Minggu, 26 Februari 2023 20:23 WIB
Penulis:Nila Ertina
Editor:Nila Ertina
JAKARTA, WongKito.co - Salah satu tokoh Indonesia, KH M Ali Yafie wafat, sehingga meninggalkan banyak kesan kebaikan terhadap masyaraka Nusantara.
Tak hanya dikenal sebagai ulama yang tinggi ilmunya dibidang keagamaan, KH M Ali Yafie juga mewariskan hasil kajian fiqih lingkungan (fiqhul bi’ah) pada awal tahun 2000-an dari kajian fiqih sosial yang telah dirintisnya sejak 1980-an.
Dengan bukunya Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, Kiai Ali Yafie dikenal sebagai ulama peletak dasar fiqih lingkungan dalam sejarah diskursus kajian Islam di Indonesia, demikian mengutip NUOnline, Minggu (26/2/2023).
Sosok Kiai Ali Yafie yang menggemari Kitab Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi karena keragaman pandangan ulama di dalamnya meluncurkan buku Merintis Fiqih Lingkungan Hidup pada 2006 M yang diterbitkan atas kerja sama Yayasan Amanah dan Ufuk Press.
Kiai yang menjadi Rais 'Aam PBNU 1991-1992 dan Ketum MUI 1990-2000 (dua jabatan tertinggi keulamaan pada masing-masing organisasi tersebut) bukan sekadar ahli fiqih yang jumud atau muballigh yang fasih mengajak jamaah pada kesalehan individu untuk kesejahteraan duniawi dan keselamatan ukhrawi.
Baca Juga:
Kiai Ali Yafie juga merupakan sosok ulama yang memiliki pandangan holistik sehingga memahami benar konstelasi alam raya dan juga ancaman kerusakan lingkungan yang berskala nasional dan global.
Kiai Ali Yafie merupakan sosok ulama yang berdialog dengan zamannya dan meneruskan misi kerasulan dan kenabian yang mengingatkan manusia pada ancaman dan bahaya kerusakan lingkungan yang menghadang di depan mata.
Kiai Ali Yafie - yang mengukur tanda keulamaan orang lain dari sikap tawadhu, adab, dan ketertiban bicara (kekuatan olah pikir) seseorang sebagai sifat ulama sesungguhnya ketika ia menyampaikan kesannya saat pertama kali bertemu ulama Betawi, Rais Syuriyah PBNU 1994-1999 KH M Syafi’i Hadzami – membagi bukunya ke dalam empat pembahasan, yaitu kerusakan lingkungan global, kerusakan lingkungan di Indonesia, pandangan fiqih tentang lingkungan, dan pintu darurat sebagai solusi yang ditawarkan dalam mengatasi krisis lingkungan.
Kiai Ali Yafie berdialektika dengan isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup baik dalam skala global maupun dalam skala nasional sebagai sebuah realitas modern. Kiai Ali Yafie menyebut pencemaran air, pencemaran tanah, krisis keragaman hayati, kerusakan hutan, kekeringan dan krisis air bersih, pencemaran udara, termasuk sampah kimia sebagai masalah ekologis yang mengancam umat manusia hari ini.
Kiai Ali Yafie dengan wawasan ekologis menggali kerangka pendekatan dalam mengatasi krisis lingkungan dalam khazanah fiqih yang kaya.
Dari kajian fiqih yang merupakan penjabaran rinci Al-Qur’an dan hadits, Kiai Ali Yafie menemukan relasi makhluk dan tanggung jawab manusia di dalamnya.
Fiqih yang merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman (al-ulum asy-syar’iyyah) yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam sebenarnya telah menawarkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup.
Akan tetapi, wacana lingkungan hidup (al-bi’ah al-hayatiyyah) tidak dibahas dan dikaji secara khusus pada bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqih. (KH M Ali Yafie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, [Jakarta, Yayasan Amanah-Ufuk Press: 2006 M], halaman 39-40).
Fiqih lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia dari amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi. (KH M Ali Yafie, 2006 M: 42).
Fiqih lingkungan hidup bukan berangkat dari pendekatan formalitas fiqih yang hanya memandang sebuah perbuatan mukallaf dari segi formal belaka, pemenuhan syarat dan rukun sebagai ketentuan yang harus dipenuhi.
Fiqih lingkungan hidup adalah corak pandangan fiqih dan wawasan keagamaan yang juga menghitung dampak secara riil dari perbuatan mukallaf dengan menimbang dampak mafsadat dan maslahat (ma'alat) yang menjadi roh dari syariat Islam itu sendiri.
“Betul, fiqih lingkungan ayah saya itu berangkat dari kegelisahan dan pergumulan intelektualnya atas ancaman kerusakan lingkungan yang kita semua saksikan,” kata Helmy Ali, putra Kiai Ali Yafie di kediamannya, Kompleks Menteng Residence, Jalan Menteng V, Blok FC 5 No.12, Sekror 7 Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, pada 13 Januari 2023.
Baca Juga:
Kiai Ali Yafie menjadikan Surat Ar-Rum ayat 41 sebagai pembuka kajian fiqih lingkungan hidup pada bukunya yang terdiri atas 295 halaman. Kiai Ali Yafie meyakini bahwa kerusakan alam baik di daratan maupun di lautan itu terjadi akibat dosa yang dilakukan oleh tangan manusia berupa ekspansi pasar global-transnasional, obsesi pertumbuhan ekonomi nasional, ekonomi kapitalisme, dan peningkatan (ledakan jumlah) penduduk di dunia ketiga. (KH M Ali Yafie, 2006 M: 62-64).
Kiai Ali Yafie–yang gemar membaca karena meyakini perintah membaca pada ayat pertama Al-Qur’an di Surat Al-Alaq sebagai sebuah kewajiban bagi umat Islam itu–melakukan kritik fundamental atas ancaman kerusakan lingkungan yang dirasakan manusia hari ini, terlebih mengalami akselerasi setelah revolusi industri di Eropa.
Kiai Ali Yafie melakukan kritik nalar terhadap filsafat modern yang berkembang pada Abad Ke-16 di Barat. Ia menyebut cara pandangan filsafat modern terhadap alam sebagai biang keladi dari kecenderungan eksploitasi terhadap alam yang menyebabkan krisis lingkungan hidup.
Mentalitas dan persepsi baru tentang kosmos memberikan sifat-sifat pada peradaban Barat yang menjadi karakteristik era modern. Pengertian alam semesta sebagai sesuatu yang bersifat organik, hidup, dan memiliki dimensi spiritual kemudian digantikan oleh pengertian bahwa dunia itu laksana sebuah mesin, yang melahirkan sikap egosentrisme. (KH M Ali Yafie, 2006 M: 29).
Meski digali dari khazanah fiqih klasik, fiqih lingkungan hidup itu merupakan tema kajian Islam yang terbilang baru.
Kajian dengan tema fiqih lingkungan ini baru dilaksanakan di lingkungan perguruan tinggi Islam, perguruan tinggi umum, dan di lingkungan ormas Islam dengan sumber daya yang memadai seperti Nahdlatul Ulama.
Kajian tersebut di antaranya dilakukan pada forum Muktamar NU 1994 (pandangan dan tanggung jawab NU terhadap lingkungan hidup), Muktamar NU 2015 (eksploitasi alam dan alih fungsi lahan), forum Munas NU 2019 (penanganan sampah plastik industri), dan forum bahtsul masail LBM PBNU 2020 (ekspor benur/benih lobster).(NUOnline)