Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Program MBG dan Hak Atas Pangan Perempuan Jadi Sorotan

Kamis, 30 Oktober 2025 16:48 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

1758190043450.webp
MBG (wongkito.co/nila ertina)

JAKARTA, WongKito.co - Dalam rangka peringatan Hari Pangan Sedunia dan momentum setahun pemerintahan Prabowo-Gibran, Solidaritas Perempuan menyoroti klaim capaian dari Food Estate dan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sementara bagi masyarakat Food Estate dan MBG berhasil membawa berbagai permasalahan sosial ekonomi, termasuk konflik agraria.

Dalam keterangannya Kamis (30/10/2025), Solidaritas Perempuan menilai, poin kedua dalam Asta Cita Pemerintahan Prabowo, sektor pangan menjadi bagian dari kerja militer, akhirnya membuktikan bahwa pangan hanya dilihat sebagai komoditas. Bahkan, tidak jarang pemerintah dan swasta menggunakan perangkat negara seperti kebijakan dan militer untuk memanipulasi hukum dan melegitimasi upaya perampasan lahan yang mendukung berbagai proyek ambisi pemerintah. 

Berbagai proyek yang dilegitimasi melalui skema PSN antara lain  Pembangunan Bendungan Bener di Purworejo, Proyek Makassar New Port, Proyek Cetak Sawah di Kalimantan Tengah, Kawasan Industri PT IMIP di Morowali dan Pembangunan Bendungan Meninting. Sementara itu, masih ada warisan konflik agraria yang berkepanjangan oleh BUMN PTPN di Ogan Ilir Sumatera Selatan dan Takalar Sulawesi Selatan.

Selain itu, berbagai proyek iklim yang diklaim pemerintah sebagai upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim nyatanya menjadi solusi palsu. Pada Pembangunan Geothermal di Nusa Tenggara Timur dan Lampung serta PLTA di Kabupaten Poso. Bahkan, ancaman pengambilalihan tanah secara sepihak oleh pemerintah semakin nyata dari adanya proyek MBG. 

Alih-alih untuk memperbaiki gizi dan ekonomi masyarakat, program ini justru menggerus anggaran negara secara besar-besaran dan masalah yang ditimbulkan setelahnya seperti keracunan massal, kenaikan pajak, kebijakan efisiensi.

Setidaknya sebanyak 1.376 anak sekolah di berbagai daerah diduga menjadi korban keracunan dan ratusan perempuan kehilangan lahan produktif untuk implementasi MBG dan Food Estate. Mirisnya, pemerintah melihat berbagai dampak masalah tersebut hanya sebagai angka statistik. 

“Pengabaian negara terhadap berbagai polemik mencerminkan sikap nir empati dan menunjukkan bahwa pemerintah tidak berhasil melihat indikator apa yang bisa digunakan untuk menjawab persoalan struktural pangan di Indonesia,” ungkap Solidaritas Perempuan.

Investigasi Dinas Kesehatan Bandung, Bogor, dan Tasikmalaya Jawa Barat serta Kabupaten Penukal Abab Ilir Sumatera Selatan menemukan adanya kontaminasi bakteri Salmonella, E. coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis serta Candida tropicalis. Sementara itu, berdasarkan Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia per 19 Oktober 2025 jumlah anak-anak yang mengalami keracunan mencapai 13.168 anak se-Indonesia.

Di tengah kekeringan akibat krisis iklim, aktivitas swasta yang merusak lingkungan dan turut memperparah krisis air terjadi juga di Aceh akibat aktivitas Pabrik Solusi Bangun Andalas.

Tanggung jawab pengelolaan ketahanan pangan ada sejak Prabowo menjadi Menteri Pertahanan melalui Proyek Food Estate. Diperparah dengan kebijakan problematik yang lahir pada masa kepemimpinan Jokowi yaitu UU Cipta Kerja. 

UU Cipta Kerja dan kebijakan turunannya menjadi bukti kejahatan struktural negara terhadap sumber-sumber pangan lokal masyarakat yang semakin menjauhkan perempuan dari kedaulatan pangan. Kebijakan negara dan intimidasi swasta yang merusak tatanan kehidupan perempuan turut menyumbang  peningkatan feminisasi migrasi atau migrasi besar-besaran bagi perempuan menjadi buruh migran di luar negeri seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat hingga Nusa Tenggara Timur.

