Fenomena Fotoyu, Pakar Ingatkan Fotografi Bukan Sekedar Ladang Cari Cuan

Rabu, 12 November 2025 17:42 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

664xauto-komdigi-angkat-suara-soal-polemik-fotoyu-wajah-termasuk-data-pribadi-masyarakat-berhak-mengunggat-2511031.jpg
Ilustrasi fotografer. (Unsplash)

SOLO, WongKito.co —Layanan fotografi berbasis lokapasar (marketplace) seperti Fotoyu kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kehadirannya memicu perdebatan karena dinilai berpotensi mengabaikan privasi individu.

Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika (FKI) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Sidiq Setyawan menilai, gejala ini sebenarnya sudah lama ada dalam ranah fotografi. 

Menurutnya, tren ini merupakan kelanjutan alamiah dari kemajuan teknologi dan meningkatnya perhatian publik terhadap gaya hidup sehat serta keinginan berekspresi di platform digital. 

"Fenomena fotoyu bukan hal baru. Munculnya fotoyu adalah hasil hukum pasar, ketika ada permintaan, pasti akan muncul penawaran. Teknologi menjawab permintaan pasar itu," ujar Sidiq dalam keterangannya, Rabu 12 November 2025.

Sidiq menegaskan fotografi bukan sekadar kegiatan memotret, tetapi meliputi dimensi seni, teknik, dan etika sosial. Dalam konteks jurnalistik, fotografer tunduk pada etika kepentingan publik (public interest) yang memungkinkan publikasi tanpa izin terlebih dahulu. 

"Ibaratnya seperti KPK menangkap koruptor, kan tidak mungkin kita fotografer izin ke koruptor untuk difoto dahulu. Public interest-nya kurang dapat," ujar mantan jurnalis foto tersebut. 

Namun demikian, Sidiq mengingatkan, berada di ruang publik tidak otomatis memberikan kebebasan bagi siapa pun untuk mengambil foto seseorang tanpa izin. Ia menekankan perlunya kesepakatan tertulis yang merinci platform penayangan dan tujuan penggunaan foto. "Kita sering lupa bahwa privasi itu hak dasar. Kalau orang tidak mau difoto, ya jangan difoto," tegasnya. 

Jaga Keamanan Data

Di luar aspek etika, Sidiq menilai perlunya aturan ketat bagi platform penyedia layanan fotografi digital. Platform memiliki kewajiban besar mengatur relasi fotografer dan pelanggan, termasuk menjaga keamanan data visual pengguna.

"Platform seperti Fotoyu itu ibaratnya marketplace. Kalau fotografer disebut mitra, maka perjanjian dan batasan harus jelas. Jangan sampai foto yang tidak terpakai dijual atau digunakan untuk kepentingan lain, apalagi bisa digunakan AI tanpa izin," paparnya.

Sidiq mengamati kesadaran masyarakat akan hak privasi kini semakin menguat. Ini mencerminkan kejenuhan publik terhadap paparan berlebihan di area umum. Bahkan ada yang mengenakan pakaian bertuliskan "Do Not Take My Photo" sebagai bentuk penolakan. "Orang sudah sangat peduli dengan hak-hak privasi. Bahkan beberapa orang bilang secara sederhana, orang mau lari aja kok, orang mau olahraga di luar aja, sekarang riweuh," kata Sidiq.

Untuk menyelesaikan masalah ini, Sidiq menawarkan tiga solusi. Pertama, diperlukan regulasi tegas dari pemerintah yang mengatur syarat dan ketentuan platform serta batasan kerja fotografer. Kedua, fotografer perlu mengevaluasi ulang tujuan dan etika profesi mereka. 

Ketiga, pelaku usaha dan fotografer memerlukan dukungan platform pemangku kebijakan agar terhindar dari konflik horizontal. "Foto itu tidak hanya medium. Single foto pun dia bercerita tentang orang itu, tentang hal yang mungkin dia ingin sembunyikan dari dirinya," tambahnya.

Sidiq mengajak fotografer generasi muda untuk merenungkan kembali hakikat fotografi sebagai media perekam kisah hidup manusia, bukan semata instrumen ekonomi. "Satu foto bukan cuma data visual, tapi cerita personal seseorang. Jadi hargailah mereka yang ingin atau tidak ingin difoto. Jangan hanya berorientasi pada uang, tapi juga pada nilai kemanusiaan," pesannya.

Sidiq berharap tidak terjadi konflik berarti antara fotografer dan masyarakat, sehingga seluruh pihak, pelari, fotografer, maupun platform, dapat menjalankan aktivitas mereka dengan aman dan nyaman.

Dosen Teknik Informatika UMS Gunawan Ariyanto menjelaskan, Fotoyu mengadopsi teknologi AI berupa pendeteksi wajah atau face recognition. Fotoyu bakal mendeteksi ciri atau fitur wajah seseorang. 

Fitur itu kemudian disimpan dan disebut sebagai data biometrik wajah. “Kalau nanti ada foto baru yang lain, nanti fitur wajahnya diekstrak dan dibandingkan dengan data biometrik yang ada,” kata Gunawan,

Isu yang kemudian berkembang di masyarakat adalah penggunaan foto lari untuk memberi data pada pengembangan AI. Gunawan mengakui adanya potensi pemanfaatan foto pelari untuk memberi “makan” AI. Namun, ia memastikan data tersebut digunakan untuk menghasilkan foto yang tidak ada padanannya di dunia nyata. 

“Kalau sama persis, sih, tidak. Jadi orang-orang wajah yang di-generate itu tidak ada padanannya di dunia nyata. Dia (foto AI) benar-benar random, dengan fitur wajah yang random juga,” ujarnya.

Kekhawatiran justru mencuat ketika foto individu yang beredar di media digital digunakan untuk tindakan kriminal. Salah satunya adalah teknologi deepfake. Gunawan menyebut penggunaan foto spesifik pada teknologi deepfake berisiko memunculkan sejumlah tindakan kriminal siber, seperti penipuan, teror, hingga pornografi.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 12 November 2025.