IHT Rokok
Selasa, 27 Juli 2021 08:30 WIB
Penulis:Redaksi
JAKARTA - PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dinilai tidak urgen. Kenyataannya, regulasi tersebut justru memberi tekanan kepada tiga wilayah sentra tembakau.
Hal ini tampak dari hasil riset Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam-PBNU).
Riset tersebut dilakukan di tiga daerah penghasil tembakau, yaitu Pamekasan Madura, Rembang Jawa Tengah, dan Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selain menciptakan persoalan baru, regulasi ini dinilai telah membatasi gerak petani daerah yang mayoritas warga Nadliyin untuk tumbuh dan berkembang.
Peneliti Lakpesdam PBNU Hifdzil Alim menjelaskan, tembakau sudah ada sejak lama di negara ini. Namun, kemudian konsumsinya semakin ditekan dengan berbagai kebijakan yang berlapis.
Hal ini yang mendasari Lakpesdam untuk melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan-kebijakan di bidang pertembakuan, serta dampaknya bagi petani tembakau di daerah.
“Tembakau menghidupi masyarakat dan menyumbangkan pendapatan yang signifikan bagi negara dari sisi cukai, penyerapan tenaga kerja, serta menjadi elemen penting untuk menggerakkan perekonomian dan pembangunan di daerah,” ujarnya saat memaparkan hasil penelitian, Senin, 26 Juli 2021.
Ia menambahkan, belum ada komoditas atau industri lain yang memberi kontribusi setara seperti halnya tembakau. Implementasi PP 109/2012 berdampak terhadap petani tembakau dan IHT karena banyaknya pembatasan dalam produksi, pengolahan, pemasaran, dan konsumsi produk tembakau. Tidak hanya itu, aturan tersebut juga menimbulkan ketidakpastian usaha karena lemahnya akses informasi bagi para petani.
Selain petani, dampak juga dirasakan oleh IHT. Di Pamekasan, misalnya, terjadi tren penurunan yang signifikan. Saat ini, hanya ada 45 perusahaan dari sebelumnya 272 perusahaan pada 2012.
Begitu pula dengan kondisi IHT di Rembang yang merupakan salah satu daerah produksi tembakau terbanyak di Jawa Tengah. Dengan maraknya kampanye anti rokok, berbagai usaha IHT mulai mati secara perlahan. Permasalahan lain yang dialami, yakni minimnya alokasi dana terhadap peningkatan kualitas produksi dalam IHT.
Sementara itu di Lombok, instrumen PP 109/2012 justru mendorong upaya masif untuk membatasi tingkat produksi lokal hingga kampanye anti rokok. Di lain sisi, peran pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap IHT juga sangat rendah.
Hal ini terlihat dari abainya intervensi pemerintah pada peningkatan IHT melalui pola kemitraan antara petani dengan pelaku industri.
Hifdzil juga memaparkan, kebijakan yang menguatkan dan menyejahterakan petani tembakau saat ini adalah kemitraan yang setara, adil, dan saling menguntungkan.
Dalam regulasi itu, pemerintah seharusnya menjamin petani untuk memperoleh asuransi pertanian. Hal ini penting agar petani dapat bekerja dengan tenang dan nyaman.
“Dari kalangan industri, yang perlu dilibatkan secara aktif dan menjadi komponen penting tidak hanya IHT yang berskala raksasa, tetapi justru yang berskala UMKM,” ujarnya.
Dinas di daerah, lanjutnya, tidak memahami dan tidak mendapatkan sosialisasi tentang PP 109/2012. Hal ini menjadi penting, terlebih saat dorongan revisi marak dan menjadi polemik di tengah situasi ekonomi yang lemah.
Menurutnya, dorongan revisi merupakan hasil politisasi tanpa mempertimbangkan capaian, dampak dan implementasi. Selain itu, usulan tersebut tidak dipertimbangkan secara komprehensif karena belum ada evaluasi menyeluruh dampak kebijakan IHT terhadap mata rantainya.
Implementasi, edukasi dan sosialisasi kepada petani juga belum dilakukan, padahal dapat dianggarkan melalui alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Perangkat hukum dan infrastruktur dinilai belum mumpuni.
“Hal ini berpotensi memunculkan intervensi birokrasi. Kebijakan hanya lembaran kertas tanpa pemahaman dan implementasi yang baik dan sesuai,” ungkapnyaa.
Atas hasil penelitian tersebut, Lakpesdam memberikan empat rekomendasi. Pertama, dari sisi aspek sosial dan ekonomi. Penyusunan regulasi tembakau sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek secara menyeluruh.
“Tidak hanya paradigma kesehatan yang digunakan, tetapi juga penting menggunakan paradigma kebudayaan dan perekonomian,” ungkapnya.
Kedua, dalam proses pembentukannya, PP 109/2012 adalah hasil negosiasi maksimal antara paradigma kesehatan dengan paradigma perekonomian.
Ketiga, aturan tersebut masih dipandang relevan dan tidak perlu direvisi. Sebaliknya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya mengimplementasikan PP 109/2012 secara konsisten. Selain itu, pemerintah harus menjalankan program DBHCHT.
Keempat, pentingnya menciptakan pola kemitraan antara produsen dengan petani agar timbul kepercayaan. Dengan demikian, akan memperbaiki pola tata kelola niaga dan menjaga stabilitas harga jual hasil panen.
“Kami mengakui terjadi dinamika perkembangan IHT, pasang surut luas lahan pertanian tembakau, dan naik turun jumlah petani tembakau sebelum dan sesudah terbitnya PP 109/2012. Dinamika ini dipandang memiliki hubungan langsung sebagai dampak dari terbitnya regulasi tersebut,” ungkap Hifdzil.