Dulmuluk
Senin, 27 Oktober 2025 08:07 WIB
Penulis:Nila Ertina

Di sebuah sanggar di Palembang, Randi Putra Ramadhan (36) masih setia melatih gerakan dan dialog khas Dulmuluk. Sebagai Ketua Sanggar Harapan Jaya, ia adalah salah satu penjaga seni teater tradisional yang kini semakin terlupakan.
"Dulmuluk bukan sekadar tontonan, tapi tuntunan," ujar Randi saat ditemui belum lama ini. Baginya, seni ini bukan hanya warisan leluhur, tetapi tanggung jawab yang harus dijaga.
Nama "Dulmuluk" berasal dari Sultan Abdul Muluk, tokoh utama dalam Syair Sultan Abdul Muluk karya Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat, Riau. Syair ini masuk ke Palembang pada 1845, dibawa oleh pedagang Arab bernama Wan Bakar. Namun yang membuatnya istimewa, Palembang lah yang mengemas syair tersebut menjadi pertunjukan teater utuh pada 1902.
"Kekayaan intelektual Dulmuluk ada di pengemasan teaternya. Syairnya dari Riau, tapi teaternya murni kreasi orang Palembang," jelas Randi dengan bangga.
Baca Juga:
Cerita Dulmuluk sendiri adalah kisah tragis seorang pangeran muda yang kehilangan ayahnya, direbut kerajaannya, dan istrinya diculik musuh. Di balik aksi panggung yang kini penuh tawa, tersimpan nilai-nilai kesetiaan, keberanian, dan keimanan yang mendalam.
Pada masa kejayaannya di tahun 1940-1990-an, Dulmuluk adalah hiburan utama masyarakat Palembang. Sebelum era televisi berwarna , pertunjukan ini ditunggu-tunggu.
Pemainnya bisa tampil dari Senin hingga Kamis tanpa henti, dan bisa hidup hanya dari bermain Dulmuluk.
"Dulu pentas di halaman rumah atau lapangan terbuka, penonton mengelilingi. Baru di tahun 1942, Dulmuluk jadi teater modern dengan panggung, pencahayaan, dan kursi penonton," ujar Randi.
Namun permintaan pasar mengubah segalanya. Dari cerita tragis yang menyayat hati, Dulmuluk bergeser menjadi komedi menghibur. "Sekarang kalau tidak lucu, penonton bubar. Makanya kami harus adaptasi, tetap jaga pesan moral tapi dikemas dengan humor," ujarnya.
Perubahan lain juga terjadi. Dulu, peran perempuan dimainkan laki-laki karena alasan syariat dan keamanan . Kini, aktris perempuan sudah biasa tampil. Musik pengiringnya pun berkembang dari biola, beduk, dan gong menjadi keyboard elektrik bahkan playback MP3.
Ancaman Kepunahan
Tapi zaman berubah terlalu cepat. Dulmuluk kini terdesak oleh hiburan digital yang lebih murah dan mudah diakses. Sementara satu pertunjukan Dulmuluk dengan 15 personel butuh dana minimal Rp6 juta.
"Daya beli masyarakat turun pascapandemi. Panggilan untuk hajatan, sunatan, atau acara kampung juga makin jarang. Kawan-kawan yang dulu bisa hidup dari Dulmuluk, sekarang harus cari kerja lain," ujar Randi dengan nada prihatin.
Yang lebih menyakitkan, generasi muda hampir tidak mengenal Dulmuluk. "Anak-anak SD dan SMP di Palembang lebih hafal 'Gundul-Gundul Pacul' daripada kesenian daerahnya sendiri. Padahal ini warisan budaya tak benda resmi dari pemerintah," katanya.
Bahkan di kurikulum sekolah, Dulmuluk nyaris tidak tersentuh. Guru seni budaya seharusnya mengajarkan muatan lokal, tapi faktanya banyak yang tidak tahu cara memainkannya.
Berjuang dengan Cara Baru
Di tengah tantangan, Randi dan Sanggar Harapan Jaya tidak menyerah. Mereka menggeser strategi dari menghibur di kampung ke panggung-panggung pemerintah.
"Kami dekati pemerintah untuk bikin festival, workshop, dan pelatihan. Alhamdulillah kemarin ada Festival Dulmuluk Pelajar di Graha Budaya setelah bertahun-tahun vakum," ungkap Randi.
Randi juga punya mimpi menciptakan destinasi budaya tetap . "Bayangkan kalau di Benteng Kuto Besak ada panggung Dulmuluk setiap minggu dengan tema berbeda Sriwijaya, Palembang Darussalam, atau Pancasila. Wisatawan pasti datang," katanya penuh harap.
Menariknya, banyak pemain Dulmuluk mewarisi seni ini secara turun-temurun. Randi sendiri mengikuti jejak ayahnya. "Bapak saya pemain Dulmuluk. Ini ada di darah kami," ujarnya.
Tapi ia juga membuka pintu lebar bagi siapa saja yang tertarik. "Ada yang bukan keturunan tapi Alhamdulillah tetap bergabung jadi pewaris. Kami butuh lebih banyak orang seperti itu."
Bahkan anaknya yang masih kecil sudah mulai ikut latihan, menari di panggung meski masih salah-salah gerakannya.
Baca Juga:
Bagi Randi, Dulmuluk bukan hanya seni, tetapi jati diri orang Palembang. "Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Ini bagian dari karakter kita," tegasnya.
Ia berharap generasi muda tidak hanya jadi penonton pasif, tapi juga pelaku aktif. "Tidak kenal maka tidak sayang. Makanya kami terus kenalkan Dulmuluk lewat pementasan, termasuk memanfaatkan platform media sosial.
Harapan terbesarnya sederhana perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. "Kami tidak minta banyak. Cukup ada program rutin, fasilitas latihan, dan panggung untuk tampil. Dengan begitu, Dulmuluk tidak akan hilang ditelan zaman," kata Randi.(Mg/M.Ridho Akbar)