Rabu, 13 Agustus 2025 14:33 WIB
Penulis:Susilawati
JAKARTA – Indonesia kembali mencatatkan diri sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di Asia Tenggara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat jumlah pengangguran nasional mencapai 7,28 juta orang atau 4,76% dari total angkatan kerja. Angka ini naik sekitar 83.450 orang dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dengan capaian tersebut, Indonesia berada di atas Brunei Darussalam (4,7%) dan Filipina (3,7%) dalam daftar pengangguran tertinggi di ASEAN. Sementara itu, Kamboja mencatat tingkat pengangguran terendah di kawasan, yakni hanya 0,27%.
Baca juga:
BPS mengidentifikasi sejumlah penyebab utama tingginya pengangguran di Indonesia, di antaranya:
Sekitar 1 juta sarjana menganggur karena kompetensinya tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Lulusan SMK mencatat tingkat pengangguran tertinggi, yakni 9,31%, akibat jurusan yang tidak relevan dengan pasar kerja. Lemahnya integrasi kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri, khususnya sektor teknologi dan ekonomi kreatif, menjadi salah satu pemicu.
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta, Anton Agus Setyawan, menegaskan masalah ini sudah berlangsung lama.
“Profil angkatan kerja kita masih didominasi lulusan SMA/SMK. Tingkat partisipasi pendidikan tinggi rata-rata hanya sekitar 1,6%, jauh lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lain. Ironisnya, pengangguran terbesar justru berasal dari lulusan SMA/SMK,” ujarnya.
Otomasi dan layanan digital telah mengurangi kebutuhan tenaga kerja di sektor perbankan, manufaktur, dan ritel. Sepanjang awal 2025, 24.036 pekerja tercatat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat restrukturisasi perusahaan dan tekanan ekonomi.
Setiap tahun, angkatan kerja bertambah sekitar 3,67 juta orang, namun penciptaan lapangan kerja belum mampu mengimbangi. Akibatnya, banyak yang beralih ke sektor informal yang kini mencakup 59,4% dari total tenaga kerja. Konsentrasi lowongan kerja di Pulau Jawa juga mempersulit daerah seperti Papua dan Nusa Tenggara dalam mengakses peluang kerja.
Kelompok usia 19-24 tahun mencatat tingkat pengangguran tertinggi, yakni 16,16%. Proyeksi IMF bahkan memperkirakan angka pengangguran Indonesia bisa naik menjadi 5,1% pada 2026 akibat ketegangan perdagangan internasional.
Minimnya informasi lowongan di daerah terpencil serta diskriminasi terhadap pekerja di atas usia 40 tahun semakin mempersempit peluang kerja.
Anton menegaskan, tanpa intervensi komprehensif, angka pengangguran berisiko terus meningkat. Ia menilai sektor teknologi, green jobs, dan ekonomi kreatif menjadi kunci untuk menyerap tenaga kerja muda dan terdidik, sekaligus memperkuat ketahanan pasar kerja Indonesia.
“Berikan fasilitas dan insentif pada UMKM atau ekonomi kreatif yang kandungan lokalnya tinggi dan berpotensi didaftarkan hak ciptanya. Kedua, lindungi industri yang daya serap tenaga kerjanya tinggi seperti manufaktur dan tekstil,” pungkasnya.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 13 Aug 2025