Kashmir di Persimpangan Bahaya Saat 2 Negara Nuklir Tak Mau Mundur

Minggu, 08 Juni 2025 12:28 WIB

Penulis:Nila Ertina

Kashmir di Persimpangan Bahaya Saat 2 Negara Nuklir Tak Mau Mundur
Kashmir di Persimpangan Bahaya Saat 2 Negara Nuklir Tak Mau Mundur (Ist/freepik)

Oleh: Najwa Feresteh Zahra*

Kashmir merupakan wilayah kecil yang terletak di lembah pegunungan Himalaya, di bagian utara India.

Selama beberapa dekade terakhir, kawasan ini menjadi titik konflik berkepanjangan antara dua negara besar di Asia Selatan, yakni India dan Pakistan. Yang menjadikan Konflik ini semakin mengkhawatirkan karena melibatkan dua negara bersenjata nuklir, dengan sejarah panjang kekerasan yang belum terselesaikan.

Sejarah yang Tak Pernah Selesai

Konflik antara India dan Pakistan berakar pada peristiwa tahun 1947, ketika kedua negara memperoleh kemerdekaan dari penjajahan Inggris. Pada saat itu, Inggris membagi wilayah koloninya menjadi dua negara berdasarkan komposisi agama: India untuk mayoritas Hindu dan Pakistan untuk mayoritas Muslim.

Meski mayoritas penduduk Jammu dan Kashmir beragama Islam, wilayah ini kala itu diperintah oleh raja Hindu yang enggan memutuskan bergabung dengan India maupun Pakistan. Keputusan sepihaknya untuk bergabung ke India memicu kemarahan Pakistan dan menjadi awal dari konflik panjang yang terus berlangsung hingga kini.

Baca Juga:

Menurut Sumit Ganguly dalam Current History (2002),status politik Jammu dan Kashmir yang tidak jelas sejak masa pemisahan India dan Pakistan telah menjadi faktor utama munculnya ketegangan dan permusuhan berkepanjangan antara kedua negara.

Sepanjang sejarahnya, India dan Pakistan telah terlibat dalam tiga perang besar pada tahun 1947, 1965, dan 1971 dengan dua di antaranya secara langsung berkaitan dengan perebutan wilayah Kashmir. Meskipun Perjanjian Simla tahun 1972 menetapkan Garis Kontrol (Line of Control/LoC) sebagai batas de facto  antara wilayah kekuasaan kedua negara, status politik Kashmir tetap menjadi titik panas konflik hingga kini.

Mengapa Kashmir Begitu Diperebutkan?

Meski secara geografis wilayah Kashmir tampak kecil dan sulit diakses, India dan Pakistan tetap bersikeras untuk mengklaimnya sebagai bagian dari kedaulatan masing-masing.

Persoalan identitas menjadi salah satu akar konflik. Pakistan merasa memiliki ikatan budaya dan keagamaan dengan Kashmir, sementara India menegaskan Kashmir sebagai bagian sah dari wilayahnya.

Di luar persoalan identitas, Kashmir juga memiliki nilai strategis yang sangat tinggi. Dalam buku The Diplomat (2021), Kashmir and the Dangerous Logic of Nationalism, wilayah ini tidak hanya berbatasan langsung dengan Pakistan dan Tiongkok, tetapi juga menjadi sumber utama aliran sungai yang sangat penting bagi ketahanan pangan dan energi di Pakistan. Dengan demikian, penguasaan atas Kashmir membawa dampak besar terhadap keamanan regional.

Elit politik di kedua negara kerap mengeksploitasi isu Kashmir untuk membangkitkan nasionalisme, terutama menjelang pemilu atau saat tekanan dalam negeri meningkat.

Akibatnya, ruang kompromi semakin menyempit, sementara masyarakat Kashmir terus berada di tengah pusaran konflik berkepanjangan.

Bahaya Nuklir yang Nyata

Konflik antara India dan Pakistan tidak dapat dipandang sebagai perseteruan biasa antar dua negara bertetangga. India dan Pakistan merupakan kekuatan regional dengan sekitar 150–170 hulu ledak nuklir aktif, menurut SIPRI. Ketidakpercayaan historis membuat eskalasi senjata terus terjadi.

Perlombaan senjata nuklir ini berakar dari ketidakpercayaan yang telah berlangsung sejak awal kemerdekaan kedua negara. Samina Ahmed dalam laporannya untuk Council on Foreign Relations (2002) menjelaskan bahwa kecurigaan timbal balik yang terus-menerus menjadi faktor utama di balik eskalasi nuklir yang berbahaya tersebut.

Ketegangan antara kedua negara mencapai puncaknya pada Februari 2019, ketika terjadi serangan bom bunuh diri di Pulwama, wilayah Kashmir yang dikuasai India, yang menewaskan 40 personel paramiliter India.

Sebagai respons, India melancarkan serangan udara ke wilayah Pakistan, yang kemudian dibalas dengan penembakan jatuh pesawat tempur India oleh militer Pakistan. BBC News (2019) mencatat bahwa peristiwa ini menjadi salah satu momen paling kritis yang nyaris membawa kedua negara ke ambang perang terbuka sejak konflik Kargil tahun 1999.

Lebih mengkhawatirkan lagi, seperti dijelaskan oleh Mian dan Ramana (2003) dalam Scientific American, India dan Pakistan hampir tidak memiliki sistem komunikasi krisis atau mekanisme peringatan dini yang efektif. Dengan demikian, potensi salah perhitungan atau salah tafsir terhadap pergerakan militer lawan dapat memicu respons nuklir yang tidak terkendali.

Dalam studi oleh Toon et al. (2019) yang dipublikasikan di Science Advances, disimulasikan bahwa jika hanya 100 hulu ledak nuklir digunakan dalam konflik terbuka India-Pakistan, dampaknya akan sangat menghancurkan. Selain menyebabkan kematian massal di Asia Selatan, polusi udara ekstrem juga akan terjadi.

Lebih jauh, dunia akan menghadapi fenomena nuclear winter, yaitu penurunan drastis suhu global akibat asap dan partikel yang menutupi atmosfer, yang pada akhirnya mengakibatkan gagal panen dan kelaparan massal di berbagai wilayah dunia.

Dunia Tak Boleh Diam

Meski telah berlangsung lama dan membawa dampak besar, konflik antara India dan Pakistan sering kali tak mendapat perhatian memadai dari komunitas internasional.

Fokus media global cenderung tertuju pada isu-isu lain seperti konflik Palestina, perang di Ukraina, atau ketegangan geopolitik di Laut Tiongkok Selatan. Padahal, laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2024 menempatkan ketegangan India-Pakistan sebagai salah satu dari lima potensi konflik nuklir aktif paling berbahaya di dunia saat ini.

Baca Juga:

Oleh karena itu, negara-negara di luar kawasan terutama yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok seperti Indonesia perlu mulai memainkan peran yang lebih aktif sebagai pihak penengah yang netral.

Upaya mendorong dialog damai serta memperjuangkan pemulihan hak asasi manusia di Kashmir menjadi bagian dari tanggung jawab global dalam menjaga stabilitas dunia.

Dukungan internasional terhadap resolusi damai harus terus diperkuat agar konflik yang berlangsung lama ini tidak berkembang menjadi krisis keamanan internasional yang lebih luas.

*(Mahasiswa Hubungan Internasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)