Selasa, 23 November 2021 13:07 WIB
Penulis:Nila Ertina
SLEMAN - Menanggapi maraknya terungkap kasus mafia tanah yang terjadi akhir-akhir ini, diantara menimpa keluarga figur publik Nirina Zubir.
Ada sebanyak enam aset berupa tanah dan bangunan dengan nilai mencapai Rp17 miliar milik mendiang ibu Nirina Zubir, yaitu Cut Indria Marzuki yang dicaplok oleh mafia tanah.
Pakar Hukum Tanah sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si., menyatakan sebagaimana di bidang-bidang lain, mafia tanah cenderung tampak berada di ”Ruang Ada dan Tiada”.
Artinya, di satu sisi jaringan kinerja organisasi mafia tanah secara faktual nyata ada dan berlangsung dengan segala perilaku-perilakunya yang bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum termasuk kerugian-kerugian yang diderita pihak lain yang menjadi korban.
Di sisi lain, kata Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si. jaringan kinerja mafia tanah yang terorganisir, rapi, dan sistematis telah mampu menyembunyikan fakta yang sebenarnya ke bawah permukaan sehingga perilaku yang tampak adalah sebuah kewajaran.
”Mereka mampu dengan sangat lihai memainkan ’confidentisl Game’ yang di permukaan tampak tenang, namun di bawah permukaan penuh dengan trik-trik pelanggaran," ungkapnya, di Kampus UGM, Senin (22/11).
Menurut Nurhasan mafia tanah merupakan jaringan kinerja dari sejumlah orang yang terorganisir, sangat rapi, sistematis, tampak wajar, dan legal. Namun di dalamnya tetap terkandung tindakan yang ilegal dan pelanggaran hukum dengan orientasi pada perolehan keuntungan bagi diri mereka dan mendatangkan kerugian ekonomi bagi pihak lain.
Fakta ada dan berlangsungnya mafia tanah dapat dirujuk pada data pada bulan Februari 2020 yaitu Kementerian ATR menengarai dan memproses 61 sengketa tanah yang melibatkan dan akibat dari kinerja Mafia Tanah, dan pada kesempatan yang sama Polda Metro Jaya mengumumkan penangkapan sejumlah orang anggota Mafia Tanah sebagai tersangka.
Mafia Tanah sebagai kelompok yang terstruktur dan terorganisir, terstruktur karena kelompok mafia tanah mempunyai struktur organisasi dengan melibatkan banyak aktor dan pembagian kerja yang sistematis dengan susunan. Ada kelompok sponsor yang berfungsi sebagai penyandang dana, upaya memengaruhi kebijakan dan memengaruhi instansi pemerintah di semua lapisan, dan ada juga kelompok Garda Garis Depan yang berfungsi sebagai aktor yang berjuang secara legal (warga masyarakat biasa) dan illegal (preman dan Pengamanan Swakarsa).
Ada pula kelompok profesi yang berwenang yang terdiri dari para advokat, Notaris-PPAT, pejabat pemerintah dari pusat – daerah – camat - kepala desa yang berfungsi sebagai pendukung baik legal dan ilegal. Sementara itu, disebut terorganisir karena mafia tanah menggunakan berbagai metode kerja yang keras-ilegal yaitu dengan tindakan perebutan tanah dan pendudukan tanah yang menjadi objek sasaran, dan melakukan konflik dengan menggunakan kekerasan yang berpotensi taruhan nyawa.
”Sedangkan cara halus-ilmiah dan tampak legal, adalah upaya pencarian dokumen kepemilikan tanah, pemalsuan dokumen kepemilikan tanah dengan tampilan hasilnya mendekati atau bahkan sama dengan aslinya, proses pendekatan dalam rangka negosiasi dengan pemilik tanah, serta melakukan pengajuan gugatan dengan logika berpikir yang sistematis dan logis," ucapnya.
Nurhasan menyebut adanya kesan jaringan kinerja mafia tanah ini wajar, sah, dan legal karena pelaksanaan kinerjanya ditandai oleh 2 hal yaitu melibatkan simbol-simbol pelaksana hukum seperti oknum Notaris PPAT dan Aparat Sipil Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional beserta jajarannya ke bawah serta penegak hukum seperti oknum hakim. Oknum pelaksana dan penegak hukum dimaksud dapat berkedudukan sebagai bagian dari jaringan kinerja Mafia Tanah atau mereka hanya menjadi korban dari kinerja mafia tanah.
