Surplus Beras tapi Harga Mahal, dan 4 Rekomendasi INDEF

Sabtu, 20 September 2025 16:48 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Nila Ertina

Beras mahal
Beras mahal (Foto Dokumentasi)

BERAS menjadi makanan pokok masyarakat Sumatera Selatan dan mayoritas penduduk Indonesia. Namun ketersediaan beras hingga kini masih menjadi teka-teki, karena disaat pemerintah mengumumkan surplus beras tetapi harga bahan pokok tersebut mahal.

Ahok (60) seorang pedagang beras di Pasar Pahlawan Palembang mengatakan harga beras sudah sejak berbulan-bulan ini berkisar Rp16 ribu per kilogram.

"Itu harga eceran untuk beras kualitas medium," kata dia belum lama.

Hal senada diungkapkan Ahmad pemilik toko sembako di Kawasan Dwikora, harga beras tidak turun-turun. "Hingga kini kami menjual beras eceran paling murah Rp17 ribu per kilogram," kata dia.

Baca Juga:

Di sisi lain, Ibrahim warga Palembang mengaku lebih memilih membeli beras di toko-toko khusus menjual beras eceran yang dipasok dari sentra produksi beras, seperti Kawasan Jalur, Kabupaten Banyuasin.

"Kalau beli beras bermerek, harganya mahal, sedangkan beras eceran dari dusun sekitar Rp14 ribu per kilogram," tutur dia.

Ia mengakui, sebagai pemilik warung nasi dirinya dan istri harus pintar-pintar mencari komoditas  yang berkualitas bagus dengan harga yang cukup miring.

Karena itu, menurut dia mereka secara rutin membeli beras dusun di Pasar Sekanak Palembang. Di pasar tersebut, terdapat sejumlah penjual beras yang dipasok langsung dari  sentra beras.

Pasar Sekanak berada tepat di tepi Sungai Musi, sebelum ramainya pasar-pasar tradisional lainnya di Kota  Palembang, Pasar Sekanak sebelumnya destinasi belanja paling ramai, tetapi kini hanya tersisa sejumlah pedagang saja.

Inovasi Sumsel, Padi Apung

Sumatera Selatan menjadi salah satu lumbung beras nasional, dengan produksi beras mencapai 1,63 juta ton   pada tahun 2024.

Produsen beras terbesar di Sumatera Selatan adalah Kabupaten Banyuasin dan OKU Timur. Sedangkan total luas panen, diperkirakan mencapai 521,25 ribu hektare yang juga tersebar di Kabupaten Muara Enim dan Ogan Komering Ilir (OKI) serta sejumlah daerah lainnya.  

Pekan lalu, Provinsi Sumatera Selatan meluncurkan inovasi  teknologi budidayaa Padi Apung di lahan rawa.

Inovasi tersebut, dinilai Kementerian Pertanian sebagai solusi cerdas untuk menjawab tantangan produksi pangan di wilayah khas rawa.

Tak sebatas inovasi Padi Apung,  Gerakan Sumsel Mandiri Benih juga dilakukan tuk mendukung ketersediaan benih.

Gubernur Sumatera Selatan,  Herman Deru, mengungkapkana  inovasi yang dilakukan bukan hanya untuk produksi, tetapi juga memiliki potensi besar dikembangkan sebagai agrowisata. Hal ini akan menambah nilai ekonomi sekaligus memperkenalkan inovasi pertanian kepada masyarakat luas.

Namun, Ia menekankan pentingnya disiplin petani dan peran penyuluh pertanian dalam mendampingi inovasi di lapangan.

"Teknologi sehebat apa pun tidak akan berhasil tanpa disiplin dan keterlibatan langsung petani," tegas dia.

4 Rekomendasi
    
Peningkatan produksi beras nasional yang signifikan pada Januari–Juli 2025 sebesar 21,76 juta ton (naik 14,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya) menghasilkan surplus beras sebesar 3,33 juta ton.

Namun, kondisi ini belum mampu menekan harga beras yang tetap tinggi, mencapai Rp14.172/kg, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Di sisi lain, inflasi pangan bergejolak kembali meningkat menjadi 3,82% (yoy) pada Juli 2025 dan berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat miskin, mengingat beras menyumbang lebih dari 21% terhadap garis kemiskinan di perkotaan.

Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah penghapusan sistem rafaksi (potongan harga berdasarkan mutu) dalam pengadaan gabah oleh Bulog melalui Keputusan Kepala Bapanas No. 14/2025.

Bulog kini diwajibkan menyerap gabah dengan harga tunggal Rp6.500/kg tanpa mempertimbangkan kadar air atau kotoran (any quality).

Mengutip laman resmi INDEF, kebijakan memberikan kepastian harga dan pasar bagi petani kecil, serta berhasil meningkatkan serapan Bulog dan mendorong pemulihan harga di tingkat petani.

Namun, di sisi lain, penghapusan rafaksi menghilangkan insentif untuk menjaga mutu, meningkatkan risiko penurunan kualitas gabah, dan menimbulkan tantangan logistik akibat stok yang menumpuk di gudang Bulog.

Efektivitas kebijakan ini dalam menstabilkan harga beras juga masih terbatas, karena harga konsumen tetap tinggi meskipun cadangan pemerintah melimpah.

INDEF merekomendasikan empat strategi kebijakan untuk mengatasi paradoks ini.

Pertama, memberlakukan kembali rafaksi harga secara terbatas dan selektif pada wilayah surplus atau musim panen raya guna menjaga disiplin mutu.

Baca Juga:

Kedua, memperkuat investasi pascapanen, terutama pada pengeringan dan penggilingan padi agar mutu gabah petani meningkat.

Ketiga, menerapkan standar mutu yang fleksibel berdasarkan musim dan kondisi wilayah agar kebijakan pengadaan lebih adaptif terhadap realitas lapangan.

Keempat, mengembangkan skema penyerapan bersyarat, di mana gabah berkualitas rendah tetap diserap namun disertai pembinaan mutu melalui kemitraan antara Bulog dan penggilingan, serta dukungan insentif untuk pemrosesan gabah.

Kombinasi langkah-langkah ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan perlindungan harga petani dengan prinsip efisiensi dan keberlanjutan pengelolaan cadangan pangan nasional.(Nila Ertina FM)