Skizofrenia: Ketika Seseorang Hidup dalam Pemikiran dan Realitanya Sendiri

Ilustrasi Skizofrenia (istockphoto)

Oleh: Romauli Sri Rezeki Pangaribuan, Rahmat Fauzan,  M. Dzulfadli F. Dzaky

ORANG dengan skizofrenia sering mengalami pelanggaran hak asasi manusia, baik di lingkungan masyarakat bahkan di dalam institusi kesehatan mental. Stigma terhadap orang dengan kondisi ini sangat kuat dan meluas sehingga menyebabkan pengucilan, dan berdampak pada hubungan penderita terhadap orang lain, baik dengan keluarga maupun teman.

Dibandingkan dengan orang lain, orang dengan skizofrenia cenderung lebih rentan mengalami pelanggaran hak asasi, seperti penelantaran, pengabaian, tunawisma, pelecehan, dan pengucilan.

Skizofrenia adalah gangguan mental yang dapat memengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi. Penderita skizofrenia umumn ya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Orang dengan skizofrenia berpotensi 2-3x meninggal lebih awal daripada populasi umum.

Hal ini sering disebabkan oleh penyakit fisik yang menyerang seperti kardiovaskular, metabolisme, dan infeksi.

Banyak juga yang masih menyebut penderita skizofrenia adalah orang yang terkena guna-guna ataupun serangan dari hal berbau mistis. Stigma yang beredar di masyarakat tentang skizofrenia dapat menghalangi penderita untuk mencari bantuan.

Pasien merasa malu apabila mengaku ada yang salah dari dirinya. Stigma juga dapat membuat keluarga dan lingkungan sekitar menjadi tidak menjadi pendukung bagi mereka.

Baca Juga:

Akibatnya, pasien tidak memiliki dukungan sosial dan menyulitkan proses pengobatan. Apabila stigma dan prasangka akan skizofrenia terus berlanjut, banyak penderita yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.

Masyarakat juga cenderung menganggap penderita skizofrenia adalah “gila” yang bahkan sebutan itupun tidak layak untuk diutarakan. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebenarnya tidak sama dengan skizofrenia. Meskipun sama-sama merupakan gangguan mental, tetapi penderita skizofrenia tidak kehilangan akal mereka. Skizofrenia masih lebih memungkinkan untuk sembuh total daripada ODGJ.

Penderita skizofrenia tidak bisa ditolong dengan dikurung, dirantai, atau dipasung. Mereka butuh minum obat, terapi, rutin kontrol ke dokter, serta yang tak kalah penting adalah mendapatkan dukungan dari keluarga terdekat. 

Menurut World Health Organization (WHO) skizofrenia telah mempengaruhi sekitar 24 juta orang, atau 1 dari 300 orang (0,32%) di seluruh dunia. 1 dari 222 orang (0,45%) di antaranya adalah orang dewasa. Onset sangat sering terjadi pada masa remaja akhir dan usia dua puluhan. Skizofrenia didiagnosis 1,4x lebih sering diderita oleh laki-laki daripada perempuan, dan onset cenderung terjadi lebih dulu pada pria.

WHO juga telah merangkum daftar nama negara dengan angka disability-adjusted life years (DALYs) dan terlihat bahwa Indonesia menempati urutan pertama dengan DALY rate 321.870.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018, menunjukkan, prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga. Dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis.

Data menunjukkan prevalensi tertinggi ada di provinsi Bali dan Yogyakarta dengan masing-masing 11,1 dan 10,4 per 1.000 rumah tangga dengan ART pengidap skizofrenia/psikosis.

Kemudian, sekitar 84,9% pengidap skizofrenia/psikosis di Indonesia telah berobat.  Namun, ada sekitar 48,9%  penderita psikosis tidak meminum obat secara rutin dan 51,1% meminum secara rutin, 33,7%  penderita tidak rutin berobat dan 23,6%  tidak mampu membeli obat secara rutin. Dan ditemukan pula  pengidap skizofrenia/psikosis yang dipasung oleh keluarganya dalam proporsi rumah tangganya mencapai 14%.

Skizofrenia sering dikaitkan dengan tekanan dan gangguan yang signifikan dalam bidang penting kehidupan, seperti bidang pribadi, keluarga, pendidikan, sosial, pekerjaan, dan lain sebagainya.

Gejala skizofrenia

Dibagi menjadi dua kategori, yakni gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif ditandai dengan perubahan persepsi yang mengakibatkan penderita berperilaku tidak wajar. Gejala tersebut bisa berupa halusinasi, delusi (waham), atau perilaku tidak normal.

