Ragam
Tunjukkan Tren Kemerosotan, Badai PHK jadi Sinyal Bahaya Kondisi Industri Tekstil
JAKARTA - Kondisi industri tekstil di Indonesia semakin menujukkan tren kemerosotan, hal ini berdampak pada lonjakan tingkat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang signifikan.
Head of Center of Industry Trade and Invesment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho mengatakan, kondisi industri tekstil saat ini memberikan sinyal tanda bahaya bagi para tenaga kerja dan industri itu sendiri untuk segera ditolong agar selamat dari ambang kehancuran.
"PHK yang tentunya menurut kami adalah alarm sinyal tanda bahaya, dimana tentunya kita melihat bahwa capaian tenaga kerja yg ter-PHK pada Januari hingga Juni ini capaiannya cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya (2023)," kata Andry dalam acara diskusi INDEF "Industri Tekstil Menjerit, PHK melejit pada Kamis, 8 Agustus 2024.
Baca juga:
- XL Axiata Pamerkan Kecanggihan AI Untuk Industri Masa Depan Berkelanjutan
- PGN dan Likuid Nusantara Gas Tandatangani MOU Kerja Sama LNG di Jawa Timur
- Simak Yuk 10 Atlet dengan Gaji Tertinggi di Olimpiade Paris 2024
Andry menjelaskan kondisi industri di Indonesia semakin tidak beres di tahun ini karena jumlah PHK yang cukup besar dan mayoritas PHK-nya berasal dari industri tekstil dan pakaian jadi. Pusat-pusat industri seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Utara menjadi daerah dengan angka PHK terbesar.
Padahal menurut Andry, di industri tekstil, Indonesia cukup berjaya di masa lalu. Ia menyayangkan idustri padat karya semakin mendapat tekanan yang cukup berat.
Data terbaru dari Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI dan Jamsostek) Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa jumlah PHK hingga Juni 2024 telah mencapai lebih dari 30 ribu orang. Angka ini meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 25 ribu orang.
Kinerja Satgas Diragukan
INDEF baru-baru ini merilis hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 64% netizen di media sosial X tidak percaya terhadap kinerja Satuan Tugas (Satgas) Impor dalam menangani barang impor ilegal yang masuk ke Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dalam periode 13 hari terakhir dengan melibatkan 2.300 perbincangan yang terlepas dari pengaruh buzzer. Meskipun ada upaya signifikan untuk mengatasi permasalahan ini, hasil penelitian INDEF menunjukkan bahwa masyarakat masih meragukan efektivitas satgas.
Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, menjelaskan ketidakpercayaan ini disebabkan oleh banyaknya pembentukan satgas yang dinilai tidak efektif.
"Pembentukan satgas-satgas sebelumnya ya, terlalu banyak satgas kayaknya di kita itu ya, ada mungkin lebih dari 10 kali ya. Nah sepertinya satgas-satgas sebelumnya itu nggak cukup efektif, sehingga kemudian netizen menilai, ahjangan-jangan sama nih," kata Eko.
Eko menyebut masyarakat merasa Satgas Impor Ilegal lebih fokus pada pengawasan di hilir daripada mengatasi masalah di hulu. Banyak netizen berpendapat untuk menutup pintu masuk barang ilegal secara efektif, Satgas seharusnya mengedepankan langkah-langkah pencegahan di hulu, bukan hanya menangani barang yang sudah masuk ke pasar.
Sementara itu, 99% netizen sepakat barang impor ilegal harus dihapuskan karena berdampak negatif pada produk lokal.
Hal lain yang menarik adalah kesadaran akan perlunya kualitas produk dalam negeri ditingkatkan. Karena jika tidak, konsumen akan tetap susah melirik produk dalam negeri.
Sebagian netizen juga mengomentari kebijakan anti dumping yang meskipun kelihatan bagus, karena produk impor makin mahal tapi juga secara tidak langsung bisa menaikan harga produk lokal juga.
Sekadar informasi, Kementerian Perdagangan (Kemendag) bersama Satgas Impor berhasil mengamankan barang impor ilegal yang nilainya ditaksir hingga Rp46 triliun dengan potensi kerugian negara mencapai Rp18 miliar.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 08 Aug 2024