Napas Terakhir Bumi Pertiwi: Menakar Harga Batu Bara di Tengah Krisis Iklim

Jumat, 21 Februari 2025 12:47 WIB

Penulis:Nila Ertina

Tangkapan layar Desa yang berada diantara pertambangan di Lahat, Sumatera Selatan
Tangkapan layar Desa yang berada diantara pertambangan di Lahat, Sumatera Selatan ((Google earth pro, by Najmah))

Oleh: Najmah*, Sasyi Friska Nindiyanti**

Editor: Wulandari Dwi Safitri dan Nila Ertina

Indonesia, negeri yang dihiasi ribuan pulau dan kekayaan alamnya, kini tengah menghadapi krisis eksistensial. Di balik keindahan alamnya, bayangan kelabu perubahan iklim semakin nyata, mengancam kehidupan jutaan manusia.

Ironisnya, ketergantungan ekonomi pada batu bara, sumber energi kotor yang menjadi biang keladi krisis ini, masih menjadi andalan pembangunan.
 

Lahat dan Sumber Batu Bara

Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, terdapat sekitar 36 perusahaan batubara dengan luas wilayah sekitar 31.454, 4 hektar. Berdasarkan Informasi dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat, kawasan peruntukan pertambangan batubara meliputi Kecamatan Merapi Timur, Kecamatan Merapi Barat, Kecamatan Merapi Selatan dan Kecamatan Lahat. Pada tahun 2023, terdapat 600.672 m3 produksi tambang batubara di Kabupaten Lahat.

Pertambangan batu bara di Kabupaten Lahat, meskipun memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah dan nasional, juga menimbulkan dampak perubahan lingkungan yang signifikan dan beragam. Aktivitas pertambangan, terutama yang dilakukan secara terbuka (open pit mining), telah menyebabkan kerusakan lahan yang luas.

Data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa luas lahan yang telah dibuka untuk pertambangan batu bara di Lahat mencapai 31.454, 4 hektare.

Kerusakan lahan ini mengubah bentang alam secara drastis, menghilangkan habitat alami bagi flora dan fauna, termasuk spesies yang dilindungi.

Selain itu, pertambangan batu bara juga berpotensi mencemari sumber-sumber air melalui limpasan air asam tambang (AAT) yang mengandung logam berat seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), dan arsenik (As), serta zat berbahaya lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Novin Teristiandi dan Dr. rer. nat. Andhika Puspito Nugroho dari Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa konsentrasi logam berat, khususnya mangan (Mn) dan besi (Fe), dalam air Sungai Lematang di sekitar area pertambangan di Lahat melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Air.

Pencemaran ini mengancam kualitas air dan kesehatan ekosistem perairan, termasuk makrozoobentos seperti Stenelmis sp. dan Hydropsyche instabilis, yang sensitif terhadap perubahan kualitas air.

 

Gambar 2. Grafik Nilai pH Air Sungai di Kabupaten Lahat

Grafik di atas menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Lematang masih berada dalam rentang baku mutu pH 6 - 8 sesuai dengan Permenkes Nomor 2 Tahun 2023, namun tetap perlu diwaspadai karena fluktuasi pH dapat dipengaruhi oleh aktivitas industri, pertambangan, dan limbah domestik. Perubahan pH yang ekstrem berisiko mengganggu ekosistem akuatik, terutama spesies yang sensitif terhadap kualitas air.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suroso et al. (2017) ditemukan bahwa Sungai Kungkilan yang berada di bawah administrasi Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, berpotensi mengalami penurunan kualitas air akibat aktivitas penambangan batu bara yang dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan. 



Gambar 3. Indeks Pencemaran Sungai Kungkilan Baku Mutu Air Sungai Kelas I
Sumber: (Suroso et al., 2017)

Perbedaan kualitas air Sungai Kungkilan pada musim kemarau dan musim hujan dipengaruhi oleh perubahan debit air serta tingkat pencemaran yang terjadi.

Pada musim kemarau, debit air relatif lebih kecil akibat minimnya curah hujan, sehingga kemampuan sungai untuk mengencerkan polutan menjadi lebih terbatas. Meskipun demikian, hasil pengukuran menunjukkan bahwa setiap segmen sungai masih memenuhi daya tampung pencemaran untuk parameter Total Suspended Solid (TSS). Hal ini berarti bahwa meskipun terdapat aktivitas pertambangan batu bara yang berpotensi mencemari air, konsentrasi padatan tersuspensi masih berada dalam batas yang dapat diterima oleh ekosistem sungai.

