belanda
Sabtu, 22 November 2025 08:06 WIB
Penulis:Nila Ertina
Editor:Nila Ertina

Oleh: Najmah* dan Kusnan**
KOTA Amsterdam, yang menyimpan luka sekaligus kemegahan sejarah kolonialisme, kini menjadi saksi bisu bagi sebuah ziarah intelektual. Sejumlah peneliti dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, berkesempatan mengunjungi Framer Framed, sebuah platform pameran dan dokumentasi yang berani mempertanyakan peran seni dalam masyarakat global yang terus berubah.
Kunjungan ini tak hanya sekadar melihat-lihat artefak, ini adalah inisiatif yang bertujuan mempromosikan kesadaran dan pemahaman mendalam tentang sejarah kolonialisasi dan dampaknya yang kompleks terhadap masyarakat modern.
Kami berangkat dari Leiden Central ke Amsterdam Central menggunakan kereta api antar kota, lalu lanjut dengan Sprinter, kereta dalam kota Amsterdam, dari Amersfoort Vathorst menuju Amsterdam Muiderpoort. Lalu kami berjalan kaki menuju Framer Framed.
Framer Framed, yang berlokasi di Oranje-Vrijstaatkade 71, Amsterdam, bukan sekadar galeri biasa. Berdasarkan keterangan di situs web resminya www.framerframed.nl/en/, inisiatif ini berfokus pada "peran seni dalam masyarakat yang mengglobal" dan secara eksplisit menempatkan diri dalam pusaran diskusi mengenai Sejarah Kolonial, Museologi Baru, dan Masa Depan Dekolonial.
Baca Juga:
Dalam kerangka berpikir inilah, pameran dan dokumentasi yang disajikan menjadi gugatan tegas terhadap narasi sejarah yang dominan. Salah satu contoh yang disorot, seperti pameran "Shapeshifters" yang sedang berlangsung, secara lugas disebutkan bertujuan untuk "menguji bagaimana kolonialisme telah membentuk museum, arsip, dan institusi pengetahuan lainnya." Ini adalah upaya fundamental untuk mendefinisikan ulang siapa yang berhak bercerita dan bagaimana cerita itu diarsipkan.
Kisah Pilu Pengupas Bawang
Di tengah dialog seni dan sejarah yang dekolonial tersebut, kami disuguhkan pemandangan yang menyentuh hati sebuah dokumentasi tentang kehidupan imigran di Belanda. Fokus pada kehidupan imigran dari Timur Tengah, seperti Turki dan Maroko, yang berdatangan ke Belanda pada abad ke-20 untuk pekerjaan kasar, memberikan perspektif yang berbeda.
Kisah-kisah pilu tentang mereka yang bekerja sebagai "pengupas bawang," sebuah detail yang sekilas remeh namun mengandung beban sejarah yang berat, menjadi pengingat akan dimensi tenaga kerja dari dampak kolonialisme dan globalisasi. Mereka adalah wajah-wajah yang direkrut, lalu terlupakan dalam catatan sejarah resmi, dan kini diangkat kembali kisahnya oleh Framer Framed.
Kisah para pekerja migran ini yang berjuang untuk bertahan hidup di negeri baru, seringkali dengan pekerjaan yang dianggap paling rendah menggambarkan secara sempurna bagaimana sejarah kolonialisasi tidak hanya meninggalkan jejak di bekas wilayah jajahan, tetapi juga membentuk masyarakat multikultural Belanda kontemporer. Inilah esensi dari Framer Framed: menunjukkan bahwa isu migrasi adalah kelanjutan tak terpisahkan dari isu kolonialisme.
Sejarah Imigran dari Turki ke Belanda
Kedatangan gelombang besar imigran dari Turki ke Belanda pada paruh kedua abad ke-20 bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari perhitungan ekonomi yang dingin di tengah ledakan pembangunan pasca-Perang Dunia II.
Narasi mereka adalah kisah tentang janji dan penantian, yang bertransisi dari status "pekerja tamu" (Gastarbeider) menjadi pilar permanen masyarakat Belanda modern.
