kekerasan seksual
Minggu, 13 Oktober 2024 09:19 WIB
Penulis:Nila Ertina
PALEMBANG, Wongkito.co - Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi mengingatkan, setiap kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah potensi femisida yang harus menjadi perhatian serius semua pihak.
“Setiap orang, baik keluarga hingga lembaga layanan masyarakat harus tahu dan sama-sama aware soal ini,” tegas Aminah dalam dialog online bertema Femisida di Indonesia yang disimak melalui saluran Instagram @womensmarchjkt, Sabtu (12/10/2024).
Hal ini berdasarkan pantauan Komnas Perempuan setiap tahunnya menempatkan kasus femisida pada relasi intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.
Baca Juga:
Data Komnas Perempuan yang disiarkan Mei 2024 lalu menyebutkan, kasus indikasi femisida yang kuat pada 2020 terpantau 95 kasus, pada 2021 sebanyak 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus, dan pada 2023 sebanyak 159 kasus.
Komnas Perempuan sendiri mulai menggunakan istilah femisida pada Catatan Akhir Tahun (Catahu) tahun 2017, setelah Diana Rusell memperkenalkannya dan diadopsi PBB di Deklarasi Wina tahun 2012. Sebelumnya Komnas Perempuan hanya menulis catatan kematian perempuan korban KDRT.
Ami menjelaskan, harus dibedakan antara pembunuhan biasa dengan femisida. Pengertian femisida yakni pembunuhan terhadap korban perempuan karena jenis kelamin atau gendernya sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender. Femisida sendiri terbagi atas pembunuhan langsung (direct) dan pembunuhan tidak langsung (inderect). Femisida karena KDRT termasuk jenis direct.
“Tantangan saat ini data kriminal Indonesia masih dengan pendekatan pelaku, ini merugikan perempuan sebagai korban. Karena itu, pengetahuan tentang femisida ini harus sudah dipahami banyak pihak, masih banyak ruang untuk upaya mencegah dan menanganinya,” jelas dia.
Hadir di kesempatan yang sama, Manager Advokasi Perkumpulan Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist), Naila Rizqi sepakat KDRT dapat menjadi potensi terjadi femisida. Pihaknya mencatat, 40% KDRT dilakukan oleh pasangan dan 1 dari 10 korban femisida mengalami kekerasan seksual sebelum ataupun sesudah pembunuhan.
Baca Juga:
Menurutnya, akar masalah justru dari sistem patriarki, yakni sistem sosial yang menempatkan laki-laki lebih terhormat dan perempuan dianggap sub ordinat semata. Selain itu, diperparah dengan praktik impunitas terhadap pelaku. Sebelum UU TPKS bahkan belum ada aturan negara yang mengakomodir kebutuhan perempuan untuk keadilan.
Dia menegaskan, siklus kekerasan akan terjadi apabila korban tidak diberi perlindungan dan pelaku dibiarkan. Contohnya kasus Cikarang yang dianggap kurang bukti. Akhirnya korban kembali ke pasangannya, potensi kembali terima kekerasan akan terjadi. Itu yang tidak diukur aparat.
“Sering kami temukan seperti itu. Ada lebih lima kasus KDRT yang berakhir femisida,” sebutnya. (yuliasavitri)
7 bulan yang lalu