Baca Juga:

Namun, kondisi air pada musim kemarau cenderung lebih rentan terhadap peningkatan keasaman (pH rendah) akibat terbatasnya air yang dapat menetralisir pengaruh limbah tambang, terutama yang mengandung logam berat seperti besi (Fe) dan mangan (Mn).

Sebaliknya, pada musim hujan, debit air Sungai Kungkilan meningkat secara signifikan akibat tingginya curah hujan, yang menyebabkan limpasan permukaan (runoff) membawa lebih banyak material dari area pertambangan ke dalam sungai.

Akibatnya, terjadi peningkatan kandungan TSS, terutama pada segmen IV yang tercatat melebihi daya tampung sungai. Selain itu, limpasan hujan juga mempercepat penyebaran logam berat dari limbah tambang ke aliran sungai, berpotensi meningkatkan pencemaran air.

Walaupun terjadi peningkatan polutan, beberapa segmen sungai mengalami proses self-purification, yaitu mekanisme alami sungai dalam mengurangi kadar pencemar melalui sedimentasi dan aktivitas mikroorganisme. Namun, segmen hilir sungai tetap menunjukkan kualitas air yang memburuk akibat akumulasi polutan yang tidak sepenuhnya terurai.

Selain itu, debu dan emisi gas dari aktivitas pertambangan dan pembakaran batu bara berkontribusi signifikan terhadap pencemaran udara di Kabupaten Lahat.

Data dari Stasiun Klimatologi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pada Oktober 2024, konsentrasi partikel halus (PM2.5) mencapai nilai maksimum 51,7 µg/m³, yang melebihi standar kualitas udara ambien nasional sebesar 35 µg/m³. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kualitas udara berada dalam kategori 'Sedang', yang dapat berdampak negatif pada kesehatan masyarakat, terutama kelompok sensitif seperti anak-anak dan lansia.

Penelitian yang dilakukan di Desa Tanjung Jambu, Kecamatan Merapi Timur, Kabupaten Lahat, mengindikasikan bahwa aktivitas angkutan batu bara dengan truk berkapasitas besar berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi PM2.5 dan PM10 di udara ambien. Meskipun data kualitas udara ambien dari pengukuran perusahaan menunjukkan nilai yang memenuhi baku mutu lingkungan, angka kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di wilayah tersebut menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya, dengan 419 kasus pada 2020, 666 kasus pada 2021, dan 700 kasus pada 2022.

Pencemaran udara ini dapat berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar, menyebabkan masalah pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), serta memperparah masalah perubahan iklim global. Emisi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O), berkontribusi terhadap peningkatan suhu global dan perubahan iklim yang ekstrem.

Perubahan iklim ini membawa konsekuensi serius, seperti peningkatan suhu ekstrem yang dapat mengganggu produktivitas pertanian, perubahan pola curah hujan yang tidak menentu yang dapat menyebabkan banjir dan kekeringan, serta potensi bencana alam yang lebih sering terjadi, seperti longsor dan banjir bandang. Pada akhirnya, perubahan iklim dapat mengancam sektor pertanian, infrastruktur, dan kehidupan masyarakat secara umum.

Dampak sosial dan ekonomi juga menjadi perhatian serius.

Meskipun pertambangan batu bara dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah, namun seringkali manfaatnya tidak terdistribusi secara merata, dan justru dapat memicu konflik sosial terkait lahan dan sumber daya alam.

Penelitian menemukan bahwa konflik agraria antara masyarakat lokal dan perusahaan pertambangan di Lahat meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, risiko kesehatan akibat pencemaran lingkungan dan kondisi kerja yang buruk juga perlu diantisipasi.

Dampak Nyata: Bencana dan Ancaman Ekonomi

Climate change telah membawa dampak nyata, dari banjir, kekeringan, hingga kenaikan permukaan laut. Selain merusak infrastruktur dan lingkungan, bencana ini juga mengancam perekonomian. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memperingatkan bahwa tanpa langkah konkret, perubahan iklim dapat memangkas Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 0,5% pada tahun 2023, yang setara dengan kehilangan potensi ekonomi sebesar Rp112,2 triliun.

