ICEL: Kemasan Pangan Plastik Pemicu Pencemaran Lingkungan

Minggu, 13 Juni 2021 07:07 WIB

Penulis:Amalia

sampah plastik.jpg
Sampah plastik cemari sungai dan lautan.

JAKARTA, WongKito.co  - Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania menyebutkan, kemasan pangan terutama plastik sekali pakai menjadi pemicu pencemaran lingkungan terutama di lautan.

Hal ini terbukti dari hasil riset Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang menyebutkan 59 persen sampah plastik yang mengalir ke Teluk Jakarta adalah styrofoam.

Tak hanya itu, Bella juga menjelaskan, dari hasil Brand Audit pada tahun 2020, produk yang paling banyak ditemukan adalah kemasan makanan yakni sebesar 203,427 potongan. Dimana diantara tipe plastik yang banyak ditemukan adalah PET (Wadah minuman), PP (Wadah Makanan). Lalu pencemar terburuknya ada brand Danone, Wings Food, dan Mayora.

“Jadi ya sebenarnya pencemar terburuk adalah industri-industri yang bergerak pada bidang makanan dan minuman, inilah mengapa kemasan makanan itu penting untuk 
dibahas, tapi sering diabaikan,” jelasnya dalam diskusi lingkungan yang digelar Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), belum lama ini.

Bella menjelaskan, terkait regulasi keamanan pangan, ada dua sektor yang mengatur yakni lingkungan hidup dan BPOM. Namun acap kali kedua peraturan dalam dua sektor tersebut tidak berjalan beriringan, seperti salah satunya terkait peraturan penggunaan styrofoam. Dimana KLHK sudah ketat melarang, tapi BPOM mengizinkan.

Bella juga menyoroti aturan daur ulang kemasan di Indonesia khususnya daur ulang kertas dan karton. Menurutnya masih belum ada kejelasan terkait daur ulang kedua bahan tersebut. Tak hanya itu, terkait aturan yang selama ini sudah dibuat, Bella juga menilai belum ada tindakan penegakan hukum, khususnya kepada produsen kemasan yang melanggar.

Lebih lanjut Bella menyarankan agar pemerintah memberikan solusi jangka panjang. Seperti misalnya mekanisme insentif untuk mendorong inovasi. Hal ini juga diamini oleh Venture Builder ENVIU/Zero Waste Living Lab, Tauhid Pandji.

Tauhid menilai, saat ini diperlukan inovasi ramah lingkungan untuk hidup yang berkelanjutan. Kelompok usaha bisa mengambil inisiatif untuk mencari solusi dari masalah seperti bahan kimia beracun dalam kemasan.

“Seperti yang dilakukan ENVIU/Zero Waste Living Lab yakni scaling impact, replicating, dan ideating. Tiga hal ini mencakup bagaimana bekerja sama dengan entrepreneur dan startup yang visinya menuju sosial ramah lingkungan, replikasi konsep ide dari luar, lalu menciptakan ide dari nol,” jelasnya.

“Kami juga mulai inovasi dalam order makanan online. Seperti menciptakan konsep borrow, use, return. Pelanggan bisa memesan dengan opsi kemasan alas yang circular, bisa dipakai ulang dan nanti bisa dikembalikan lagi,” tambahnya. (tri)