Komitmen Indonesia Menuju Energi Bersih

Jumat, 19 Agustus 2022 08:24 WIB

Penulis:Nila Ertina

Ilustrasi EBT
Ilustrasi EBT (kemendikbud.go.id)

Eko Sulistyo (*)

Komitmen pemerintah Indonesia melakukan transisi energi untuk menyediakan energi bersih bebas emisi karbon, dalam sektor industri, komersial, dan tranportasi, terus bergulir.  

Meski saat ini tantangan percepatan transisi energi bertambah dengan adanya krisis energi global yang dipicu perang Rusia-Ukraina, namun keberlanjutan transisi energi harus tetap menjadi komitmen pemerintah sesuai amanat UU Nomor 16 Tahun Tentang Kesepakatan Paris.  

Sebagai Presidensi dan tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali, November 2022, yang salah satu agendanya membahas transisi energi, Indonesia berharap para pemimpin G-20 dapat menentukan masa depan sistem energi dan teknologi nol bersih dalam mempercepat transisi energi.  Negara-negara G-20 dan G-7 adalah penghasil karbon terbesar di dunia.  Sementara transisi energi dianggap "Holds Key to Tackle Global Energy and Climate Crisis" (IRENA, 2022).

Saat berpidato di KTT Iklim atau COP-26 di Glasgow, akhir tahun lalu, dan di World Economic Forum (WEF) di Davos awal tahun ini, Presiden Joko Widodo telah menegaskan komitmen Indonesia menjalankan pembangunan rendah karbon atau ekonomi hijau. Salah satunya dengan meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Tekad Indonesia ini mendapat apresiasi dari komunitas global.

Peran Swasta

Salah satu tantangan yang di hadapi Indonesia untuk mendukung transisi energi, beralih dari energi fosil ke energi bersih, adalah pendanaan yang tidak cukup hanya bersumber dari APBN.  

Dibutuhkan kontribusi pihak swasta dan komunitas filantropi global. Pada sebuah kesempatan, Presiden Joko Widodo menyampaikan perkiraan kebutuhan dana transisi energi mencapai US $ 30 miliar untuk delapan tahun ke depan.

Jumlah yang hampir sama juga pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, sekitar US $ 25–30 miliar untuk memensiunkan PLTU batu bara berkapasitas 5,5 gigawatt (GW) sampai 2030.  Sementara menurut penelitian Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Universitas Maryland (2022), dibutuhkan dana US $ 4,6 miliar untuk memensiunkan dini 11 persen dari kapasitas PLTU sampai 2030.

Dalam perhitungan Bappenas (2022), pembiayaan pembangunan rendah karbon di Indonesia per tahun sebesar 6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan mengacu PDB 2021 sebesar Rp 16.970,08 triliun, setidaknya dibutuhkan  Rp 1.000 triliun per tahun.

Melihat angka seperti itu, APBN diposisikan sebagai katalis yang secara paralel membutuhkan kontribusi swasta dan pendanaan global. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam percepatan transisi energi.

Di sektor energi kelistrikan, penghentian bertahap operasionalisasi PLTU, membutuhkan bantuan internasional dan koordinasi nasional yang terencana guna mendukung pencapaian bebas emisi Indonesia pada 2060.  Untuk itu, dibutuhkan sinergi dan kemitraan lintas sektoral, terutama dengan sektor swasta.

Namun sektor swasta butuh insentif untuk mengeksplorasi peluang inovasi di bidang teknologi transisi energi. Pemerintah dan otoritas lokal juga dapat memberikan informasi lebih lanjut kepada para pengusaha tentang pengembangan potensi EBT di daerah.  Ini dilakukan sebagai komitmen jangka panjang sesuai dengan peta jalan pembatasan suhu global di bawah 1,5 derajat celcius.

Presiden Joko Widodo sendiri telah memberi kepastian bahwa Indonesia tengah bergerak maju dalam penggunaan EBT.  Untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan pengurangan produksi dan penggunaan batu bara, minyak dan gas alam secara bertahap.  Pernyataan Presiden RI ke-7 ini akan membuka ruang mobilisasi dana komunitas internasional, baik lewat negara, lembaga donor atau filantropi.

