kota layak anak
Senin, 15 November 2021 12:37 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA -Pengembangan kode etik pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual diusulkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk dilakukan lembaga pemerintah, penegak hukum, pendidikan, serta institusi negeri maupun swasta lainnya .
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengambil contoh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Menurut dia peraturan ini merupakan terobosan penting karena dapat menjadi suatu pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan serta mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang pada akhirnya dapat menciptakan kehidupan kampus yang semakin positif, tanpa kekerasan.
“Peraturan ini juga telah memasukan bentuk kekerasan seksual yang terjadi di dunia teknologi informasi komunikasi. Kami juga berharap lembaga lainnya, baik swasta maupun negeri, untuk mulai mengembangkan kode etik di lembaga masing masing,” ujar Menteri Bintang dalam Seminar Nasional Pekan Progresif 2021 secara virtual, dikutip dari siaran pers Kementerian PPPA pada Sabtu (13/11).
Bintang menyatakan, kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak yang besar bagi perempuan dan anak, bahkan bisa mencapai kematian, masalah kesehatan mental, hingga hilangnya produtivitas yang berpengaruh terhadap ekonomi.
Di sisi lain, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani, menyebutkan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih terjadi hingga saat ini tidak dapat terus menerus diabaikan.
“DPR RI terus memperhatikan berbagai kasus yang muncul dan mendorong pemerintah serta aparat penegak hukum agar melindungi korban, jangan sampai korban kekerasan menjadi korban prosedur hukum,” ungkap Puan.
Manajer Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia Lidwina Inge Nurtjahyo, sepakat mengenai pentingnya pembentukan peraturan di masing-masing lembaga terkait kekerasan seksual.
“Undang-Undang cakupannya general, supaya bisa masuk sampai ke lembaga-lembaga, maka harus diterjemahkan ke dalam peraturan yang sifatnya lebih teknis, sehingga lebih mudah dilaksanakan,” ujar Lidwina.
Lebih jauh lagi, Lidwina menjelaskan, berdasarkan Investigasi Konsorsium Nama Baik Kampus oleh beberapa media di Indonesia pada 2019, 179 anggota sivitas akademika dari 79 perguruan tinggi di 29 kota di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual.
“Bentuk-bentuk kekerasan seksual di kampus, pertama pelanggaran wilayah privasi seksual, misalnya memberikan pertanyaan tentang kehidupan pribadi mahasiswa, menunjukkan gambar konten seksual, menatap dengan intens, dan lain-lain. Kemudian tindakan fisik, yang paling berat percobaan dan atau tindakan perkosaan,” ungkap Lidwina.
Tulisan ini telah tayang di eduwara.com oleh Bunga NurSY pada 15 Nov 2021