Salah satu kontributor signifikan terhadap perubahan iklim adalah industri pertambangan batu bara. Indonesia menempati peringkat kelima sebagai penghasil emisi gas metana terbesar di dunia dari tambang batu bara, dengan emisi mencapai 1,8 juta ton pada tahun 2023. Dampak iklim jangka pendek dari emisi ini setara dengan 153 juta ton emisi CO₂, sebanding dengan emisi sektor transportasi di seluruh Indonesia pada tahun 2019.

Dampak lingkungan dari industri batu bara juga signifikan, termasuk deforestasi, degradasi lahan, dan pencemaran air. Aktivitas pertambangan sering kali menyebabkan kerusakan ekosistem yang luas, mengancam keanekaragaman hayati, dan mengganggu mata pencaharian masyarakat lokal.

Selain itu, pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca, memperburuk dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan.

Jutaan Jiwa Terancam: Indonesia Rentan Tenggelam

Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang, Indonesia sangat rentan terhadap dampak kenaikan permukaan laut. Proyeksi para ahli menunjukkan bahwa permukaan air laut akan naik antara 25 hingga 50 cm pada tahun 2050, dan pada tahun 2100, sebagian besar kota pesisir di Indonesia berisiko tergenang. Kenaikan ini mengancam kota-kota seperti Jakarta, Semarang, dan Demak, di mana masyarakat pesisir berpotensi mengalami kehilangan harta benda akibat banjir dan tanah yang terendam secara permanen.

Cuaca ekstrem yang juga semakin sering terjadi, seperti badai dan gelombang panas, juga mengancam ketahanan pangan dan ekonomi nasional. Perubahan pola curah hujan dan suhu dapat mempengaruhi produktivitas pertanian, perikanan, dan sektor-sektor lain yang bergantung pada kondisi iklim stabil.

Salah satu faktor yang berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil, termasuk batu bara.

Baca Juga:

Indonesia, sebagai salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia, memiliki peran penting dalam dinamika ini. Meskipun ada upaya untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara, seperti rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dalam 15 tahun ke depan, tantangan dalam implementasinya tetap besar.

Selain itu, beberapa perusahaan batu bara Indonesia mulai melakukan diversifikasi ke sektor lain, seperti pengolahan nikel dan aluminium, sebagai respons terhadap tekanan lingkungan dan kesulitan pendanaan untuk proyek batu bara. Namun, batu bara tetap menjadi komoditas penting bagi perekonomian Indonesia, dan transisi menuju energi terbarukan memerlukan komitmen dan investasi yang signifikan.

Dengan mempertimbangkan dampak kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem, serta kontribusi sektor batu bara terhadap emisi gas rumah kaca, Indonesia perlu mengambil langkah adaptasi dan mitigasi yang tepat. Hal ini termasuk mengurangi ketergantungan pada batu bara, meningkatkan investasi dalam energi terbarukan, dan mengembangkan kebijakan adaptasi untuk melindungi masyarakat pesisir yang rentan. Tanpa adaptasi yang tepat, lebih dari 4,2 juta warga pesisir berisiko kehilangan tempat tinggal antara tahun 2070–2100.

Momentum untuk Berubah: Harapan dari Transisi Energi

Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Perlu tindakan tegas untuk melepaskan ketergantungan pada batu bara dan beralih ke energi terbarukan. Investasi dalam energi bersih dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan menjadi langkah krusial untuk menghindari bencana iklim.

Di tengah tantangan ini, muncul secercah harapan. Presiden Prabowo dalam KTT G20 Brazil berjanji bahwa Indonesia akan berhenti menggunakan bahan bakar fosil dalam 15 tahun ke depan, tepatnya pada 2040. Langkah ini bisa menjadi awal perubahan besar.

Masa depan Indonesia ada di tangan kita. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan apakah generasi mendatang dapat hidup sejahtera di negeri ini, atau harus menghadapi ancaman bencana iklim yang tak terhindarkan.


*Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya
**Alumni S1 Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijay

Referensi:
Bronkhorst, B. Van, & Bhandari, P. (2021). Climate Risk Profile: Indonesia (2021). World Bank, 36. www.worldbank.org
Friederich, M. C., & Van Leeuwen, T. (2017). A review of the history of coal exploration, discovery and production in Indonesia: The interplay of legal framework, coal geology and exploration strategy. International Journal of Coal Geology, 178, 56-73.
IESR (Intitute for Essential Services Reform). (2024). IETO 2025: Status and Progress of Indonesia’s Energy Transition. https://iesr.or.id/en/ieto-2025-status-and-progress-of-indonesias-energy-transition/
https://apnews.com/article/indonesia-coal-energy-transition-f…