Catatan Akhir Tahun 2024: Aktivitas Literasi Tumbuh dari Keluarga hingga Bucu Baca

Selasa, 31 Desember 2024 17:44 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Nila Ertina

Kunjungan Perpustakaan Daerah (Pusda) Provinsi Sumsel tetap ramai di akhir tahun, Senin (30/12/2024).
Kunjungan Perpustakaan Daerah (Pusda) Provinsi Sumsel tetap ramai di akhir tahun, Senin (30/12/2024). (Foto WongKito.co/Yulia Savitri)

PALEMBANG, WongKito.co - Minat baca dan kondisi pembangunan literasi masyarakat tahun 2024 secara nasional mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu. Hal ini terungkap dalam Publikasi Hasil Kajian Perpustakaan Indonesia yang diselenggarakan Perpusnas dan Indekstat Konsultan, Senin (30/12/2024).

Peneliti Indekstat Konsultan, Ali Mahmudin menyebut, Tingkat Gemar Membaca (TGM) tahun 2024 mencapai angka 72,44 dan masuk dalam kategori sedang. Angka ini melampaui target 71,3 serta capaian tahun lalu sebesar 66,7. Hasil ini diperoleh dari survei terhadap 174.226 responden berusia 10–69 tahun di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota di Indonesia, jelasnya dilansir dari laman Perpusnas, Selasa (31/12/2024).

Bagaimana kondisinya di Wilayah Sumsel? Mengingat, Sumsel masih dalam kategori yang belum menggembirakan berdasarkan Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi tahun 2019, yang dirilis Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan. Pihak Perpustakaan Daerah (Pusda) Provinsi Sumsel pun belum mendata detail jumlah pojok baca yang dikembangkan masyarakat.

Baca Juga:

Umi Laila Sari, salah satu penggiat literasi dari Kabupaten Banyuasin, Sumsel menuturkan, di daerah domisilinya pernah dilakukan semacam survei tingkat literasi inti siswa SD. Dari hasil survei tersebut, walaupun belum bisa mewakili keseluruhan pelajar Banyuasin, minimal ia mendapat gambaran bahwa tingkat literasi di daerah tersebut masih sangat butuh perhatian.

Contoh paling sederhana adalah siswa kesulitan memahami isi bacaan padahal bacaan tersebut telah disesuaikan dengan jenjang bacanya (sesuai kelas). Kondisi ini, menurutnya, disebabkan banyak faktor, diantaranya kondisi keluarga dengan tingkat pendidikan rendah, tidak ada pembiasaan literasi di sekolah, hingga akses bacaan yang cukup sulit di daerah, apalagi di desa.

“Kondisi inilah yang akhirnya membuat saya terpikir mendirikan rumah baca Al-Ghazi. Langkah kecil kami ini diharapkan dapat menjadi pemantik semangat bagi anak-anak Desa Sungai Rengit, Kabupaten Banyuasin bahwa meskipun tinggal di desa mereka tetap bisa meningkatkan kualitas hidupnya melalui kegiatan literasi,” ungkap Umi kepada WongKito.co.

Dok Perpusnas

Diakui Umi, menumbuhkan minat dan kegemaran membaca harus bermula dari rumah. Hal ini ia praktikkan langsung kepada enam orang anaknya dengan menunjukkan kegembiraan saat membeli buku serta membaca lantang di depan anak-anak. Cerita tentang kebiasaan literasi dari rumah ini ia tuliskan dalam buku antologi “Kontribusi Membumikan Literasi” yang diluncurkan Sekolah Literasi Indonesia pada 26 Desember lalu.

Awalnya, koleksi-koleksi buku tersimpan di rumah untuk memudahkan anak-anaknya membaca. Hingga terbentuk rumah baca untuk umum, sudah terdata 500 buku dari 15 ribuan koleksi buku yang ada. Tahun ini, rumah baca asuhannya menjadi salah satu dari 340 komunitas literasi se-Indonesia dan empat komunitas di Sumsel yang terpilih mendapatkan bantuan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Tahun 2024.

Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Rani Hasbi, guru di SD Negeri 16 Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Dia juga pernah menemukan di sekolah ada sejumlah siswa yang belum paham bacaan dari buku yang mereka baca.

"Ada enam siswa di kelas 4 dan beberapa orang dari kelas lain yang masih kurang literasinya," sebut Rani.

Tingkat literasi yang masih rendah ini diakuinya menyebabkan anak-anak tidak terlalu kritis dalam proses pembelajaran. Mereka cenderung menerima apa yang dijelaskan guru.

Baca Juga:

Karena itu, dia tergerak untuk membuat pojok baca di kelas. Bukan karena perpustakaan sekolah yang kurang aktif, tapi pojok baca diharapkannya bisa menjadi ruang belajar membaca dan menumbuhkan kegemaran membaca siswanya.  Sebagai langkah awal, Rani menyediakan beberapa buku cerita anak dan komik yang mudah dicerna. Hal itu pun menarik perhatian mereka untuk mulai membaca buku-buku lainnya.

“Sebagai wali kelas, saat itu saya mengajak anak-anak untuk membuat pojok baca. Mereka menyambut dengan baik dengan mengambil kursi-kursi di gudang untuk disusun di pojok kelas. Kami menyebutnya Bucu Baca dan ternyata berimbas baik juga terhadap anak-anak lain dari kelas 1-6, yang kerap datang ke kelas kami hanya untuk membaca,” jelas Rani.

Di Palembang, terpantau ada sejumlah komunitas literasi yang aktif membuka lapak baca di ruang terbuka. Salah satunya Forum Lingkar Pena (FLP) Palembang yang mempunyai program Reading on The Street (ROTS) di Taman TVRI pada hari Minggu pagi.

"Kami memilih di taman terbuka untuk menarik perhatian masyarakat, paling tidak mereka mendekat kenapa banyak buku berjejer di sana, ternyata bukan dijual tapi untuk dibaca gratis di tempat," jelas Baiti, pengurus FLP Palembang. (Yulia Savitri)