Pada dasawarsa 1960-an hingga 1970-an, ekonomi Belanda meroket, menciptakan permintaan yang tak terpuaskan akan tenaga kerja kasar. Untuk mengisi kekosongan ini, Pemerintah Belanda secara resmi menjalin perjanjian rekrutmen tenaga kerja dengan beberapa negara Mediterania, termasuk Turki pada tahun 1964 dan Maroko pada tahun 1969.
Para imigran, yang mayoritas berasal dari pedesaan padat penduduk dan berpendidikan rendah, direkrut sebagai tenaga kerja murah untuk mengisi sektor-sektor krusial. Mereka menjadi tumpuan di industri pengolahan makanan (seperti pekerja yang dijuluki "pengupas bawang"), pabrik, konstruksi, dan pertambangan.
Dari Kontrak Sementara Menuju Rumah Permanen
Motivasi utama mereka bersifat murni ekonomi: bekerja selama beberapa tahun, mengumpulkan uang yang cukup untuk membangun rumah atau memulai usaha kecil di kampung halaman, lalu kembali. Awalnya, mereka datang dengan paspor yang menandakan niat sementara.
Namun, harapan kembali itu memudar seiring waktu. Ketika perekrutan resmi berakhir setelah krisis minyak global tahun 1973, banyak Gastarbeider, khususnya dari Turki dan Maroko, memilih untuk tidak pulang. Mereka telah membangun pondasi kehidupan, meskipun sulit, dianggap lebih menjanjikan daripada kondisi di negara asal.
Keputusan krusial yang mengubah peta demografi Belanda adalah program reunifikasi keluarga (gezinshereniging). Meskipun awalnya menghadapi resistensi dari pemerintah dan masyarakat Belanda karena lonjakan populasi yang tajam, gelombang penyatuan keluarga ini terus berlanjut.
Bahkan, pada generasi kedua dan selanjutnya, arus migrasi berlanjut melalui migrasi pernikahan, di mana keturunan mereka membawa pasangan dari negara asal.
Kontribusi Generasi Kedua dan Ketiga
Saat ini, keturunan imigran gelombang pertama dari Turki, yang kini telah mencapai generasi kedua dan ketiga, telah menjadi komunitas Muslim terbesar di Belanda dan secara fundamental membentuk keragaman sosial dan budaya negara tersebut.
Mereka telah berhasil menembus berbagai lapisan sosial dan profesional. Warga negara Belanda keturunan Turki kini memegang peran penting dalam politik, seni, seperti yang didokumentasikan di Framer Framed, olahraga, media, dan dunia usaha. Kehadiran mereka tidak hanya mengubah lanskap kuliner dan ritel, tetapi juga memperkaya kehidupan spiritual dan politik, mendirikan institusi Islam yang kini telah melembaga di tengah masyarakat liberal Belanda.
Baca Juga:
Kisah para Gastarbeider ini bukan hanya sekadar catatan kaki dalam sejarah ekonomi, melainkan sebuah narasi transformatif yang menunjukkan bagaimana sebuah kedatangan yang dianggap sementara telah melahirkan identitas permanen, memperbarui makna kewarganegaraan, dan membentuk Belanda sebagai bangsa multikultural di abad ke-21.
Sebuah Perjalanan yang Mencerahkan
Kunjungan ke Framer Framed adalah sebuah perjalanan yang merangkai masa lalu dan masa kini, antara sejarah kolonial yang dingin dan perjuangan imigran yang hangat.
Ini adalah opini perjalanan yang menegaskan bahwa kesadaran akan sejarah kolonial tidak bisa hanya menjadi wacana, tetapi harus diwujudkan dalam ruang-ruang publik yang inklusif.
Framer Framed telah membuktikan dirinya sebagai pusat yang berani dan relevan, secara konsisten berupaya mewujudkan 'Masa Depan Dekolonial' melalui seni. Bagi para peneliti dan publik luas, pusat ini berfungsi sebagai mercusuar, mengajak kita untuk tidak hanya mengingat masa lalu, tetapi juga mempertanyakan institusi pengetahuan hari ini, demi masyarakat global yang lebih adil dan setara.
*Research Fellow International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden University Belanda & Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unsri
**Editor