Senin, 17 Maret 2025 15:23 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
JAKARTA – Baru-baru ini Komisi I DPR RI menggelar rapat panitia kerja (panja) untuk mempercepat pembahasan revisi UU 34/2004 RUU TNI secara tertutup selama dua hari pada akhir pekan lalu, yakni Jumat, 14 Maret 2025 dan Sabtu, 15 Maret 2025, di hotel bintang lima Fairmont, Senayan, Jakarta.
Sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk sektor keamanan menerobos rapat RUU TNI. Mereka mendesak agar pembahasan revisi tersebut dihentikan karena dianggap tidak transparan dan berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
“Kami menolak adanya pembahasan di dalam. Kami menolak adanya dwifungsi (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ABRI! Hentikan pembahasan dwifungsi RUU TNI, hentikan, hentikan bapak ibu!” seru salah satu aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Andrie.
Pada November 1958, AH Nasution yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, memperkenalkan konsep “Jalan Tengah” dalam pidatonya pada peringatan dies natalis Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang. Konsep ini kemudian berkembang menjadi dasar bagi Dwifungsi ABRI.
Konsep ini pada dasarnya memberikan peran pada militer sebagai salah satu kekuatan politik untuk berperan dalam pemerintahan dengan berlandaskan asas negara kekeluargaan.
Gagasan tersebut muncul, antara lain, akibat kegagalan politisi sipil dalam merumuskan kebijakan akibat ketidaksepakatan antarpartai. Selain itu, situasi politik Indonesia saat itu semakin tidak stabil akibat tumbuhnya rasa saling curiga antara tentara dan para politikus.
Prinsip utama konsep ini adalah keterlibatan militer dalam membangun negara bukan untuk mengambil alih kekuasaan, melainkan untuk mendukung stabilitas. Oleh karena itu, peran militer harus dibatasi agar tetap berada dalam batasan otonomi yang telah ditetapkan.
Selain itu, militer juga diharapkan mampu mengantisipasi potensi penyalahgunaan oleh pihak tertentu, terutama elite politik, agar tidak dijadikan alat untuk kepentingan kelompok tertentu.
Konsep Dwifungsi ABRI digagas oleh Jenderal AH Nasution yang terinspirasi dari pemikiran seorang jenderal perang dari Prusia yaitu Karl von Clausewitz (Putra, et al. 2021). Clausewitz menjadi sumber inspirasi bagi Nasution karena keahliannya dalam strategi militer yang membuatnya dihormati banyak pihak.
Karl von Clausewitz mengaitkan pemikirannya tentang perang dengan berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, dan politik. Menurut Clausewitz, perang dapat menjadi alat untuk tindakan politik melalui cara lain bukan sebagai aktivitas militer saja.
Gagasan AH Nasution kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya Dekret 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno. Keputusan ini memberikan dasar konstitusional bagi peran politik ABRI, yang berfungsi sebagai golongan fungsional sekaligus kekuatan sosial politik.
Dwifungsi merujuk pada dua peran yang dijalankan oleh militer, yaitu sebagai kekuatan tempur dan sebagai pembina wilayah atau masyarakat.
Menurut Nasution, TNI tidak hanya berperan sebagai alat sipil seperti di negara-negara Barat, tetapi juga tidak berfungsi sebagai rezim militer yang menguasai pemerintahan. Dwifungsi dianggap sebagai bagian dari kekuatan sosial, di mana militer bekerja sama dengan elemen masyarakat lainnya.
Menurut buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas XII SMA karya Aim Abdulkarim, konsep yang diperkenalkan oleh AH Nasution dikenal sebagai “Jalan Tengah.”
Dalam praktiknya, konsep ini diinterpretasikan oleh militer dan penguasa Orde Baru dengan memperoleh landasan yuridis konstitusional melalui Pasal 2 Ayat 1 UUD 1945.
Akibatnya, di bidang politik militer, TNI/Polri mendapatkan perwakilan di lembaga legislatif seperti DPR dan MPR melalui mekanisme penunjukan dan pengangkatan, tanpa melalui proses pemilihan umum. Situasi ini mencerminkan paradigma ketatanegaraan yang tidak lazim dalam sistem demokrasi.
Pada era pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami perubahan, di mana TNI secara organisatoris (bukan perseorangan) menempati berbagai jabatan strategis dalam pemerintahan, seperti menteri, gubernur, bupati, serta posisi di lembaga legislatif melalui Fraksi ABRI/TNI.