Selain itu, kemampuan mafia tanah mencari celah dari peraturan perundang-undangan bidang pertanahan, informasi terkait dengan administrasi pemberian hak atas tanah dan sertifikasi hak atas tanah yang pernah diterbitkan, serta kemampuan mendapatkan alat bukti kepemilikan tanah dan mengidentifikasi tanah-tanah yang ditinggalkan dan dibiarkan tidak termanfaatkan oleh pemegang haknya.
Adanya beberapa sumber administrasi pertanahan yang belum terintegrasi, kata Nurhasan, merupakan peluang bagi mafia tanah untuk melaksanakan jaringan kinerja ilegalnya melalui penggunaan berbagai alat bukti dari sumber administrasi yang berbeda-beda. Juga belum tunggalnya atau masih pluralnya tanda bukti hak membuka peluang masuknya jaringan mafia tanah dengan memanfaatkan keberadaan berbagai bentuk tanda bukti hak yang ada.
Begitu pula belum tunggalnya tanda bukti hak karena belum selesainya proses pendaftaran tanah di seluruh Indonesia sehingga masih dibukanya penggunaan tanda bukti hak atas tanah yang ada sebelum UUPA. PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang Masih mengakui beberapa alat bukti yaitu di samping Sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, juga beberapa dokumen sebagai alat bukti awal yaitu Girik/Petuk/Surat Rincikan, serta Surat Pernyataan Subjek yang menguasai Tanah secara fisik terus -terus menerus selama 20 tahun atau lebih bagi kepemilikan tanah yang tidak disertai alat bukti tertulis.
Ketentuan tersebut telah memberi peluang pilihan bagi Mafia Tanah untuk memanfaatkannya. Di samping itu, belum ada pengaturan lebih lanjut terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat sehingga masih diakui alat bukti penguasaan tanah secara fisik terus menerus dengan iktikad baik berdasarkan hukum adat.
Bagi Jaringan Kinerja Mafia Tanah semua celah baik yang terdapat dalam ketentuan hukum dan sikap abai dari pemegang hak atas tanah terbuka dijadikan peluang untuk melaksanakan kinerja ilegalnya untuk memperoleh keuntungan dan merugikan pihak lain. Oleh karena itu, upaya pemberantasan mafia tanah harus menutup atau memperbaiki celah yang menjadi peluang masuknya jaringan mafia tanah. Selama celah tersebut masih terbuka, maka selama itu pula jaringan Mafia Tanah akan memanfaatkan," terangnya.
Belum sistematisnya administrasi pertanahan terhadap tanah yang haknya berakhir atau hapus telah memberikan peluang bagi masuknya Mafia Tanah untuk memanfaatkan. Juga kebijakan pemberian HAT yang liberal membuka peluang bagi mafia tanah. Demikian pula adanya tingkat persaingan yang tinggi antar PPAT juga dimanfaatkan oleh mafia anah untuk memperoleh dokumen peralihan hak atas tanah.
Oleh sebab itu, dalam memberantas mafia tanah perlu mengembangkan pedoman teknis administratif berupa pemberian peringatan kepada pemegang hak atau penerima SK untuk melaksanakan kewajibannya, dan pernyataan secara terbuka adanya penguasaan tanah secara langsung oleh negara dan sekaligus rencana penggunaannya.
Sedangkan upaya mencegah konflik-sengketa yang berasal faktor kebijakan pemberian HAT adalah dengan menata kembali kebijakan pemberian HAT. Jika karakter liberal tidak dapat diubah, maka pemberiannya dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan modal, dan potensi tanah terlantar/tidak produktif harus dihentikan.
”Upaya mencegah juga bisa dilakukan dengan membina PPAT baik sikap profesionalismenya maupun sikap moral pelaksanaan tugasnya, serta pengawasan oleh Kantor Pertanahan," imbuhnya. (*)
Tulisan ini telah tayang di jogjaaja.com oleh Ties pada 23 Nov 2021