sekolah palembang
Senin, 07 Juli 2025 11:14 WIB
Penulis:Nila Ertina
Oleh: Cahya Damayanti*
SUARA tawa anak-anak terdengar riang saat pulang sekolah melintasi Lorong sempit menuju kediaman mereka. Jalanan becek dan rumah-rumah papan yang berdempetan menjadi saksi bisu semangat mereka dalam menuntut ilmu, meski dengan segala keterbatasan.
Salah satu dari mereka adalah Fadilah (12), siswi kelas 6 SD yang setiap hari berjalan kaki lebih dari dua kilometer dari rumahnya menuju SD Negeri 107 Palembang. Dengan seragam lusuh namun rapi, Fadilah tetap ceria.
“Aku ingin jadi dokter, biar bisa bantu orang kampung yang sakit,” ujarnya sambil tersenyum malu, belum lama ini.
Banyak rintangan untuk merealisasikan mimpi Fadilah. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan dengan penghasilan tidak menentu, sementara ibunya bekerja mencuci pakaian tetangga. Mereka kerap kesulitan membelikan buku, sepatu baru, atau bahkan sekadar membayar iuran sekolah.
Baca Juga:
Di balik cerita Fadilah, terselip semangat luar biasa dari para pendidik yang tak menyerah dalam mengabdi.
Salah satunya, Susi Marlina (42), guru kelas di SDN 107 Palembang yang sudah mengajar lebih dari 15 tahun di sekolah tersebut.
“Banyak siswa kami berasal dari keluarga prasejahtera, tapi semangat belajar mereka tinggi. Itu yang membuat saya tetap semangat,” katanya.
Susi bahkan tak jarang merogoh kocek sendiri untuk membeli perlengkapan belajar murid-muridnya. “Kadang saya belikan pensil atau buku tulis. Anak-anak ini butuh dukungan, bukan hanya dari orang tua, tapi dari semua pihak,” tegas dia.
Di sekolah ini, Susi bukan satu-satunya yang
berjuang. Kepala SDN 107 Palembang, Ahmad Fauzi, juga berperan aktif memperjuangkan bantuan untuk sekolahnya.
“Kami mencoba menjalin kerja sama dengan dinas pendidikan dan komunitas sosial. Tahun lalu kami dapat donasi alat tulis dan rak buku dari komunitas literasi lokal,” jelasnya.
Komunitas Literasi
Dalam situasi seperti ini, peran komunitas sangat penting. Seperti yang dilakukan oleh Yayasan Rumah Baca Pelita Ilmu, sebuah komunitas literasi di Palembang yang sejak 2019 aktif memberikan pendampingan belajar untuk anak-anak di daerah marginal.
Ketua Yayasan Rumah Baca Pelita Ilmu, Rina Agustina (35), mengatakan mereka rutin mengadakan kelas membaca dan pelatihan keterampilan dasar.
“Setiap minggu kami datang ke beberapa lokasi, termasuk Kenten Laut. Kami ingin anak-anak tidak tertinggal dalam kemampuan membaca dan menulis. Ini bagian dari ikhtiar kami membangun pendidikan dari bawah,” ujar Rina.
Program yang digagas yayasan ini cukup sederhana, buku cerita anak, alat menggambar, dan waktu untuk mendengar. Namun dampaknya besar. Anak-anak merasa diperhatikan dan semakin termotivasi.
Menurut Rina, tantangan terberat bukan hanya keterbatasan akses, tapi juga kurangnya literasi orang tua.
“Banyak orang tua yang belum menganggap penting pendidikan. Tugas kita juga menyadarkan mereka, bahwa sekolah bukan sekadar formalitas, tapi jembatan masa depan anak-anak mereka,” tegasnya.
Baca Juga:
Situasi di Kenten Laut hanya secuil dari realita pendidikan di kawasan pinggiran Palembang. Masih banyak wilayah lain yang mengalami tantangan serupa, bahkan lebih berat. Namun di balik semua itu, ada semangat gotong royong dan kepedulian yang terus menyala.
Di sisi lain, aktivis pendidikan di lapangan menilai, pendekatan pemerintah masih cenderung terpusat. “Perlu lebih banyak dialog dengan komunitas akar rumput agar kebijakan benar-benar menyentuh kebutuhan lapangan,” ujar Rina.
Harapan terbesar tetap datang dari para siswa seperti Fadilah. Di tengah segala keterbatasan, ia dan teman-temannya tetap datang ke sekolah, membawa semangat, dan menyimpan mimpi besar. “Kalau aku besar, aku mau bangun rumah sakit di kampung ini,” katanya.
Senyumnya merekah, polos dan penuh harapan. Ia belum tahu bahwa perjuangan masih panjang. Tapi ia percaya, selagi semangat itu menyala, tidak ada yang mustahil.
*Mahasiswi Prodi Jurnalistik, UIN Raden Fatah Palembang, Angkatan 2023