setara
Senin, 28 April 2025 07:48 WIB
Penulis:Nila Ertina
Oleh M. Yasin*
TAK banyak yang mengenal sosok Ratu Sinuhun, sebab namanya jarang, bahkan tak pernah disebut dalam pelajaran Sejarah Nasional Indonesia. Masyarakat lebih mengenal nama-nama, seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Laksamana Malahayati, dan Martha Christina Tiahahu dari Maluku.
Siapakah Ratu Sinuhun?
Ratu Sinuhun adalah istri dari Sido Ing Kenayan, Raja Kerajaan Islam Palembang yang memerintah pada tahun 1639–1650. Nama lengkap sang raja adalah Sido Ing Kenayan Jamaludin Mangkurat IV, yang menggantikan pamannya, Sido Ing Puro Jamaludin Mangkurat III (1630–1639).
Ratu Sinuhun adalah putri dari Temenggung Manco Negaro bin Pangeran Adi Sumedang bin Pangeran Wiro Kesumo Cirebon, yang merupakan keturunan dari Sayyid Maulana Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri). Ibunya bernama Nyai Gede Pembayun, putri dari Ki Gede Ing Suro Mudo, Raja Kedua Kerajaan Islam Palembang.
Penyusun Kitab Undang-Undang
Pada masa pemerintahan suaminya, Ratu Sinuhun menyusun sebuah kitab hukum yang disebut Undang-Undang Simbur Cahaya. Kitab ini ditulis dengan huruf Arab-Melayu dan digunakan sebagai pedoman hukum adat yang dipadukan dengan ajaran Islam. Undang-undang ini diberlakukan di wilayah “Uluan” dan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Palembang.
Secara garis besar, Undang-Undang Simbur Cahaya terdiri dari:
Bab I, 32 pasal tentang adat bujang-gadis dan perkawinan.
Bab II, 29 pasal mengenai sistem pemerintahan marga.
Bab III, 34 pasal tentang aturan dusun dan berladang.
Bab IV, 58 pasal yang mengatur tentang struktur dan hak-hak kaum perempuan.
Bab V, 6 pasal mengenai sanksi dan denda.
Jauh Sebelum Kartini
Ratu Sinuhun layak disebut sebagai tokoh emansipasi perempuan karena keberaniannya menyuarakan hak-hak perempuan jauh sebelum era R.A. Kartini. Jika Kartini menyampaikan gagasan-gagasannya lewat surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda—seperti Stella Zeehandelaar pada abad ke-19, maka Ratu Sinuhun telah menuangkan pemikirannya dalam bentuk kitab hukum pada abad ke-17.
Dalam Undang-Undang Simbur Cahaya, terdapat pasal-pasal yang melindungi hak-hak perempuan, seperti:
Hak memilih calon suami.
Perlindungan dari kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan ucapan yang tidak senonoh.
Hak untuk melapor ke pemerintahan marga atas tindakan kekerasan atau pelecehan.
Pemerintahan marga melalui perangkat, seperti pasirah, kerio, atau penggawo, diberi wewenang untuk memberikan sanksi berupa denda maupun kurungan terhadap pelaku.
Pemikiran-pemikiran progresif Ratu Sinuhun yang dituangkan dalam Undang-Undang Simbur Cahaya seharusnya menjadi dasar bagi Pemerintah Kota Palembang dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk memberikan penghargaan atas jasa-jasanya.
Sudah sepantasnya Ratu Sinuhun diakui sebagai Pahlawan Daerah, bahkan diusulkan sebagai Pahlawan Nasional sebagai Tokoh Emansipasi Perempuan dari Palembang.
*Budayawan dan Seniman Palembang