Strategi BI Borong SBN, Intervensi untuk Jaga Stabilitas atau Ancaman bagi Ekonomi?

Bank Indonesia. (dok. BI)

JAKARTA - Pembelian Surat Berharga Negara (SBN) secara besar-besaran oleh Bank Indonesia (BI) jadi pembahasan publik, karena itu, BI menegaskan bahwa langkah tersebut bukan keputusan sembarangan. 

BI menyatakan bahwa intervensi ini justru krusial dalam menjaga stabilitas pasar keuangan, memperkuat transmisi kebijakan moneter, dan mendorong penyaluran kredit perbankan ke sektor riil. 

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa pembelian SBN merupakan bagian dari kebijakan triple intervention Bank Indonesia, yaitu intervensi yang dilakukan secara bersamaan di tiga pasar utama: 

1. Pasar valas spot,
2. Non-Deliverable Forward (NDF) dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF),
3. Pasar SBN sekunder. 

Langkah ini dirancang untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, menenangkan volatilitas pasar keuangan, dan memperkuat kepercayaan pelaku pasar terhadap arah kebijakan moneter BI. Intervensi di pasar SBN, khususnya, memainkan peran penting dalam menjaga likuiditas sistem keuangan, yang kemudian mendorong kinerja kredit perbankan ke sektor produktif.

Baca Juga:

Hingga 20 Mei 2025, BI mencatat telah menggelontorkan dana sebesar Rp96,41 triliun untuk pembelian SBN. Rinciannya: 

* Rp64,99 triliun diserap melalui pasar sekunder, sebagai upaya menjaga stabilitas imbal hasil (yield) dan harga obligasi negara.
* Rp31,42 triliun dibelanjakan di pasar primer, termasuk untuk pembelian Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan instrumen syariah. 

Perry menegaskan bahwa kebijakan ini dijalankan dalam kerangka sinergi moneter–fiskal yang bertujuan menjaga keberlanjutan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa menimbulkan gejolak pasar. 

Baca Juga: Sebenarnya Apa Pengaruh Suku Bunga BI untuk Kelas Menengah dan Bawah?  Ini Penjelasannya

Latar Belakang Regulasi: Boleh atau Tidak BI Beli SBN? 

Secara regulasi, sesuai Pasal 7 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI dilarang untuk membeli SBN secara langsung dari pemerintah, kecuali dalam keadaan tertentu. Ketentuan ini diperkuat melalui Peraturan BI No. 23 Tahun 2015, yang mengatur bahwa pembelian SBN hanya dapat dilakukan di pasar sekunder sebagai bagian dari instrumen operasi moneter. 

Namun, dalam situasi darurat nasional seperti pandemi COVID-19, pemerintah dan BI menyepakati Skema Burden Sharing, yang kemudian diakomodasi dalam UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Aturan ini memberikan ruang bagi BI untuk membeli SBN di pasar primer secara terbatas dan bersifat temporer, terutama dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. 

Dampak Positif: Likuiditas Longgar dan Kredit Lebih Lancar 

Dengan membeli SBN, BI menyuntikkan likuiditas ke dalam sistem perbankan. Tujuannya agar: 

* Suku bunga pasar uang lebih terjaga di sekitar level BI-7 Day Reverse Repo Rate.
* Kredit perbankan tetap mengalir ke sektor riil, khususnya UMKM dan industri strategis. 

Gubernur Perry Warjiyo menyebut, stabilitas jangka pendek bukan satu-satunya tujuan. Intervensi BI juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap perekonomian nasional dan sistem keuangan secara keseluruhan. Dengan memastikan pasar obligasi tetap kondusif, BI ingin mendukung keberlanjutan pembiayaan fiskal tanpa menciptakan distorsi yang membahayakan stabilitas makro. 

Kritik dan Risiko: Fiscal Dominance hingga Inflasi 

Meski dijelaskan sebagai strategi yang hati-hati, pembelian besar-besaran SBN oleh BI menuai kritik dari sejumlah ekonom. Beberapa risiko yang dikhawatirkan antara lain: 

1. Fiscal Dominance 

Terlalu dalamnya keterlibatan BI dalam pembiayaan fiskal berpotensi mengikis independensi bank sentral. Jika pasar melihat BI terlalu “melayani” kebutuhan pemerintah, bisa muncul keraguan terhadap komitmen BI dalam mengendalikan inflasi. 

2. Crowding-Out Kredit 

Jika pembelian SBN menjadi terlalu dominan, perbankan dapat lebih memilih menempatkan dana ke SBN karena risikonya rendah, ketimbang menyalurkan kredit ke sektor riil yang lebih berisiko. Hal ini bisa menurunkan produktivitas ekonomi dalam jangka panjang. 

3. Tekanan Inflasi 

Likuiditas yang terlalu longgar bisa berujung pada peningkatan permintaan masyarakat, yang kemudian memicu inflasi. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa memperumit target stabilitas harga yang dipegang BI.

Baca Juga:

Upaya Mitigasi: BI Siapkan Strategi Keluar (Exit Strategy

Menanggapi kritik, BI menyampaikan bahwa semua langkah intervensi disusun dengan prinsip kehati-hatian. BI telah menyiapkan: 

* Exit strategy bertahap, agar pembelian SBN tidak menjadi kebiasaan permanen.
* Penguatan instrumen makroprudensial, seperti penyesuaian Giro Wajib Minimum (GWM) dan pengaturan Loan-to-Value (LTV), untuk menyerap likuiditas berlebih.
* Transparansi kebijakan, melalui publikasi rutin dan keterbukaan data pembelian SBN dan analisis makroekonomi. 

Selain itu, BI terus berkoordinasi erat dengan Kementerian Keuangan untuk memastikan bahwa pembiayaan defisit tetap sehat dan tidak membebani bank sentral secara berlebihan. 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 29 May 2025 


Related Stories