Flash Mob Aksi Keprihatinan Paduan Suara GITAKU, Desak Status Bencana Nasional di Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 18:14 WIB

Penulis:Nila Ertina

Flash Mob Aksi Keprihatinan Paduan Suara GITAKU, Desak Status Bencana Nasional di Sumatera
Flash Mob Aksi Keprihatinan Paduan Suara GITAKU, Desak Status Bencana Nasional di Sumatera (ist)

JAKARTA, WongKito.co - Menyikapi penanganan bencana di Sumatera yang hingga kini terkesan dibiarkan oleh pemerintah pusat, paduan Suara GITAKU, Sabtu (6/12/2025) menggelar aksi solidaritas untuk korban bencanadenan melakukan flash mob, menyanyikan tiga lagu yang menyuarakan keprihatinan.

Lagu pertama “Ada yang Hilang”, disusul “We Will Rock You” yang mengundang seluruh pengunjung pusat perbelanjaan yang tengah berada di bagian depan dan pejalan kaki turut bernyanyi. Mereka mengentak kaki dan bertepuk, “we will we will rock you...” Aksi mereka ditutup dengan lagu “Do You Hear the People Sing?”

Ribuan orang saat ini terdampak banjir bandang dan tanah longsor, mulai dari Aceh, Sumatsra Utara, dan Sumatera Barat. Banjir sejak akhir November 2025 itu membawa serta lumpur dan kayu-kayu gelondongan dari hulu. Hingga kini pemerintah belum menetapkan status bencana nasional di tiga provinsi tersebut, meski sudah banyak desakan dari berbagai pihak.

“Kami turut mendesak status bencana nasional, karena bencana ini tak sekedar bencana, tapi juga kejahatan ekologi,” kata Koordinator Aksi GITAKU, Arief Bobhil.

Baca Juga:

Kejahatan Ekologi

Mala ini, menurut Arief, terjadi karena tata kelola lingkungan dari pemerintah yang tidak berperspektif ekologi. Bencana ini terjadi karena negara lalai. Negara mengutamakan investasi, elite-elite politik memperkaya diri dan mencari setoran untuk ongkos politik; tidak peduli bahwa penggundulan hutan dan eksplorasi pertambangan mengakibatkan ketimpangan ekologi. Ketiadaan darurat sekarang ini, kata Bobhil, memperlihatkan negara bukan hanya lalai, tapi memilih untuk berpihak kepada oligarki perusak Bumi.

“Sebagai warga, kita telah dan sedang berusaha sejauh yang kita bisa menjadi relawan atau menggalang donasi. Bagi kita, situasi ini darurat. Tapi, negara berjalan seolah-olah bencana ini seperti genangan air di jalan raya Jakarta,” imbuh Anna Hape, GITAKU.

Dalam pernyataan sikap mereka mengatakan sepanjang November ada dua bencana nasional. Bencana pertama merusak sejarah dan memori kolektif bangsa saat Soeharto ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Bencana kedua menghantam ruang hidup rakyat Sumatera.

Mereka mengajak seluruh masyarakat bersolidaritas dan bergerak bersama.

Berikut pernyataan lengkap GITAKU:

Dalam waktu kurang dari sebulan, kita menyaksikan dan mengalami dua bencana akibat kebijakan impunitas oleh negara.

Bencana pertama merusak sejarah dan memori kolektif bangsa saat Soeharto ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Bencana kedua menghantam ruang hidup rakyat Sumatra: air bah, longsor, lumpur, dan kayu-kayu gelondongan menghancurkan kehidupan.

Ribuan orang kehilangan kampung halaman akibat desa-desa mereka berubah menjadi aliran sungai. Lebih dari 800 jiwa meninggal, dan ratusan orang belum ditemukan hingga sekarang. Kami berduka untuk semua kehilangan itu.

Namun, kami menolak pernyataan pejabat negara yang menganggap bencana ini sebuah ujian Tuhan. Apakah hendak dikatakan bahwa pejabat pemberi izin tambang, penebangan, dan perkebunan lulus ujian?

Kami menolak narasi negara bahwa bencana terjadi karena hujan ekstrem, badai tropis, atau hidrometeorologi. Tingginya curah hujan, badai tropis dan pelbagai peristiwa di atmosfer disebabkan juga oleh keputusan politik.

Seperti Greta Thunberg, enam tahun lalu, kami pun katakan hari ini: “how dare you!”

Baca Juga:

Berani-beraninya Anda berdalih. Jangan tutupi fakta, jangan kaburkan kebenaran. Yang terjadi di Sumatra adalah pembunuhan ekologis. Kayu-kayu gelondongan yang meluncur bersama air dan lumpur adalah salah satu bukti bahwa Sumatra sudah lama hanyalah sumber daya.

Kami menyerukan:
1. Hentikan impunitas terhadap korporasi, pejabat serta bekas penjabat yang berkongsi merusak lingkungan.
2. Status bencana nasional bagi tragedi pembunuhan ekologis di Sumatera.
3. Investigasi independen, betul-betul independen—yang artinya terbuka untuk melibatkan ahli-ahli lintas negara, atas penghancuran kehidupan yang disengaja ini.

Rakyat Sumatera adalah pemegang hak konstitusional. Mereka bukan objek bantuan, dan pejabat negara jangan datang seolah-olah dermawan.(*)