Selasa, 26 Agustus 2025 14:36 WIB
Penulis:Susilawati
JAKARTA – Sampah makanan (food waste) menjadi salah satu masalah lingkungan global yang mendesak untuk ditangani demi mencapai keberlanjutan (sustainability).
Limbah makanan memiliki dampak lingkungan yang serius. Makanan yang terbuang dan membusuk di tempat pembuangan menghasilkan emisi gas rumah kaca, terutama metana, yang merupakan gas rumah kaca yang sangat kuat.
Selain itu, limbah makanan juga berarti pemborosan sumber daya yang digunakan dalam produksi pangan, seperti air, lahan, energi, tenaga kerja, dan modal, serta berkontribusi pada deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Baca juga:
Dari sisi sosial dan ekonomi, limbah makanan merupakan kesempatan yang hilang untuk mengurangi kelaparan global. Hal ini memperburuk ketahanan pangan, terutama di komunitas miskin, dan menguras sumber daya yang memengaruhi semua pihak, mulai dari rumah tangga hingga produsen pangan berskala besar.
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO, 2019), sekitar sepertiga dari seluruh pangan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang atau tidak dimanfaatkan secara optimal.
Dilansir dari unair.ac.id, total nilai pangan yang terbuang ini mencapai 1,3 miliar ton atau setara dengan US$990 miliar, jumlah yang cukup untuk memberi makan sekitar satu per delapan penduduk dunia yang mengalami kelaparan.
Untuk menangani masalah food waste, diperlukan partisipasi dari berbagai pihak. Kini, banyak perusahaan yang hadir dengan tujuan mengurangi timbulan food loss dan food waste, menawarkan layanan yang fokus pada hal tersebut, serta membantu pelaku usaha makanan maupun konsumen yang membutuhkan.
Komunitas penyelamat pangan di Indonesia yang berkontribusi menekan food waste:
Garda Pangan merupakan gerakan swadaya yang mulai beroperasi di Surabaya pada 2017 dan masih aktif hingga sekarang. Lembaga ini didirikan oleh pasangan suami-istri, Dendy Trunoyudho dan Indah Audivtia, yang juga bergerak di bisnis katering pernikahan.
Bersama Eva Bachtiar, mereka bertiga menginisiai geragakan food bank dengan nama Garda Pangan, dengan tujuan utama mengatasi masalah limbah makanan.
Garda Pangan berupaya mengelola dan menyalurkan makanan berlebih yang berasal dari restoran, katering, bakery, hotel, lahan pertanian, event, pernikahan, dan donasi individu.
Sebagai sebuah food bank, Garda Pangan berperan sebagai pusat koordinasi makanan berlebih yang berpotensi terbuang, dengan tujuan menyalurkannya kepada masyarakat pra-sejahtera.
Hingga Juni 2024, Garda Pangan menyelamatkan 580.755 porsi makanan dari 137 ton makanan yang berpotensi terbuang, kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan.
Gerakan ini turut mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 1 (Tanpa Kemiskinan), SDG 2 (Tanpa Kelaparan), dan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab).
Salah satu program Garda Pangan yang mencerminkan peran mereka adalah Food Rescue. Pada kegiatan ini, para relawan Garda Pangan melakukan pengecekan untuk memastikan makanan masih layak dikonsumsi.
Seperti namanya, program Food Rescue melibatkan penyelamatan makanan, baik berupa makanan siap saji maupun roti, dari hotel dan bakery mitra, yang berpotensi terbuang padahal masih layak dimakan.
Kegiatan Food Rescue dilakukan tiga kali dalam seminggu, yakni setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Seluruh rangkaian proses, mulai dari pengambilan makanan di hotel dan toko roti, pengumpulan di base camp, pengecekan kelayakan, hingga distribusi kepada masyarakat, hanya memakan waktu total sekitar 4 jam.
FoodCycle Indonesia beroperasi sebagai organisasi nirlaba yang berfokus pada pelayanan kepada mereka yang membutuhkan dengan menyalurkan surplus makanan dari berbagai sumber, termasuk pesta pernikahan, toko roti, makan siang perusahaan, supermarket, dan produk FMCG.
Organisasi ini bertujuan memutus siklus kelaparan di kalangan masyarakat kurang mampu melalui distribusi makanan surplus yang belum dimanfaatkan, pengolahan produk yang tidak sempurna, serta daur ulang limbah makanan.
Selain itu, melalui interaksi dengan komunitas, FoodCycle Indonesia berupaya mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan positif untuk memberi dampak baik bagi individu sekaligus mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Surplus Indonesia adalah startup berbasis teknologi ramah lingkungan (greentech) yang berfokus pada upaya mengatasi masalah limbah makanan (food waste) di Indonesia, yang berdiri pada tahun 2020, Surplus Indonesia bertujuan mengurangi pemborosan makanan di Indonesia.
Surplus Indonesia ini bekerja sama dengan pelaku usaha seperti restoran, hotel, dan kafe untuk menjual stok makanan berlebih yang masih berkualitas, aman, dan layak konsumsi melalui aplikasi food rescue pertama di Indonesia, dengan potongan harga hingga 50%
Dengan model ini, konsumen bisa memperoleh makanan berkualitas dengan harga lebih murah, sementara penjual dapat mengurangi kerugian sekaligus menekan jumlah makanan yang terbuang.
Foodbank dikenal sebagai salah satu organisasi yang berperan dalam mengatasi kelaparan dan kerawanan pangan akibat kemiskinan.
Pada 2022, FOI berkembang menjadi jaringan yang mencakup 43 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia, tidak hanya di Pulau Jawa tetapi juga di pulau-pulau di wilayah timur dan barat, penerima manfaatnya lebih dari 260.000 orang.
Cara kerja FOI mirip dengan foodbank di luar negeri. Jika di luar negeri, foodbank mengumpulkan makanan dari supermarket sebelum kadaluarsa, yang masuk dalam kategori food waste.
Namun, di Indonesia, masyarakat cenderung sensitif terhadap istilah “food waste” karena dikaitkan dengan sampah. Oleh karena itu, FOI memilih menggunakan istilah yang lebih positif agar lebih mudah diterima masyarakat.
FOI tidak menolak makanan dari penyumbang, tetapi mereka melakukan proses penyortiran. Makanan yang sudah tidak layak dikonsumsi diolah menjadi kompos atau pakan ternak agar tidak terbuang sia-sia.
FOI juga membangun kerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari instansi pemerintah, perusahaan swasta seperti industri makanan, produsen obat dan susu, bank, supermarket, hotel, restoran, katering, dan lain-lain.
Untuk sumbangan dari hotel, restoran, dan katering, yang diberikan bukan makanan sisa, melainkan stok berlebih yang masih tersegel. Selanjutnya, FOI menyortir secara ketat, dan hanya makanan yang layak konsumsi yang dibagikan kepada penerima manfaat.
Agar makanan bisa disajikan dalam kondisi hangat, relawan FOI memanaskannya kembali di atas kompor sambil memastikan tetap layak konsumsi dan higienis. Setelah itu, makanan dikemas ulang ke dalam wadah dan didistribusikan kepada para penerima manfaat.
SOS Indonesia (Yayasan Derma Atas Pangan) adalah organisasi nirlaba yang berbasis di Bali dan didirikan pada 2016, dengan fokus pada pengurangan limbah makanan dan penanggulangan kelaparan.
Beroperasi terutama di daerah wisata padat seperti Sanur, Kuta, Denpasar, dan Legian, SOS mengumpulkan makanan surplus dari hotel, supermarket, bakery, peternakan, dan produsen.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 26 Aug 2025