Tarif Angkutan Kontainer Domestik Tahun 2021 Diperkirakan Stabil

Berkat Asas Cabotage, Tarif Angkutan Kontainer Domestik di 2021 Diperkirakan Masih Stabil Suasana bongkar muat peti kemas di dermaga Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (11/1/2021).

JAKARTA, WongKito.co – Kebijakan pemerintah mempertahankan ketentuan asas cabotage dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) dinilai sebagai salah satu faktor yang menjaga stabilitas tarif angkutan kontainer domestik.

"Kebijakan pemerintah untuk tetap mengoptimalkan peran pelayaran nasional untuk melayani angkutan domestik sangat positif. Selama ini dengan asas cabotage pelaku pelayaran domestik mampu menjaga tarif tidak bergerak liar seperti yang terjadi di angkutan global saat ini," ujar Siswanto Rusdi, Direktur Namarin Institute dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (14/1/2021).

Akibat pandemi COVID-19, hampir semua kapal di jalur pelayaran dunia menaikkan freight rate kontainer ke luar negeri.

Sebagai contoh tarif kontainer 20 fef et (20') sub ke Ho Chi Min awal tahun 2020 sebesar USD 300, sekarang USD 950. Sub ke Huangpu awal tahun USD 150/20' saat ini sudah USD 1.050/20'.

Sementara sub ke Shanghai awal tahun USD 200/20' sekarang USD 1.050/20', juga sebaliknya untuk import dari Shanghai ke Surabaya USD 500/20' sekarang jadi USD 2.000/20'. Juga untuk Surabaya - Tianjin USD 350/20' menjadi USD 1.050/20 dan Tianjin - Surabaya USD 500/20' menjadi 4.000/20' .

Situasi yang sama juga terjadi pada jalur ke Eropa seperti sub Europe Main Port. Pada awal tahun freight rate masih USD 800/20' lalu melonjak jadi USD 1.000/20' di Oktober 2020 dan saat ini sudah terbang tinggi hingga USD 4.000/20'.

Selain freight rate yang melambung tinggi, banyak perusahaan pelayaran asing yang memilih jalur-jalur gemuk di luar negeri. Akibatnya lalu lintas kapal ke Indonesia menjadi berkurang sehingga menghambat laju ekspor-impor para pelaku usaha di dalam negeri.

Siswanto menilai dengan freight rate pelayaran global yang demikian mahal dan jadwal kapal yang terbatas, biaya ekspor dan impor menjadi semakin tinggi. Dampaknya ekonomi domestik juga menjadi tidak efisien. Itu sebabnya, lanjut Siswanto, penerapan asas cabotage memberikan kepastian bagi pelaku usaha di dalam negeri terhadap biaya pengangkutan barang antar pulau lewat laut.

"Bisa dibayangkan jika pelayaran domestik dibebaskan bagi pelayaran asing. Struktur tarif angkutan kapal akan dikendalikan oleh mereka (asing) dan ini akan sangat memberatkan pelaku usaha dalam negeri. Padahal kemampuan pebisnis di setiap daerah berbeda," ujarnya.

Menurutnya pandemi COVID-19 menjadi risiko bagi perusahaan pelayaran domestik karena volume pengangkutan juga berkurang. Selama tahun 2020 beberapa tarif angkutan kontainer di jalur domestik sempat mengalami penurunan.

Seperti diketahui dalam UU Cipta Kerja yang telah telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020 tetap memcantumkan asas cabotage. Ketentuan ini sebelumnya telah ada di UU Pelayaran No. 17 tahun 2008.

Sesuai ketentuan asas cabotage bahwa pelayaran domestik wajib menggunakan kapal berbendera Indonesia dengan awak kapal WNI. Langkah ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendukung penguatan industri pelayaran nasional dan menjaga kedaulatan negara Indonesia.

Siswanto mengatakan industri pelayaran termasuk bisnis padat modal. Apalagi di Indonesia angkutan barang menggunakan kontainer masih kecil, sehingga pasar bagi pelayaran domestik juga terbatas. Jika jalur pelayaran domestik dibebaskan untuk pelayaran asing, dampaknya bisa sangat meluas. Misalnya jalur-jalur gemuk akan dikuasai asing, apalagi mereka bisa langsung menuju wilayah tujuan di luar negeri.

"Sebagai negara kepulauan pemerintah harus memperkuat industri pelayaran domestik. Karena ketika krisis seperti ini pelayaran-pelayaran domestik akan tetap jalan dan tidak pilih-pilih rute seperti yang terjadi dengan pelayaran asing saat ini yang hanya fokus ke jalur gemuk dan memberatkan ekonomi," tegasnya. (*)

 

Bagikan

Related Stories