragon sendiri sebagai industri hilir yang menjadi pengguna dari industri bahan baku, sejauh ini mencoba mendorong perkembangan dunia riset bahan baku dengan melakukan kolaborasi riset dan dukungan fasilitas laboratorium. 

“Kami berharap industri hulu, yaitu bahan baku, di Indonesia bisa segera bergerak mengejar industri bahan baku global karena Indonesia memiliki potensi bahan baku yang besar dengan biodiversitasnya yang tinggi,” imbuhnya. (*)

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Yosi Winosa pada 17 Februari 2023.

Editor: Redaksi Wongkito

Related Stories