Pertanian
Kamis, 06 Juni 2024 07:36 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
Merauke, Wongkito.co - Pada tahun 2007 awal mula hutan Boven Diegol akan dibabat habis, digantikan perkebunan sawit. Izin konsensi dikeluarkan oleh bupati Yusak Yaluwo terhadap tujuh perusahan cangkang (Shell company).
Merebaknya kasus ini atau kasus Proyek Tanah Merah, karena adanya penolakan masyarakat adat atau suku asli Papua terhadap kelangsungan hidup mereka. Kamis, 6 Juni 2024.
Dilansir dari laporan hasil investigasi The Gecko Project, sebuah organisasi nirlaba asal Inggris yang befokus pada investigasi jurnalistik terkait penggunaan lahan dan dampaknya pada berbagai isu penting global, Ketujuh perusahaan cangkang tersebut diduga hanya kedok belaka.
Perusahaan-perusahaan ini tidak menunjukkan aktivitas nyata di lapangan, melainkan hanya berfungsi untuk menyembunyikan aktor sebenarnya di balik proyek tersebut.
Pada tahun 2009, Chairul Anhar mengklaim telah membeli ketujuh perusahaan tersebut dan meminta bantuan Yusak untuk memperpanjang izin konsesinya.
Pada tahun 2010, Yusak Yaluwo ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan korupsi anggaran daerah.
Meskipun berada di dalam penjara, Yusak kembali terpilih sebagai bupati pada tahun yang sama.
Setelah dilantik, ia dinonaktifkan namun tetap aktif dalam mendorong Proyek Tanah Merah dengan menandatangani perpanjangan izin dari dalam penjara.
Kasus ini menggambarkan praktik korupsi yang meluas di kalangan kepala daerah, khususnya dalam hal pemberian izin konsesi lahan.
Proyek Tanah Merah menunjukkan ketidakseimbangan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Pemberian izin konsesi lahan oleh kepala daerah yang korup seperti Yusak Yaluwo memperlihatkan bagaimana proyek-proyek besar sering kali dijalankan tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal.
Meskipun masih dalam tahap awal pengembangan, Proyek Tanah Merah berpotensi merusak hutan yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat di Boven Digoel.
Proyek Tanah Merah direncanakan mencakup lahan seluas 2.800 kilometer persegi yang akan dikonversi menjadi perkebunan sawit.
Luas ini setara dengan dua kali luas Jakarta, menjadikannya salah satu proyek perkebunan sawit terbesar di Indonesia.
Dengan skala sebesar itu, Proyek Tanah Merah tidak hanya menarik perhatian domestik tetapi juga internasional karena dampak lingkungan yang potensial dan dampak ekonomi yang signifikan.
Transformasi area seluas itu menjadi perkebunan sawit akan membutuhkan penebangan besar-besaran hutan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Proyek ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang deforestasi, emisi karbon yang tinggi, dan hilangnya habitat alami, yang semuanya dapat berdampak buruk bagi ekosistem lokal dan global.
Hutan-hutan tersebut bukan hanya rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna yang langka.
Selain itu, masyarakat adat yang bergantung pada hutan untuk kehidupan sehari-hari mereka akan terkena dampak langsung dari penggundulan hutan ini, kehilangan akses ke sumber daya alam yang vital bagi kelangsungan hidup mereka.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 05 Jun 2024
setahun yang lalu