Salah satunya, misalnya dengan menginisiasi kolaborasi Friend of Indonesia-Renewable Energi (FIRE). Sejumlah negara, Seperti Jerman, Inggris Raya, dan Denmark, telah menyatakan komitmennya untuk terlibat. Denmark bahkan siap berkontribusi pada 2023, dengan menyiapkan  dana hibah global bagi aksi iklim sekitar 500 juta dollar AS per tahun, dimana Indonesia masuk dalam skema pendanaan global ini.

Skema lainnya, melalui Mekanisme Transisi Energi (ETM), yaitu pembiayaan gabungan (blended finance) untuk mendukung percepatan penutupan PLTU. Dalam tahap rintisan sepanjang 2-3 tahun, ETM akan menggalang sumber dana untuk mempercepat penutupan PLTU.

Skema ETM juga memfasilitasi investasi EBT sesuai potensi setiap negara. Dalam peluncuran platform ETM di Bali, pertengahan Juli lalu, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) ditunjuk sebagai country platform manager ETM.

Langkah PLN

Dengan langkah terukur dan peta jalan yang jelas, PT PLN (Persero) berkontribusi dalam mendukung target bebas emisi  Indonesia 2060.

Dekarbonisasi sistem energi di sektor kelistrikan adalah salah satu tantangan terbesar dan terpenting dalam transisi energi.  Sektor energi sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim karena menyumbang sekitar dua pertiga dari karbon dioksida global (Quitzow, 2021).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), disebutkan komitmen pemerintah untuk mencapai target bauran energi 23 persen pada 2025.  Untuk mencapai itu, telah ditetapkan berbagai langkah strategis untuk mereduksi peran PLTU, salah satunya melalui PLTU co-firing, yaitu pembakaran batubara bersama biomassa kadar 5-10 persen. Kemudian juga pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dalam skala masif.

Merujuk rencana jangka pendek Kementerian ESDM,  PLTU berkapasitas 9,2 GW akan diberhentikan secara bertahap pada 2030. Bila memungkinkan PLTU 5,5 GW akan dipensiun lebih awal, dan diganti dengan EBT.  

Rencana terukur dengan target jelas dengan memensiunkan sekian unit PLTU, dan menggantinya dengan EBT, akan membantu mengembalikan Indonesia ke jalur yang sesuai dengan Kesepakatan Paris.

PLN sebagai operator tunggal ketenagalistrikan, sepanjang Juli dan Agustus 2022 telah menunjukkan progres signifikan dalam mengejar target energi bersih. Kegiatan dimaksud antara lain, konversi bertahap PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel)  yang sudah berusia 15 tahun ke EBT, pembangunan PLTMh (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro), dan sosialisasi kompor induksi.

Ada sekitar 5.200 unit PLTD yang masuk skema transisi yang akan tersebar pada 2.130 lokasi, dengan potensi setara 2 GW. PLN sedang dalam proses penyelesaian pembangunan PLTMh (sungai) Batanghari, Dharmasraya, dengan bekerja sama dengan swasta, yakni PT Brantas Total Energi.

Komitmen PLN dalam transisi energi, juga diwujudkan mengajak masyarakat untuk beralih dari kompor elpiji ke kompor induksi, yang program rintisannya telah dilakukan di Solo dan Bali tahun ini, dan mendapat respon positif dari masyarakat sebagai penerima manfaat. Dari kajian PLN, kompor induksi terbukti lebih murah dan praktis.

Mulai meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap energi hijau, menjadikan industri dituntut bertransformasi dengan cepat. Proses transisi yang dilakukan oleh PLN akan menjadi portofolio bahwa pengembangan EBT berada di jalur yang tepat agar terjadi keseimbangan antara bisnis dan kebutuhan terhadap energi hijau.  

Dengan potensi EBT yang melimpah, Indonesia bisa menjadi episentrum EBT, baik untuk kebutuhan sendiri maupun komunitas internasional.

---------------
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).