Implementasi PSN yang merampas lahan produktif perempuan, jauh dari pemenuhan hak atas pangan yang berkeadilan, terutama dalam realisasi progresif berdasarkan sumber daya yang berasas kedaulatan pangan. Justru, perampasan lahan produktif memperbesar peluang impor pangan, industrialisasi pangan, karena masifnya potensi alih fungsi lahan pertanian dan pengerahan kekuatan militer dalam implementasinya.

Masifnya perampasan lahan yang dilegitimasi kebijakan yang merugikan seperti UU Cipta Kerja dan UU TNI di konteks pangan merupakan pintu masuk militeristik dalam ranah sipil. 

“Ketahanan pangan bagi negara sama artinya dengan ketahanan nasional. UU Cipta Kerja menegaskan bahwa menjaga ketahanan pangan merujuk pada liberalisasi pangan, karena petani akan tergabung pada kapitalisasi pertanian. Impor pangan dan benih dibuka secara luas untuk mewujudkan tujuan ini,” ulas Laksmi. A. Savitri, Akademisi, dalam keterangan yang sama.

MBG yang masuk menjadi PSN juga telah banyak memangkas berbagai sumber anggaran negara (APBN) yang berdampak pada efisiensi pada banyak sektor dan kenaikan PPN yang menciptakan penolakan oleh masyarakat. Tanpa kecuali dana pendidikan dari total Rp757,8 triliun sekitar Rp 335 triliun atau 44 persen dialokasikan untuk program MBG. Pemangkasan biaya pendidikan tersebut tentu akan menambah beban biaya pendidikan setiap anak. 

“Karena MBG telah banyak mengambil dana pendidikan, MBG justru mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Karena untuk tahun 2026 saja dana yang dialokasikan untuk MBG mencapai 335 T," sebut Putu Elvina dari Komnas HAM.

Sementara itu, persoalan MBG bukan hanya sekadar persoalan teknis di lapangan, namun jauh lebih kompleks. Perempuan paling banyak memiliki pengetahuan dan memegang peran penting terkait tata kelola sumber daya pangan mulai pemilihan, pengolahan hingga distribusinya. 

Sudah semestinya, perempuan dilibatkan dalam tata kelola pangan dan memastikan pangan yang disediakan mengutamakan pangan lokal sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman perempuan.

“MBG juga harus segera dilakukan evaluasi dan harus melalui kajian yang benar. MBG tidak hanya harus bergizi tetapi juga harus aman untuk dikonsumsi,” jelas Anugrah Novianti, Ahli Gizi.

Kedaulatan pangan tentu tidak hanya tentang memiliki makanan yang cukup, tapi tentang keadilan gender dan kekuatan politik yang mencakup hak atas sumber daya, yaitu tanah dan air. MBG harusnya mengutamakan pangan lokal sesuai dengan sumber daya yang ada tiap daerah, bukan makanan yang melalui ultra-proses.

Sedangkan, perempuan seringkali tidak diakui sebagai pemilik sah atas tanah padahal perempuan yang paling aktif mengelolanya. Perempuan harus dilibatkan dalam mengelola program MBG, khususnya perempuan yang berada di pesisir punya pengetahuan dan pengalaman mana pangan lokal yang bisa diolah ataupun yang tidak bisa dikelola.

Andriyeni dari BEN Solidaritas Perempuan mengungkapkan, kedaulatan pangan tentu menuntut pengakuan dan sertifikasi hak milik untuk memastikan perempuan memiliki akses kontrol yang setara atas tanah dan sumber daya alam air, benih, hutan, dan lain sebagainya. 

Berbicara kedaulatan pangan sama dengan berbicara terkait pengambilan keputusan dan partisipasi politik perempuan. 

Wujudkan kedaulatan agraria dan pangan dengan harus menjamin partisipasi perempuan, yang menempatkan perempuan sebagai produsen pangan, sebagai subjek utama dalam setiap proses perencanaan pengambilan keputusan kebijakan pangan nasional, bukan hanya sekedar penerima bantuan atau objek pembangunan dan transparan dalam penggunaan anggaran. 

“Karena sebetulnya program makan bergizi gratis itu bukan gratis, melainkan diambilkan dari APBN yang dibayarkan dari uang (pajak) rakyat,” Andriyeni mengingatkan.

Perempuan perlu menuntut kedaulatan pangan yang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman perempuan, bukan untuk pemenuhan investasi dan ambisi politik pemerintah semata. Karena, kedaulatan perempuan atas pangan semakin jauh dari realita akibat egoisme negara yang mendahulukan kepentingan investasi daripada kepentingan masyarakat, termasuk semakin menjauhkan Warga Negara Indonesia termasuk perempuan Indonesia dari pelindungan negara pada segala sektor kehidupan. (*)