Rabu, 30 Oktober 2024 07:41 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA - Kasus dugaan korupsi yang melibatkan, mantan Menteri Perdagangan Indonesia, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) ramai dipublikasi setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang dalam kegiatan impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) selama periode 2015–2023.
Dugaan korupsi terkait impor gula ini menjadi perhatian karena mengakibatkan kerugian negara yang mencapai sekitar Rp 400 miliar. Tom Lembong sendiri menjadi salah satu tersangka utama.
Tom Lembong, yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan saat itu, pertama kali terlibat dalam keputusan impor gula pada tahun 2015. Pada tanggal 12 Mei 2015, rapat antar kementerian mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga impor tidak diperlukan.
Baca Juga:
Meskipun terdapat rekomendasi tersebut, Tom Lembong tetap memberikan izin impor sebanyak 105.000 ton gula kristal mentah untuk PT AP. Keputusan ini dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri dan menimbulkan tanda tanya besar mengenai motif serta pertimbangan yang mendasarinya.
“Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP," papar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kejagung Abdul Qohar, di Kompleks Kejaksaan Agung Jakarta, Selasa alam, 29 Oktober 2024.
Izin impor yang diberikan oleh Tom Lembong pada 2015 tersebut dilakukan tanpa berkoordinasi dengan instansi terkait atau mendapat rekomendasi resmi yang menegaskan kebutuhan impor gula untuk Indonesia.
Keputusan tersebut dilakukan secara mandiri, di luar prosedur yang seharusnya melibatkan Kementerian Pertanian dan instansi lain untuk memastikan adanya kebutuhan impor demi menjaga stok gula dalam negeri.
Permasalahan menjadi lebih rumit dengan adanya pelanggaran terhadap peraturan impor yang sudah diatur dalam Permendag No. 57 Tahun 2004. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa hanya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diperbolehkan mengimpor gula kristal putih.
Pada kasus ini, impor dilakukan oleh PT AP, yang merupakan perusahaan swasta, dan hanya memiliki izin untuk mengelola gula rafinasi, bukan gula kristal mentah. Langkah ini jelas melanggar ketentuan yang ada dan menunjukkan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan impor gula tersebut.
Pada Desember 2015, dalam rapat koordinasi di bidang perekonomian, terungkap prediksi kekurangan stok gula kristal putih sebesar 200.000 ton pada tahun 2016.
Hal ini semestinya menjadi dasar untuk pengaturan stok gula, namun penyimpangan dalam pelaksanaan impor justru tetap terjadi dengan melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan gula yang seharusnya hanya dilakukan oleh BUMN.
Peran PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) turut memperburuk situasi. Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, CS, yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini, menginstruksikan adanya pertemuan dengan delapan perusahaan swasta.
Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mengelola gula kristal mentah yang nantinya akan dijadikan gula kristal putih. Langkah ini diambil meskipun aturan hanya mengizinkan BUMN yang bisa melakukan impor gula kristal putih.
Perusahaan-perusahaan swasta yang dilibatkan kemudian menjual gula ke masyarakat melalui distributor afiliasi dengan harga Rp16.000/kg, jauh di atas HET yang saat itu ditetapkan sebesar Rp13.000/kg.
Harga yang lebih tinggi ini dipasarkan tanpa melalui mekanisme operasi pasar, yang biasanya bertujuan untuk menjaga kestabilan harga bahan pokok di pasaran.
Dalam perjalanannya, PT PPI menerima fee sebesar Rp105/kg dari setiap perusahaan swasta yang terlibat dalam impor dan pengelolaan gula tersebut. Hal ini memperkuat dugaan adanya keuntungan pribadi dan keuntungan institusional dari kegiatan impor yang dilakukan di luar ketentuan resmi.
"PT PPI mendapatkan fee (upah) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp 105 per kilogram," tambah Qohar.
Seluruh tindakan yang dilakukan dalam proses impor dan penjualan gula yang tidak sesuai dengan aturan ini menimbulkan kerugian besar bagi negara. Berdasarkan perhitungan sementara, kerugian yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 400 miliar.
Baca Juga:
Hal ini terjadi akibat adanya penyelewengan izin impor yang seharusnya dapat ditekan jika prosedur dan regulasi impor dijalankan dengan benar.
Kejagung menetapkan Thomas Trikasih Lembong dan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP, yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara.
Kasus dugaan korupsi impor gula ini mengungkap kelemahan dalam sistem pengawasan dan implementasi kebijakan perdagangan yang melibatkan pejabat tinggi negara.
Tindakan Tom Lembong yang memberikan izin impor tanpa dasar koordinasi serta pelanggaran aturan yang melibatkan PT PPI telah menimbulkan kerugian besar bagi negara dan memicu pertanyaan publik mengenai integritas dan transparansi dalam pengelolaan kebijakan impor bahan pokok.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 30 Oct 2024