Industri Energi Hijau Hadapi Amukan Cuaca Ekstrem

Kamis, 21 Agustus 2025 12:00 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

Photo 1 - Xurya Terus Berkomitmen untuk Melakukan Inovasi Dukung Pemanfaatan EBT di Indonesia.png
PLTS Xurya (Xurya)

JAKARTA, WongKito.co – Di balik narasi indah tentang energi bersih, para pengembang proyek energi terbarukan kini menghadapi musuh baru yang tak terduga yaitu amukan cuaca ekstrem. Menurut laporan Bloomberg pada Rabu, 20 Agustus 2025, perubahan iklim yang semakin fluktuatif kini menjadi ancaman nyata yang bisa membuat bisnis energi hijau merugi besar.

Bayangkan sebuah ladang panel surya raksasa yang hancur dihantam badai es di Texas, atau pembangkit listrik tenaga angin di Australia yang berhenti berputar karena angin tak lagi berhembus kencang. Ini bukan lagi sekadar teori, melainkan realita pahit yang sedang terjadi.

Untuk melawan ancaman ini, sebuah senjata baru di dunia keuangan kini menjadi primadona, yakni asuransi parametrik. Produk ini menawarkan solusi cerdas untuk melindungi pendapatan dari ketidakpastian cuaca. Lantas, bagaimana cara kerjanya?

1. Musuh Baru Bernama Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim kini sangat nyata. Berdasarkan data dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus, berbagai anomali cuaca di seluruh dunia telah terjadi. Di Texas, ladang surya sering dilanda hujan es. Di Australia, kecepatan angin menurun dan tutupan awan menebal.

Bahkan di Asia, Indonesia, Malaysia, dan Brunei telah terjadi penurunan besar dalam radiasi matahari. Sementara itu, Qatar dan Kuwait mengalami penurunan kecepatan angin abad ini. Menurut Profesor Madya Energi Berkelanjutan Imperial College London, Iain Staffell, ancaman ini sangat serius dan dapat menghambat pembangunan.

2. Senjata Baru Bernama Asuransi Parametrik

Untuk melindungi diri dari kerugian ini, banyak perusahaan beralih ke asuransi parametrik. Kepala Global Cuaca dan AgRisk Partners Reasuransi Munich Re, Marcel-Steffen Reif, mengatakan bahwa semakin banyak perusahaan energi bersih yang menggunakan produk ini.

Berbeda dari asuransi biasa yang proses klaimnya rumit, produk ini bekerja dengan sangat sederhana: pembayaran cair secara otomatis jika sebuah metrik cuaca tertentu terpenuhi. Misalnya, jika kecepatan angin turun di bawah ambang batas selama periode tertentu.

Janji pembayaran yang super cepat menjadi daya tarik utamanya. Peneliti Senior Universitas Nasional Singapura, Jeong Won Kim, menyoroti kasus Topan Rai di Filipina, di mana Aboitiz Power Corp. berhasil menerima pembayaran klaim hanya dalam waktu 30 hari.

3. Tantangan di Lapangan: Tidak Selalu Mulus

Meskipun terlihat menjanjikan, implementasinya tidak selalu mulus. Kepala Keuangan ReNew Energy Global Plc, Kailash Vaswani, menceritakan pengalamannya saat membeli asuransi parametrik untuk melindungi pendapatan dari potensi penurunan kecepatan angin.

Namun, saat mengajukan klaim, pihak asuransi menolak membayar. "Angin terus berkinerja buruk dalam tiga hingga empat tahun terakhir sehingga penurunannya harus jauh lebih parah agar perusahaan asuransi mau membayar," ucap Vaswani, mengungkapkan kekecewaannya.

Selain itu, biaya premi juga menjadi perhatian. Direktur Pelaksana Infrastruktur Energi Actis GP LLP, Abhishek Bansal, yang perusahaannya mengelola aset senilai US$108 miliar, menuturkan bahwa mereka masih terus berdiskusi dengan perusahaan asuransi untuk memastikan tingkat harga premi sepadan dengan risiko yang ditanggung.

4. Apa Artinya Ini Bagi Masa Depan Energi Hijau?

Kisah ini menunjukkan dilema besar dalam transisi energi. Di satu sisi, investasi besar-besaran di energi hijau sangat dibutuhkan. Namun di sisi lain, risiko dari cuaca ekstrem yang semakin tak terduga membuat proyek-proyek ini menjadi lebih mahal dan sulit didanai.

Seperti yang diungkapkan Iain Staffell dari Imperial College London, ketidakpastian semacam ini pada akhirnya meningkatkan jumlah modal yang dibutuhkan untuk sebuah proyek. "Yang jelas merupakan hambatan bagi pembangunan," ujarnya.

Solusi seperti asuransi parametrik menjadi sangat krusial. Namun, produk ini perlu terus disempurnakan agar bisa benar-benar menjadi jaring pengaman yang andal dan dipercaya oleh para pengembang energi terbarukan di seluruh dunia.

5. Konteks Indonesia: Bensin dari Anggaran Jumbo Pemerintah

Pentingnya solusi mitigasi risiko ini menjadi semakin relevan di Indonesia. Pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto telah menjadikan ketahanan energi sebagai agenda prioritas, dengan menyiapkan anggaran fantastis sebesar Rp402,4 triliun dalam RAPBN 2026.

Salah satu fokus utama dari anggaran jumbo ini adalah untuk mengakselerasi transisi ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Pemerintah menyadari bahwa sumber energi Indonesia saat ini masih didominasi oleh fosil, dengan porsi EBT baru mencapai 14,68% pada tahun 2024.

Namun, dokumen RAPBN 2026 itu sendiri mengakui bahwa investasi EBT selama ini berjalan lambat karena biayanya yang tinggi dan infrastruktur yang terbatas. Di sinilah peran instrumen seperti asuransi parametrik menjadi sangat strategis untuk menarik lebih banyak investasi swasta.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Alvin Bagaskara pada 20 Agustus 2025.