Palembang
Senin, 15 Juli 2024 08:02 WIB
Penulis:Nila Ertina
Oleh: Prof. Dr. Nyayu Khodijah, S.Ag., M.Si*
Ibadah haji merupakan salah satu momentum paling sakral dalam kehidupan seorang muslim. Setiap tahun, jutaan peziarah dari seluruh dunia berbondong-bondong ke tempat suci tersebut untuk merayakan rukun Islam yang kelima. Namun, di balik proses spiritual yang mendalam tersebut terdapat tanggung jawab besar yang harus dipenuhi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Agama, untuk memastikan ibadah haji dapat dilaksanakan dengan lancar dan aman.
Pada tahun 2024, Kementerian Agama RI mengambil beberapa kebijakan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Salah satu langkah terpenting adalah penetapan kuota tambahan sebesar 20.000 orang oleh pemerintah Arab Saudi. Kuota ini akan dibagi rata antara haji reguler dan haji khusus dengan perbandingan 50:50.
Keputusan ini diambil dengan menghadapi dilema besar: apakah akan memperpendek antrean reguler jamaah haji atau mempertahankan pelayanan optimal dan menjamin keselamatan jiwa jamaah. Penyebab utamanya adalah suhu yang sangat panas dan terbatasnya daya dukung wilayah Muzdalifah.
Baca Juga:
Dalam situasi seperti ini, mengutamakan keselamatan warga sekitar sudah tidak bisa ditawar lagi. Kementerian Agama mengambil pilihan bijak untuk menjamin keselamatan masyarakat, terutama mengingat potensi risiko yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat dalam keadaan ekstrim tersebut. Kebijakan ini mencerminkan komitmen Kementerian yang mengedepankan nilai kemanusiaan di atas segala pertimbangan lainnya.
Kebijakan lain yang sangat manusiawi adalah program “haji ramah lansia”. Kementerian Agama mengakui, banyak jemaah haji yang merupakan lansia dengan keterbatasan fisik dan berkebutuhan khusus.
Program ini bertujuan untuk memberikan layanan tambahan kepada jamaah berusia lanjut seperti fasilitas kesehatan yang lebih baik, kemudahan akses, dan bantuan khusus selama menunaikan ibadah haji. Haji ramah lansia memungkinkan jamaah berusia lanjut dapat melaksanakan salat dengan lebih nyaman dan aman. Hal ini merupakan bukti nyata upaya Kementerian Agama dalam menghormati dan memuji para lansia serta mampu menunaikan ibadah haji dengan tenang.
Kementerian Agama RI juga melakukan terobosan dengan memperkenalkan skema "murur" yang berarti "melintas" atau "melewati". Inovasi ini merupakan jawaban atas berbagai masalah yang selama ini dihadapi oleh jemaah haji, terutama mereka yang lanjut usia.
Selama bertahun-tahun, Muzdalifah menjadi titik rawan kepadatan yang sering kali mengganggu kenyamanan dan keselamatan jemaah. Dengan skema murur, jemaah dapat langsung menuju Mina tanpa harus berhenti di Muzdalifah, sehingga mengurangi kepadatan dan risiko yang menyertainya.
Program ini menjadi wujud komitmen Kementerian Agama terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam. Langkah ini bukan sekadar solusi teknis, tetapi manifestasi dari upaya menjaga martabat dan kesejahteraan jemaah. Proses murur melibatkan kerja sama erat antara Kementerian Agama, pihak maktab, dan ketua kloter. Pihak maktab, yang bertanggung jawab atas penyediaan tenda dan transportasi, bekerja sama dengan ketua kloter untuk memastikan bahwa jemaah yang terdaftar dalam skema murur mendapatkan pendampingan yang memadai.
Selain mengatasi kepadatan di Muzdalifah, skema murur juga memberikan dampak positif lainnya. Jemaah, terutama yang berusia lanjut atau memiliki kondisi kesehatan tertentu, tidak perlu mengalami kelelahan yang berlebihan karena harus berhenti di Muzdalifah. Mereka dapat langsung menuju Mina dan beristirahat lebih cepat, yang pada gilirannya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan mereka.
Kebijakan yang humanis adalah inti dari setiap keputusan yang diambil oleh Kementerian Agama terkait pelaksanaan haji. Ini tidak hanya tentang memenuhi kewajiban administratif, tetapi juga tentang memahami dan merespons kebutuhan nyata dari jemaah. Kebijakan yang berfokus pada kemanusiaan mencerminkan nilai-nilai Islam dan implementasi dari sila ke dua pada Pancasila sebagai Dasar Negara yang menekankan pentingnya saling membantu, menjaga martabat, dan menghormati hak-hak individu.
Baca Juga:
Dalam konteks pelaksanaan haji, kebijakan yang memanusiakan masyarakat berarti memberikan perhatian khusus kepada kelompok rentan seperti lansia, memastikan keselamatan dan kesehatan setiap jemaah, serta menyediakan dukungan emosional dan spiritual. Ini juga mencakup transparansi dan keterbukaan dalam menerima kritik dan saran dari masyarakat untuk terus memperbaiki kualitas pelayanan.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Kementerian Agama pada pelaksanaan haji 2024 tidak hanya didasarkan pada aspek logistik dan teknis, tetapi juga mempertimbangkan secara mendalam nilai-nilai kemanusiaan. Dengan memprioritaskan keselamatan jiwa, kenyamanan lansia, dan kepedulian terhadap seluruh jemaah, Kementerian Agama menunjukkan komitmennya untuk menjadikan pelaksanaan haji sebagai pengalaman yang tidak hanya spiritual, tetapi juga manusiawi.
Dalam setiap kebijakan yang diambil, terlihat jelas bahwa Kementerian Agama berusaha untuk menjaga martabat dan keselamatan setiap jemaah. Ini adalah langkah yang patut diapresiasi dan didukung, karena pada akhirnya, ibadah haji bukan hanya tentang perjalanan fisik ke tanah suci, tetapi juga tentang perjalanan hati menuju keikhlasan dan kepasrahan kepada Allah SWT.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, kita dapat memastikan bahwa pelaksanaan haji menjadi lebih baik setiap tahunnya, menjamin keselamatan dan kenyamanan setiap jemaah, serta menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar dari semua kebijakan ini.
*Rektor UIN Raden Fatah Palembang
setahun yang lalu