Kamis, 17 Juli 2025 12:07 WIB
Penulis:Susilawati
JAKARTA – Diproduksi dengan tergesa-gesa setelah kesuksesan tak terduga Scream pada tahun 1996, I Know What You Did Last Summer selamanya hidup, dan menderita, dalam bayang-bayang film tersebut.
Memang, ini adalah film slasher lain dengan deretan wajah muda tanpa cacat, dan memang juga ditulis oleh Kevin Williamson, tetapi film ini sejak awal lebih sederhana, lebih lurus, dan lebih konyol.
Scream mencoba mendobrak dan memperbarui genre, sementara I Know What You Did Last Summer hanya berusaha menjaga roda tetap berputar.
Sebagai waralaba, film ini dengan cepat menjadi seperti apa yang sebenarnya dulu dijadikan bahan olok-olok oleh Williamson sendiri, dimulai dengan sekuel absurd yang berlatar di Bahama (I Still Know What You Did Last Summer!) dan diikuti dengan kelanjutan murahan langsung ke video (I’ll Always Know What You Did Last Summer!).
Baca juga:
Penonton pun dengan cepat kehilangan minat tentang siapa yang melakukan apa pun di musim panas mana pun, dan ketika subgenre slasher mulai mati, seri ini pun ikut tenggelam secara alami.
Namun, karena Hollywood terus terobsesi dengan nostalgia milenial, sejarah pun kembali terulang. Kebangkitan Scream, dengan dua film baru yang sukses lebih besar dari perkiraan dan satu lagi dalam proses, kini diikuti oleh kembalinya sang pembunuh berjubah nelayan, yang masih berkeliaran dalam bayang-bayang Ghostface.
Ia menggeram tanpa arah, sementara pendahulunya sibuk memberikan kuliah penuh kepuasan diri tentang kondisi perfilman genre masa kini. (Seperti Scream, I Know What You Did Last Summer juga sempat dihidupkan kembali dalam bentuk serial TV yang lemah dan sebaiknya dilupakan saja.
Dengan ekspektasi yang diturunkan, film ini tetap menyajikan hiburan konyol yang cukup menyenangkan. Rumus yang digunakan pun sudah sangat dikenal, sekelompok anak muda melakukan kesalahan, lalu seseorang datang untuk menyiksa mereka sebagai balasan, ditambah sentuhan khas era 2020-an berupa pertemuan antara pemeran baru dan lama.
Ini berarti kembalinya dua bintang idola remaja 90-an, Jennifer Love Hewitt (yang belakangan lebih dikenal lewat perannya di serial prosedural TV 9-1-1 yang konyol) dan Freddie Prinze Jr. (yang muncul di film-film yang mungkin belum pernah Anda tonton).
Mereka memerankan kembali karakter satu dimensi yang dulunya hanya berfungsi sebagai bidak dalam alur cerita, tapi kali ini dilakukan dengan cukup baik, mereka bahkan berbagi satu adegan intim yang terasa lebih kuat dibanding apa pun yang diberikan kepada para pemeran lama di film Scream terbaru.
Seperti halnya Jamie Lee Curtis sebagai Laurie Strode yang menjadi kepala sekolah pemabuk di Halloween H20 (sekuel yang jauh lebih baik dibanding trilogi Halloween versi David Gordon Green yang sangat konyol), Julie James versi Love Hewitt kini digambarkan sebagai seorang pendidik, seorang profesor!
Ia ditarik kembali ke kampung halamannya di Southport setelah sekelompok anak muda berusia dua puluhan menerima sebuah catatan misterius, setahun setelah kecelakaan yang sebenarnya bisa dicegah.
Para aktor muda yang memimpin film ini, Chase Sui Wonders dari Bodies Bodies Bodies, Madelyn Cline dari Glass Onion, dan nominasi Tony Sarah Pidgeon dari Stereophonic, tampil lebih kuat daripada karakter yang mereka perankan.
Namun, dinamika mereka kurang menggigit karena hilangnya unsur tragedi khas masa SMA yang berakhir secara mendadak, ditambah keputusan kurang bijak untuk mengubah ulang kecelakaan pembuka cerita.
Dalam usahanya untuk membalikkan ekspektasi penonton, penulis sekaligus sutradara Jennifer Kaytin Robinson (yang sebelumnya sukses dengan komedi remaja tajam Do Revenge di Netflix) terlalu banyak mengutak-atik struktur cerita, dan tidak pernah benar-benar memberikan alasan logis kenapa para karakter tidak mengaku sejak awal.
Meski begitu, Robinson memahami bahwa dua film orisinal dalam waralaba ini adalah horor studio yang dibuat dengan rapi dan ditopang oleh ketulusan emosi. Versi barunya juga tampil mengilap dan sinematik (berbeda dengan Scream 2022 yang tampil seperti produksi Netflix), dan cukup serius tanpa tergelincir ke dalam kejenakaan yang sok tahu.
Ketika naskah yang ditulis bersama jurnalis dan penulis Sam Lansky mencoba menyelipkan humor, hasilnya lebih condong ke gaya khas Los Angeles: membahas meditasi terpandu dan astrologi, tapi tidak dimanfaatkan secara maksimal (saya bahkan heran vaping tidak dijadikan bahan candaan juga). Unsur ini tidak terlalu mengganggu, tapi juga tidak cukup lucu untuk menonjol.
Sementara film pertamanya punya adegan menegangkan yang ikonik (adegan kejar-kejaran terakhir Sarah Michelle Gellar masih jadi salah satu momen terbaik), versi baru ini kurang memiliki ketegangan yang setara, dan justru lebih banyak menampilkan kekerasan berdarah.
Adegan-adegan kematian memang cukup brutal, tetapi ritmenya terasa kurang pas. Robinson tampaknya lebih nyaman membangun nuansa misteri yang cenderung seperti opera sabun, sambil tetap sadar bahwa waralaba ini berasal dari cerita novel remaja ringan (film pertama diadaptasi dari novel young adult tahun 1970-an).
Ceritanya pun bergerak cepat dengan gaya seperti Scooby-Doo, bahkan ada karakter yang secara langsung menyebut acara tersebut.
Meski klimaks film yang berlapis-lapis terasa kurang tegang (karena dua adegan penting terjadi di siang hari, yang jelas merusak atmosfer), pengungkapan yang konyol dan absurd justru memberikan kesenangan tersendiri.
Ada sesuatu yang menyenangkan dari jenis fan service yang sangat spesifik dan sedikit gila ini, seakan menyasar segelintir orang dengan percaya diri bahwa semua penonton akan mengerti referensinya. Film ini bahkan menyelipkan adegan mimpi mengejutkan serta adegan mid-credits yang termasuk salah satu momen fanfic paling liar di luar film Marvel.
Dari reaksi awal, tampaknya generasi muda tidak tahu atau peduli dengan apa yang terjadi musim panas lalu, dan generasi yang lebih tua pun tidak benar-benar tertarik lagi. Kemungkinan besar, film ini akan hidup sebagai barang aneh dalam sejarah budaya pop.
Namun, di tengah gelombang nostalgia yang berlebihan (dengan Clueless, Legally Blonde, dan Urban Legend menyusul), Robinson berhasil membuat film ini terasa tidak terlalu penting, tapi cukup menyenangkan untuk dinikmati tanpa beban. Mungkin tidak akan ada musim panas berikutnya, tapi film ini adalah pesta perpisahan yang cukup menghibur.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 17 Jul 2025