Pajak Kripto Indonesia hingga November 2024 Nyaris Tembus Rp1 Triliun

Kamis, 19 Desember 2024 18:58 WIB

Penulis:Susilawati

WhatsApp Image 2022-07-28 at 5.00.36 PM (1).jpeg
Ilustrasi perdagangan aset kripto. (TrenAsia/M. Faiz Amali)

JAKARTA - Penerimaan pajak dari transaksi aset kripto di Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hingga November 2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkan bahwa total pajak yang diperoleh dari transaksi aset digital ini mencapai Rp979,08 miliar. 

Penerimaan pajak dari aset kripto mencatat peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2022, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp246,45 miliar, sedangkan pada 2023 nilainya sedikit menurun menjadi Rp220,83 miliar. Namun, pada 2024, angka tersebut melesat tajam hingga mencapai Rp511,8 miliar, berkat meningkatnya transaksi di pasar kripto.  

Baca juga:

Rincian Penerimaan Pajak Kripto 

Penerimaan pajak kripto di Indonesia berasal dari dua sumber utama:  
1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22  

Pajak ini diterapkan pada transaksi penjualan aset kripto di platform exchanger, yang hingga November 2024 telah menyumbang Rp459,35 miliar.  

2. Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) 

Pajak ini dikenakan pada transaksi pembelian aset kripto di exchanger, dengan kontribusi mencapai Rp 519,73 miliar.  

Ekosistem Kripto yang Mendukung Ekonomi Digital 

Wan Iqbal, Chief Marketing Officer (CMO) Tokocrypto sekaligus Wakil Ketua Komite Tetap Aset Kripto KADIN, menilai bahwa peningkatan penerimaan pajak kripto ini mencerminkan perkembangan positif ekonomi digital di Indonesia. Menurutnya, pemerintah berhasil memanfaatkan peluang dari transaksi aset digital untuk memperkuat pendapatan negara dan mendukung pembangunan nasional.  

Iqbal juga menekankan pentingnya inovasi dalam perluasan basis pajak. "Dengan adanya pajak aset kripto, pemerintah memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri sekaligus menunjukkan dukungannya terhadap ekonomi digital. Jika dilengkapi dengan insentif pajak dan regulasi yang jelas, Indonesia berpeluang menjadi pemain utama dalam ekosistem blockchain global," ujarnya melalui hasil riset yang diterima TrenAsia, Kamis, 19 Desember 2024. 

 

Tantangan dan Peluang Pajak Kripto di Asia 

Laporan terbaru dari Tiger Research menyoroti berbagai kebijakan perpajakan kripto di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Kebijakan tersebut mencerminkan strategi masing-masing negara dalam merespons perkembangan pasar aset digital.  

Beberapa negara seperti Singapura, Hong Kong, dan Malaysia menawarkan kebijakan bebas pajak untuk menarik minat investor global. Di sisi lain, Jepang dan Thailand menerapkan pajak progresif untuk redistribusi kekayaan. 

Sementara itu, India memilih pajak tetap untuk menyederhanakan administrasi, dan Indonesia mengadopsi pajak berbasis transaksi guna meningkatkan transparansi pasar.  

Korea Selatan menempuh pendekatan berbeda dengan menunda penerapan pajak kripto sambil mengamati dinamika global. Perbedaan strategi ini menunjukkan bahwa setiap negara memiliki prioritas dan tantangan yang berbeda dalam mengelola pasar aset digital.  

 

Kolaborasi Pemerintah dan Industri Kripto 

Iqbal juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri untuk menciptakan ekosistem yang inklusif dan kompetitif. Ia menilai bahwa kebijakan perpajakan tidak hanya tentang meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga memastikan perlindungan bagi pelaku pasar, termasuk pemain kecil.  

"Kita perlu menciptakan kebijakan yang menarik investor, namun tetap melindungi pelaku usaha kecil. Kolaborasi antara regulator dan industri sangat penting untuk membangun pasar yang stabil, transparan, dan berkelanjutan," tambahnya.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 19 Dec 2024