Kamis, 23 Juni 2022 05:48 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA - Pencinta fesyen tentunya menginginkan produk bermerek dan mahal, diantaranya Louis Vuitton yang dikenal sebagai salah satu merek fesyen premium dibanderol dengan harga fantastis.
Kasarannya, hanya kaum borjuis yang punya previllage untuk memiliki produk dari brand ini.
Namun siapa sangka, brand Louis Vuitton ternyata bukanlah diciptakan oleh kalangan bangsawan. Melainkan seorang pemuda miskin asal Perancis yang hidup pada abad 18.
Baca juga:
Louis Vuitton lahir di Anchay, Jura pada 4 Agustus 1821. Ia berasal dari kalangan pekerja dan bukan kelas bangsawan. Ayahnya Xavier Vuitton, adalah seorang petani dan ibunya, Corinne Gaillard, adalah seorang pembuat topi.
Hidupnya berjalan layaknya keluarga normal hingga Ia berusia 10 tahun, saat sang Ibu meninggalkannya untuk selamanya. Setelah ditinggal pergi Ibunya, Sang Ayah memilih untuk menikah lagi.
Ibu baru Vuitton adalah orang yang displin. Vuitton yang kala itu beranjak remaja terkenal punya sifat keras kepala dan tidak cocok dengan ibu sambungnya.
Tak hanya itu, Ia mulai terlihat bosan akan hidupnya yang sederhana sehingga memiliki ambisi dan berencana untuk melarikan diri dari rumah.
Di usia ke-13, Ia memantapkan hati untuk mengadu nasib ke Paris. Hanya dengan berjalan kaki, ia pergi ke Ibukota Prancis pada 1835.
Perjalanan dari kampungnya menuju Paris rupanya memakan waktu dua tahun. Untuk bertahan hidup, pemuda remaja itu banyak melakukan kerja sambilan. Ia juga tidur di mana saja asal tak kena panas atau hujan.
Pada usia 16 tahun, Louis Vuitton mendapat kesempatan untuk magang di bengkel pembuatan boks dan peti penyimpanan milik pengusaha sukses, Monsieur Maréchal.
Dengan cepat Vuitton bisa beradaptasi mendapatkan reputasi sebagai salah satu yang terbaik di bidang ini karena ia memang terampil membuat boks berkualitas baik.
Hal ini terbukti dengan terpilihnya Vuitton menjadi salah satu pekerja yang membuat boks pribadi untuk Eugenie de Montijo, Permaisuri dari kaisar Napoleon III pada 1853.
Baca Juga:
Kala itu, Ia dipercaya untuk membuat koper pakaian khusus yang cocok dibawa sang permaisuri ke Tuileries Palace, Château de Saint-Cloud, dan berbagai kegiatan lain di resor tepi laut.
Keluarga kerajaan sangat puas dengan produk serta jasa pengepakan yang dilakukannya. Sambil menyelam minum air, kepiawaian Vuitton tersebut sekaligus membuatnya makin terkenal di kalangan kaum elit dan para petinggi kerajaan lainnya.
Lantaran makin terkenal, dia akhirnya memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Setelah berhenti dari toko Marechal yang menjadi tempat kerjanya selama 17 tahun, Vuitton membuka toko pembuatan boks dan jasa pengepakannya sendiri pada 1854.
Perusahaan rintisan Vuitton makin terkenal sesaat setelah berdiri. Pada1858 dia membuat inovasi dengan memperkenalkan boks berbentuk segi empat utuh.
Pada saat itu, boks berbentuk segi empat dirasa lebih nyaman digunakan dibandingkan boks berbentuk bulat. Pesanan pun berdatangan dan membuatnya produk buatannya semakin terkenal.
Setelah boks berbentuk segi empatnya populer, Vuitton memperluas bisnisnya dan membuka bengkel produksi yang lebih besar di luar Paris. Tasnya menjadi sangat populer dan membuatnya menerima pesanan pribadi dari Khedive Mesir Ismail Pasha, penguasa Mesir saat itu.
Pada 1867, perusahaan ini berpartisipasi dalam Exposition Universelle, sebuah pameran internasional yang diselenggarakan di Paris.
Demi melindungi produknya dari duplikasi para pesaing fesyennya, Vuitton mengubah desain Trianon menjadi desain dengan garis-garis beige dan cokelat pada 1876.
Pada 1885, dia membuka toko pertamanya di London, Inggris di Oxford Street. Namun sayangnya, pada 1888 produknya banyak diduplikasi oleh orang-orang tak bertanggung jawab.
Alhasil, Vuitton akhirnya menciptakan desain dengan pola Kanvas Damier, yang mengenakan logo yang bertulisan "marque L. Vuitton déposée" yang artinya "merek dagang terdaftar L. Vuitton".
Baca Juga:
Tak melulu berjalan mulus, bisnis Louis Vuitton sempat mengalami kemunduran selama perang Perancis-Prusia pada 1870-1871. Ketika perang terjadi, bengkel pembuatan boks mengalami penjarahan dan tempatnya dihancurkan.
Meski begitu, Vuitton tak menyerah. Ia berhasil bangkit lagi etelah perang usai. Bengkel produksi kembali dibangun usai perang berakhir dan tidak butuh waktu lama sampai bisnisnya kembali ramai.
Saat Louis Vuitton kembali, palet monokrom dengan warna beige yang digunakan Vuitton dalam karya-karyanya pun akhirnya menjadi identitas yang tak terpisahkan dari brand ini sejak 1872. Ciri Khas ini kemudian dilanjutkan oleh putranya, dengan membuat kanvas monogram yang menyertakan motif tanaman dan inisial LV.
Dua abad setelah kelahiran merek Louis Vuitton, Brand ini kini tak hanya merambah di bisnis boks dan pengepakan saja. Sebab, saat ini Louis Vuitton lebih dikenal sebagai produk fesyen kelas atas.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Rizky C. Septania pada 23 Jun 2022