Melalui konsep Dwifungsi, ABRI menjadi kekuatan politik yang berpengaruh dalam dinamika politik Indonesia. Pengaruh ini meluas ke berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk birokrasi, di mana dominasi militer terlihat dalam pengisian jabatan pemerintahan oleh perwira militer atau penunjukan mereka sebagai anggota MPR.
Pemanfaatan Dwifungsi ABRI ini memungkinkan Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaannya.
Salah satu dampak negatif dari penerapan Dwifungsi adalah penggunaan pendekatan keamanan dalam menangani permasalahan pembangunan. Kebijakan ini berakibat pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama terhadap masyarakat yang berkonflik dengan pemerintah.
Pada Orde Baru, pelaksanaan Dwifungsi ABRI menghadapi banyak penolakan dari berbagai kalangan, termasuk tokoh masyarakat, intelektual, mahasiswa, bahkan dari dalam tubuh militer sendiri.
Pada tahun 1977, kritik terhadap Dwifungsi muncul dari Seskoad di Bandung, lembaga pendidikan tertinggi di Angkatan Darat. Sejumlah perwira Seskoad menyusun sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai Seskoad Paper.
Dikutip dari buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 karya Abdoel Fattah, Seskoad Paper pada dasarnya mendesak ABRI untuk tidak berpihak dalam pemilihan umum. Dokumen ini juga merekomendasikan agar ABRI tetap netral dan berdiri di atas semua golongan dalam masyarakat (Jenkins 1984: x).
Selain itu, dokumen tersebut menegaskan kebijakan politik ABRI harus berlandaskan UUD 1945, bukan kepentingan kelompok tertentu. Kritik ini merujuk pada amanat Jenderal Soedirman yang menekankan bahwa UUD 1945 adalah pedoman utama bagi militer dalam berpolitik.
Pada 12 April 1978, sekelompok mantan perwira tinggi berpengaruh juga menyampaikan pernyataan keprihatinan, yang diumumkan langsung oleh KSAD Jenderal Widodo.
Salah satu konsekuensi dari penerapan Dwifungsi ABRI adalah dominasi militer atas pemerintahan sipil, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Di dalam tubuh militer sendiri, kritik terhadap konsep ini sebenarnya sudah muncul sejak Jenderal Soeharto kembali terpilih sebagai presiden untuk periode 1978-1983.
Kritik terhadap Dwifungsi ABRI juga meluas di masyarakat, karena banyaknya kesalahan dalam pengelolaan pemerintahan akibat kurangnya kompetensi militer dalam jabatan birokrasi sipil serta maraknya penyimpangan.
Konsep ini menjadi salah satu tuntutan utama mahasiswa untuk dihapuskan saat Reformasi 1998. Pada 20 Mei 1998, warga Universitas Gadjah Mada menuntut Soeharto untuk mundur sebagai bagian dari syarat reformasi serta menuntut “Kembalikan ABRI kepada Rakyat,” sembari menolak segala bentuk kekerasan dalam perjuangan reformasi (Diro Aritonang 1999: 120).
Sementara, Kongres Mahasiswa Indonesia 1999 menetapkan visi reformasi, salah satunya menegaskan bahwa peralihan menuju sistem demokratis harus ditandai dengan dihapuskannya Dwifungsi ABRI.
Setelah Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998, tekanan publik terhadap Dwifungsi ABRI semakin meningkat.
Dua bulan kemudian, TNI mulai mengevaluasi kembali peran sosial politiknya yang begitu luas, dan sejak saat itu, istilah Dwifungsi ABRI tidak lagi digunakan. Meskipun demikian, perubahan fungsi militer berlangsung secara bertahap.
Pada tahun 2000, dalam rapat pimpinan yang berlangsung pada 19-20 April, diputuskan militer akan mundur dari ranah politik dengan menghapuskan Dwifungsi ABRI. TNI secara resmi menarik diri dari peran sosial politik dan menegaskan bahwa tugas utama TNI kini adalah sebagai komponen utama dalam pertahanan negara.
Sejarah Dwifungsi ABRI berakhir pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Pasca reformasi, militer hanya diperbolehkan mengelola koperasi.
Tulisan ini telah terbit di Trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 17 Maret 2025.