SIEJ
Senin, 21 Juli 2025 10:29 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
Manado, WongKito.co — Jurnalis, akademisi, aktivis, dan masyarakat pesisir berkumpul dalam Jambore Jurnalistik 2025, di Pesisir Utara Manado, Sabtu-Minggu (19–20 Juli). Acara ini tak sekadar perayaan, tapi menjadi forum solidaritas dan kritik terhadap krisis lingkungan pesisir yang makin mendesak.
Dalam kesempatan itu, digelar diskusi publik yang mengupas reklamasi dan masa depan Pesisir Manado. Tak hanya diskusi, masyarakat pesisir, pelajar, dan aktivis tampil lewat pertunjukan puisi, musik akustik, dan mural di dinding dasen sebagai tempat berkumpul para nelayan tradisional.
Jambore juga memutar film dokumenter Watchdog "Memunggungi Laut” yang merekam jejak proyek reklamasi di berbagai wilayah Indonesia. Film ini meninggalkan kesan dalam dan refleksi kolektif.
“Film ini seperti cermin bagi kami. Yang kami alami di Manado, ternyata juga terjadi di banyak tempat lain,” ujar sejumlah anggota OI dan KontraS yang hadir.
Kegiatan ditutup dengan penandatanganan petisi penolakan reklamasi di Manado Utara. Petisi ini disepakati oleh jurnalis, seniman, aktivis, dan masyarakat pesisir sebagai bentuk sikap bersama.
Reklamasi Manado Dikecam
Dalam diskusi, kritik terkait reklamasi Manado disampaikan Pengamat Lingkungan Unsrat, Prof Rignolda. Ia menyebut proyek reklamasi Manado Utara sebagai langkah yang keliru dan berbahaya. “Reklamasi pantai Manado Utara adalah hal gila,” tukasnya.
Menurutnya, kawasan tersebut merupakan zona lindung berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2017 dan RZWP3K. Namun regulasi itu diabaikan. Mengingat, di Pantai Karangria ada penyu yang menetas. Dia menegaskan, dalam perda disebutkan bahwa daerah imigrasi biota laut tidak bisa direklamasi.
Secara teknis, lanjut Rignolda, struktur dasar laut Manado Utara berupa jurang dalam, dimana kondisi yang membuat penimbunan tidak logis. "Melakukan reklamasi di Manado Utara adalah sama saja merusak biota laut di taman nasional kita sendiri,” katanya.
Ia menambahkan, praktik reklamasi telah berlangsung sejak 1995, tapi hasilnya tidak jelas. Banyak lahan reklamasi terbengkalai, nelayan kehilangan ruang hidup, dan kota kehilangan arah. Pantai bagian selatan sudah direklamasi dan banyak yang tidak dimanfaatkan. "Mereka melakukan reklamasi tanpa tujuan dan konsep yang jelas,” ungkapnya.
Sekjen Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi, Piter Sasundame, menyebut proyek reklamasi dijalankan secara sepihak. Pemerintah selama bertahun-tahun, mengabaikan suara masyarakat. Reklamasi ini dibuat tanpa ada partisipasi masyarakat. "Sampai sekarang pun kami belum pernah melihat kajian AMDAL-nya seperti apa,” ujar Piter.
Dia menyebut proyek ini penuh manipulasi dan tak memberi jaminan kesejahteraan bagi nelayan. “Abulepo (bohong) semua,” sebutnya dalam dialek Manado.
Menanggapi diskusi, Kabid DLH Kota Manado Eddy Masengi menyatakan, pembangunan harus berjalan dalam koridor berkelanjutan. Regulasi seperti AMDAL dan RZWP3K menurutnya bukan sekadar formalitas, tetapi mekanisme perlindungan publik. “Regulasi ada untuk menjaga kepentingan bersama, bukan menghambat,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Joni Aswira mengatakan, jurnalis tidak bisa netral dalam persoalan lingkungan. Mereka harus berpihak pada ekologi dan kelompok rentan.
"Jurnalisme lingkungan harus hadir untuk menyeimbangkan narasi-narasi ekonomi yang kerap menyingkirkan kelompok rentan seperti nelayan,” ujarnya. (*)
2 tahun yang lalu
3 tahun yang lalu