Sedangkan, gejala negatif ditandai dengan ketidakmampuan penderita dalam bersosialisasi. Gejala ini ditandai dengan kecenderungan penderita yang menarik diri dari pergaulan dan tidak peduli dengan penampilan.

Baca Juga:

Saat penderita berdelusi, penderita cenderung memiliki keyakinan yang tidak masuk akal di hadapan populasi normal, tetapi orang yang memiliki waham tersebut sangat yakin bahwa apa yang dipercayainya itu benar. Dan saat berhalusinasi penderita mengalami perubahan eksternal yang diterima organ sensoriknya, mereka bisa melihat, mendengar, atau merasakan sentuhan tanpa adanya stimulus yang nyata.

Peniliti belum mengidentifikasi satu penyebab tunggal skizofrenia. Skizofrenia umumnya disebabkan oleh banyak faktor seperti interaksi antar gen, lingkungan, dan psikososial. Kemudian penggunaan ganja yang berlebihan dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan tersebut. Keturunan dari pengidap skizofrenia memiliki risiko 10% lebih tinggi untuk mengalami kondisi serupa. Risiko tersebut meningkat 40%  lebih besar ketika kedua orang tua sama-sama pengidap skizofrenia.

Sementara itu, anak kembar yang salah satunya mengidap skizofrenia akan memiliki risiko hingga 50%  lebih besar. Skizofrenia dapat pula disebabkan oleh beberapa kondisi yang mungkin terjadi ketika hamil dan dampaknya akan terlihat saat anak lahir.

Kondisi ini, seperti paparan racun dan virus, ibu seorang pengidap diabetes, perdarahan dalam masa kehamilan, serta kekurangan nutrisi. Selain dari kehamilan, komplikasi yang terjadi ketika persalinan juga dapat menyebabkan seorang anak mengidap skizofrenia.

Contohnya, berat badan rendah saat lahir, kelahiran prematur, dan asfiksia atau kekurangan oksigen saat dilahirkan.

Jenis skizofrenia

Ada 5 jenis skizofrenia yang klasifikasinya sempat dijadikan acuan oleh para ahli dahulu:

1. Skizofrenia Paranoid , skizofrenia jenis ini merupakan yang paling sering muncul gejalanya, termasuk di antaranya adalah delusi dan halusinasi. Pengidap skizofrenia paranoid biasanya menunjukkan perilaku yang tidak normal seakan ia sedang diawasi, sehingga ia kerap menunjukkan rasa marah, gelisah, bahkan benci terhadap seseorang. Namun, mereka yang mengalami skizofrenia jenis ini masih memiliki fungsi intelektual dan ekspresi yang tergolong normal.

2. Skizofrenia Katonik, skizofrenia katonik ditandai dengan adanya gangguan pergerakan. Pengidap skizofrenia jenis ini cenderung tidak bergerak atau justru bergerak hiperaktif. Pada beberapa kasus juga ditemukan sama sekali tidak mau berbicara, atau senang mengulangi perkataan orang lain. Pengidap skizofrenia katonik juga sering kali tidak memedulikan kebersihan dirinya, serta tidak mampu menyelesaikan aktivitas yang dilakukan.

3. Skizofrenia Tidak Teratur, skizofrenia tidak teratur merupakan jenis yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk disembuhkan. Pengidap skizofrenia jenis ini ditandai dengan ucapan dan tingkah laku yang tidak teratur dan sulit dipahami.

Terkadang mereka bisa tertawa tanpa alasan jelas, atau terlihat sibuk dengan persepsi yang mereka miliki.

4. Skizofrenia Diferentiatif, skizofrenia jenis ini merupakan yang paling sering terjadi. Gejala yang ditimbulkan adalah kombinasi dari beragam subtipe dari skizofrenia lainnya.

5. Skizofrenia Residual, pengidap skizofrenia residual biasanya tidak menunjukkan gejala umum dari skizofrenia seperti berkhayal, halusinasi, tidak teratur dalam berbicara dan berperilaku. Mereka baru mendapat diagnosis setelah satu dari empat jenis skizofrenia lain telah terjadi.

Saat ini, sebagian besar penderita skizofrenia tidak menerima perawatan kesehatan mental. Ada sekitar 50% orang di rumah sakit jiwa memiliki diagnosis skizofrenia tetapi hanya 31,3% orang saja yang mendapat perawatan kesehatan mental spesialis.

