Ragam
Riset: Paparan Masif Konten Digital Mengikis Konsentrasi dan Minat Baca
JAKARTA, WongKito.co - Dalam dua dekade terakhir, internet dan media sosial telah merevolusi cara manusia berkomunikasi, mengakses informasi, hingga mencari hiburan. Platform seperti TikTok, Instagram, Twitter (kini X), dan YouTube Shorts menciptakan ekosistem konten yang serba cepat, singkat, dan adiktif.
Namun, di balik kemudahan dan hiburan yang ditawarkan, muncul kekhawatiran serius: apakah konsumsi media sosial yang masif ini secara perlahan menurunkan kemampuan fokus, kecerdasan, serta minat membaca generasi digital?
1. TikTok dan Era Konten Ultra-Pendek: Kenapa Ini Jadi Masalah?
TikTok, sebagai salah satu platform media sosial dengan pertumbuhan tercepat, mempopulerkan video berdurasi pendek, biasanya hanya 15 hingga 60 detik. Dalam waktu singkat, pengguna bisa menyaksikan puluhan hingga ratusan video dengan topik yang sangat beragam.
Fenomena ini disebut sebagai konten "hyperstimulating", yang merangsang otak untuk mencari kepuasan instan. Menurut riset dari University of California, Los Angeles (UCLA), otak manusia cenderung melemahkan fungsi fokus dan daya ingat jangka panjang saat terus-menerus menerima rangsangan visual cepat secara berulang.
Ini mirip dengan kondisi otak saat kecanduan gula atau narkoba ringan, yang hanya ingin “reward instan” dan enggan berlama-lama pada kegiatan yang membutuhkan ketekunan — seperti membaca buku.
2. Penurunan Fokus: Bukti dari Dunia Pendidikan
Sebuah studi dari Microsoft pada tahun 2015 menyebutkan bahwa rentang perhatian manusia telah menurun dari 12 detik pada tahun 2000 menjadi hanya 8 detik. Fenomena ini bahkan lebih buruk dari rentang perhatian ikan mas yang diperkirakan mencapai 9 detik.
Walau studi ini cukup populer dan masih diperdebatkan keabsahannya, banyak penelitian lanjutan mendukung bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan memang mengikis kemampuan konsentrasi.
Baca Juga:
- AgenBRILink Jadi Titik Balik Pemuda Ini di Kolaka
- Suplai Energi Selama Libur Iduladha Dipastikan Aman, Kilang Pertamina Plaju Tetap Beroperasi 24 Jam
- Kashmir di Persimpangan Bahaya Saat 2 Negara Nuklir Tak Mau Mundur
Penelitian dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa siswa yang aktif di media sosial cenderung lebih sulit mempertahankan konsentrasi dalam aktivitas akademik.
Mereka lebih sering melakukan multitasking — contohnya belajar sambil membuka TikTok atau Instagram — padahal menurut neuroscience, multitasking menurunkan efektivitas kerja otak hingga 40%.
3. Efek terhadap Kecerdasan: Konten Hiburan vs Konten Edukasi
Meski TikTok memiliki sisi edukatif — misalnya konten belajar bahasa, sejarah singkat, atau tips keuangan — kenyataannya, algoritma lebih memprioritaskan konten hiburan yang sensasional karena lebih banyak menghasilkan interaksi.
Hal ini memperkuat budaya "scroll tanpa berpikir", di mana otak lebih banyak menerima informasi visual yang dangkal ketimbang konten yang mendalam atau kompleks. Dalam wawancara dengan The Guardian, Profesor Maryanne Wolf, pakar neurosains dari UCLA, menyebutkan bahwa paparan konten digital secara masif mengubah struktur otak pembaca menjadi “scanner” alih-alih “deep reader”.
Artinya, pengguna terbiasa melompat-lompat dalam menyerap informasi, bukannya menyelami secara mendalam, yang berdampak pada berkurangnya pemahaman, empati, dan kemampuan berpikir kritis.
4. Kecenderungan Malas Membaca Buku
Fenomena “malas baca” kini kian mengkhawatirkan. Survei UNESCO pada awal 2020-an menunjukkan bahwa tingkat minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah, yakni hanya 0,001 — artinya dari 1.000 orang, hanya satu yang gemar membaca.
Meski ini bukan hanya dampak dari media sosial, kehadiran TikTok dan platform sejenis memperparah situasi. Konten buku kini kalah saing dibanding konten viral yang cepat dan lucu. Sebuah studi oleh Pew Research Center (2022) di AS mencatat bahwa kelompok usia 18–24 tahun — yang merupakan pengguna aktif TikTok — menunjukkan penurunan tajam dalam konsumsi buku cetak dibanding satu dekade sebelumnya.
Mereka mengaku sulit berkonsentrasi membaca dalam waktu lama dan lebih memilih menonton ringkasan buku di YouTube atau TikTok.
5. Efek pada Otak Anak dan Remaja
Banyak ahli psikologi perkembangan menyatakan kekhawatiran tentang dampak jangka panjang dari penggunaan media sosial terhadap anak dan remaja. Dalam studi tahun 2021 oleh JAMA Pediatrics, ditemukan bahwa anak-anak yang menggunakan media sosial selama lebih dari 3 jam per hari menunjukkan perubahan pada bagian korteks prefrontal otak, area yang mengatur fokus, penalaran logis, dan kontrol diri.
Jika stimulasi berlebihan dari video singkat ini dibiarkan terus-menerus, anak-anak berisiko mengalami kesulitan dalam tugas-tugas yang menuntut perhatian jangka panjang, seperti membaca buku, menulis esai, atau memecahkan masalah matematika kompleks.
6. Pola Adiktif: Dopamin dan Penguatan Perilaku
Salah satu alasan kenapa TikTok sangat membuat ketagihan adalah karena sistem penguatannya yang mirip mesin judi. Setiap kali pengguna menemukan video yang lucu atau menarik, otak melepaskan dopamin — hormon kesenangan. Efek ini mendorong pengguna untuk terus men-scroll demi mengejar “reward” berikutnya.
Baca Juga:
- Mochi Cheese Cake Viral di PSCC, Remaja 17 Tahun Ini Raup Omzet Jutaan
- Hoaks: Video Aceh Timur Turun Salju, ini Hasil Penelusurannya
- Wow! Pertumbuhan Penggunaan Aplikasi Kripto Indonesia cuma Kalah dari Jerman
Seiring waktu, pengguna menjadi kurang tertarik dengan aktivitas yang tidak memberikan respons cepat — seperti membaca novel yang membutuhkan konsentrasi dan imajinasi.
Profesor Cal Newport, penulis buku Digital Minimalism, menjelaskan bahwa media sosial menciptakan lingkaran umpan balik negatif, di mana kemampuan otak untuk menikmati kegiatan yang tidak cepat (seperti membaca buku) menurun karena terbiasa dengan kecepatan konten digital.
Media sosial juga kerap menyederhanakan isu-isu kompleks menjadi potongan-potongan narasi 15 detik. Ini bukan hanya menurunkan minat untuk mengeksplorasi lebih jauh, tapi juga menanamkan kesan bahwa informasi cukup dikonsumsi secara “sekilas”.
Akibatnya, banyak generasi muda tumbuh dengan pemahaman yang sempit dan fragmentaris terhadap topik-topik penting, termasuk isu sosial, politik, dan ekonomi.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 4 Mei 2025.