Rumah Rakit dan Romantisme Masa Lalu Kehidupan Sungai Musi

Letak rumah rakit yang berada pada badan sungai ini bisa dipahami karena kehidupan masyarakat yang tidak pernah terlepas dari Sungai Musi. (wongkito.co/yuliasavitri)

PALEMBANG, WongKito.co - Sungai bukan saja berkaitan dengan alat transportasi, tapi juga bangunan tempat tinggal penduduk di sekitarnya. Perhatikan saja ketika menyusuri Sungai Musi, kita akan mendapati rumah-rumah rakit yang terapung layaknya perahu.

Rumah tersebut disebut rumah rakit karena didirikan di atas rakit, baik rakit yang terbuat dari bambu maupun dari balok kayu. Batang-batang bambu atau balok kayu yang ringan mudah terapung di atas air. Semua bambu atau balok kayu itu diikat berlapis sehingga membentuk sebuah rakit.

Lantai rumah terbuat dari papan. Dedaunan nipah ataupun seng digunakan sebagai atap. Letak rumah yang berada pada badan sungai ini bisa dipahami karena kehidupan masyarakat yang tidak pernah terlepas dari sungai. Untuk datang dan pergi ke rumah rakit tentu saja menggunakan perahu.

Kepala Bidang Sejarah Dinas Kebudayaan Palembang, Ismail mengatakan, rumah rakit sudah ada di masa kesultanan. Di era tersebut, rumah rakit menjadi pemukiman yang dikhususkan bagi pendatang karena mereka tidak diizinkan untuk menetap di daratan. Aturan politis tersebut dibuat karena Sungai Musi sebagai jalur perdagangan menjadi penarik bangsa asing untuk memasuki dan tinggal di wilayah Palembang.

“Pendatang hanya boleh tinggal di atas sungai dengan mendirikan rumah sendiri, bentuk dan ukuran tergantung kesanggupan masing-masing. Dengan begitu, pihak kesultanan bisa mengontrol mana penduduk asli dan mana pendatang,” jelasnya dibincangi WongKito.co, belum lama ini.

Baca Juga:

Di era kolonial Belanda sekitar 1900-an, pemukiman rumah rakit terus berkembang. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, dibangun juga kantor dagang, gudang, toko, hingga rumah sakit apung.

Sampai berjalannya waktu, warga asing mulai berangsur menepi dan tinggal di daratan. Ismail mencontohkan peninggalan rumah Kapitan milik perwira Tiongkok yang diangkat Kolonial Belanda untuk mengatur kawasan Ulu. Dampaknya, terbentuk pemukiman Cina di wilayah Ulu yang sekarang dikenal dengan sebutan Kampung Kapitan.

Lalu di masa kemerdekaan, rumah rakit mulai ditinggali oleh penduduk Palembang sendiri sampai hari ini. “Kebanyakan difungsikan seperti dulu untuk tempat berdagang, khususnya minyak kapal,” ulas Ismail.

Namun, perubahan pola pikir manusia dan keterbatasan bahan-bahan untuk membuat rumah rakit, menjadikan jumlah rumah rakit semakin berkurang. Apalagi saat ini ada kemudahan masyarakat untuk memiliki KPR. Kondisi ini ditambah dengan munculnya anggapan bahwa keberadaan rumah rakit membuat kumuh pemandangan sungai.

Untuk datang dan pergi ke rumah rakit tentu saja menggunakan perahu. (wongkito.co/yuliasavitri)

Diakui Ismail, Disbud Palembang belum melakukan pendataan terbaru jumlah rumah rakit di sepanjang Sungai Musi. Pendataan terakhir saat Disbud masih bergabung dengan Dinas Pariwisata. Dia memastikan, akan dibuat rencana program untuk pendataan rumah rakit. Mengingat rumah rakit sudah diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kota Palembang.

Baca juga:

Dengan sudah didaftarkan sebagai warisan budaya, maka rumah rakit sudah tidak bisa diklaim oleh wilayah lain. Selanjutnya, pemerintah pusat bisa memungkinkan untuk mendaftarkannya sebagai warisan dunia. “Belum ditetapkan tapi sudah diusulkan tahun kemarin (2022). Kita masih harus melengkapi persyaratan administrasi,” terang dia.

Sanitasi Rumah Rakit Dipertanyakan
Dalam diskusi bulanan Jaringan Sumatra untuk Pelestarian Warisan Budaya atau Pansumnet yang digelar secara daring, 24 Februari lalu, ada yang mempertanyakan bagaimana sanitasi rumah rakit. Dalam kesempatan itu, Pendiri Sahabat Cagar Budaya Palembang, Robby Sunata mengakui bahwa warga bantaran sungai masih memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci. Sistem pengolahan MCK dan sampah rumah tangga belum ada untuk rumah rakit.

Jawaban ini menjadi diskusi lanjutan yang menarik ketika salah satu peserta menyebut bakteri ecoli akibat pencemaran Sungai Musi bisa terus berkembang jika sanitasi rumah rakit masih belum diperbaiki. 

Rumah rakit bisa dianggap sebagai sumber pencemaran sungai karena penghuninya membuang sampah dan kotoran langsung ke sungai. Adanya pendapat bahwa rumah rakit merupakan simbol kekumuhan dan sumber pencemaran tidak jarang menjadi alasan berkurangnya rumah rakit. 

Dikutip dari catatan Kemdikbud 2001, arah rumah rakit pada awalnya menghadap ke daratan karena sungai dipandang sebagai bagian belakang rumah yang tidak terlalu diperhatikan, sehingga sungai menjadi tempat mandi dan membuang sampah. Tetapi saat ini, karena pertimbangan pariwisata, telah diubah menghadap ke sungai. Dengan kata lain, rumah-rumah rakit yang ada sekarang umumnya dibangun menghadap ke tengah Sungai Musi. (*)

Editor: Redaksi Wongkito

Related Stories