Sebagian besar sumber daya layanan kesehatan jiwa dihabiskan secara tidak efisien untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Upaya pengalihan perawatan dari institusi kesehatan jiwa ke masyarakat perlu diperluas dan dipercepat.

Upaya tersebut dapat dimulai dengan pengembangan berbagai layanan kesehatan jiwa berbasis massyarakat yang berkualitas. Pilihan untuk perawatan kesehatan mental berbasis komunitas termasuk integrasi dalam perawatan kesehatan primer dan rumah sakit umum, komunitas kesehatan mental, dan day centre.

Keterlibatan anggota keluarga dan masyarakat luas juga penting dalam memberikan dukungan.

Ada berbagai pilihan perawatan yang efektif untuk penderita skizofrenia, diantaranya pengobatan, psikoedukasi, intervensi keluarga, terapi perilaku-kognitif dan rehabilitasi psikososial (misalnya pelatihan keterampilan hidup).

Saat ini, masyarakat Indonesia masih sangat memerlukan edukasi untuk menurunkan stigma terhadap ODMK, terkhusus kepada penderita Skizofrenia.

Mahasiswa Kesehatan, institusi kesehatan, bahkan siapapun dapat menjadi promotor kesehatan untuk memberikan edukasi kepada khalayak luas dengan turun langsung melakukan penyuluhan maupun dengan memanfaatkan media dan teknologi yang ada saat ini.

Pencegahan sekunder pada pasien skizofrenia juga perlu dilakukan karena penatalaksanaan tidak bersifat kuratif, dan hanya mengurangi gejala, serta meningkatkan fungsi kognitif dan sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Pencegahan ini dapat diberikan kepada pasien dan keluarganya, karena keluarga merupakan faktor utama kesembuhan pada skizofrenia. Pencegahan dilakukan dengan melibatkan anggota keluarga dalam penanganan skizofrenia, reduksi stres, aktivitas sosial dan fisik, serta penilaian risiko bunuh diri.

Menurut sebuah meta analisis, intervensi anggota keluarga dapat meningkatkan emosi yang erat dalam keluarga, mengurangi relaps dan angka rawat inap pada pasien. Hal ini harus dimulai dengan pengenalan seluruh aspek penyakit terhadap keluarga pasien dan bagaimana cara menghadapi pasien skizofrenia.

Pasien skizofrenia perlu diberikan edukasi untuk menghindari stres dan mengelola stres yang tidak dapat dihindari. Ajarkan pasien terapi relaksasi dan metode manajemen stres, karena stres dapat memicu relaps penyakit.

Jika berada pada lingkungan yang memperlakukan pasien gangguan jiwa dengan buruk akibat stigma negatif, pasien perlu dibekali dengan nomor kontak layanan kesehatan, nomor dokter, atau nomor darurat yang bisa dihubungi untuk meminta pertolongan.

Aktivitas sosial dan fisik dapat membantu pasien untuk mengurangi stres, mempertahankan harga dirinya, tidak merasa sendirian dan tetap sibuk. Walau demikian, pasien harus mendapat pelatihan keterampilan sosial dan dinilai mampu untuk bersosialisasi dengan orang lain terlebih dahulu sebelum pasien boleh melakukan aktivitas sosial yang melibatkan banyak orang.

Pasien penderita skizofrenia juga perlu mendapat edukasi tentang bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu komplikasi skizofrenia. Pasien yang memiliki ide bunuh diri saat pengobatan harus dilakukan penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya bunuh diri, dimulai dengan penilaian/stratifikasi risiko bunuh diri pada pasien.

Mengenai kepatuhan pasien, dokter perlu memberi edukasi bahwa menghentikan pengobatan secara tiba-tiba dapat membahayakan, karena gejala akan kambuh kembali dan bisa membahayakan dirinya sendiri serta orang lain.

Jika pasien merasa tidak nyaman dengan pengobatan yang telah dijalani akibat efek sampingnya, hal tersebut perlu didiskusikan dengan dokter agar dapat diberikan obat yang dapat mengurangi efek samping tersebut. Pasien perlu diedukasi tentang gejala skizofrenia.

Jika mulai mendengar suara-suara atau muncul gejala-gejala lainnya, segera memanggil dokter atau pergi ke pusat kesehatan terdekat. Apalagi, jika muncul pikiran untuk bunuh diri dan melukai orang lain.

Selain itu, penggunaan zat seperti kokain dan amfetamin dan alkohol perlu dihindari karena dapat memperburuk gejala.

*Mahasiswa S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sriwijaya
 


Related Stories