Anak Butuh Keluarga bukan Barak Tentara

Anak Butuh Keluarga bukan Barak Tentara (ist)

JAKARTA - Kontroversi  mengirim siswa bermasalah ke barak TNI yang disampaikan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi hingga kini hangat diperbincangkan. 

Dedi menyebut barak militer diprioritaskan untuk siswa yang sulit dibina, terindikasi terlibat kriminal, narkoba, hingga pergaulan bebas. 

Di tengah gegap gempita masa remaja, riset menyebut tidak sedikit anak usia 13–15 tahun yang memang terseret ke dalam pusaran perilaku menyimpang. Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, hingga kehamilan di luar nikah kini kian marak mewarnai wajah remaja Indonesia. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Sebuah penelitian yang dimuat dalam Journal of Educational Research and Humaniora (JERH), hasil karya Najib Hasbilah Zein dan Mhd. Fuad Zaini Siregar, mencoba menelusuri jejak-jejak penyebab kenakalan remaja dari sudut pandang yang lebih dekat, langsung dari kehidupan tiga remaja yang menjadi partisipan studi.

Baca Juga:

Menurut BKKBN, remaja berada dalam rentang usia 10–24 tahun. Mereka sedang menapaki fase transisi yang kompleks, fisik berubah drastis, emosi meletup-letup, dan dorongan untuk mencari identitas makin kuat. Tak heran bila periode ini juga menjadi masa rawan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 menunjukkan 25,09% dari total penduduk Indonesia merupakan remaja. Angka ini menggambarkan betapa pentingnya perhatian terhadap kelompok usia ini, bukan sekadar sebagai "anak-anak besar", tetapi sebagai individu yang sedang mencari pijakan hidup.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif melalui wawancara dan observasi langsung untuk menelusuri faktor-faktor internal maupun eksternal yang mendorong perilaku menyimpang pada remaja. 

Salah satu temuan penting adalah kondisi ekonomi keluarga yang memengaruhi keputusan remaja dalam memenuhi kebutuhan. Ketika keluarga mengalami tekanan finansial, sebagian remaja terdorong mencari jalan pintas, baik untuk membantu perekonomian keluarga maupun sekadar memenuhi gaya hidup. 

“Remaja yang dibesarkan dalam keluarga dengan tekanan ekonomi ini (kurang) sering merasa terjebak dan terpaksa untuk mencari solusi sendiri. Mereka mungkin merasa frustrasi dan tidak memiliki pilihan lain selain terlibat dalam perilaku perilaku yang melanggar norma sosial atau hukum, Misalnya, mereka dapat terlibat dalam kegiatan ilegal seperti pencurian, perdagangan narkoba, atau pekerjaan yang tidak resmi," tulis hasil penilitian tersebut, dikutip Selasa, 6 Mei 2025.

Pola asuh juga berperan besar. Orang tua yang terlalu otoriter atau justru abai cenderung menimbulkan jarak emosional dengan anak. Ketika kebutuhan akan perhatian dan pengakuan tidak terpenuhi di rumah, remaja akan mencarinya di luar. Lingkungan sekolah pun tak luput dari sorotan. 

 “Remaja yang merasa kurang mendapatkan perhatian dankasih sayang dari orang tua cenderung mencari perhatian dan kebersamaan dari sumber lain,” tulis penelitian tersebut.

Ketika sekolah hanya menekankan prestasi akademik tanpa memperhatikan suasana belajar yang inklusif dan suportif, remaja yang merasa tertinggal cenderung mencari pelarian dalam bentuk perilaku menyimpang.

Faktor teman sebaya menjadi aspek paling dominan. Kelompok sebaya dapat menjadi sumber dukungan, namun juga bisa menjadi pemicu kenakalan. Tekanan untuk diterima dalam kelompok terkadang mendorong remaja mengikuti arus, bahkan jika itu berarti terlibat dalam tindakan menyimpang seperti pembentukan geng, budaya kekerasan, atau kenakalan kelompok. 

Temuan ini menegaskan pentingnya pendekatan yang holistik, melibatkan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial untuk mencegah kenakalan remaja.

Baca Juga:

Penelitian ini menekankan bahwa kenakalan remaja tidak bisa dilihat sebagai kesalahan personal semata. Ada sistem yang membentuknya. Maka dari itu, solusi tidak cukup hanya dengan sanksi atau ceramah.

"Upaya untuk mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan holistik yang mencakup  bantuan  ekonomi  kepada  keluarga-keluarga  yang  membutuhkan, pendidikan untuk  meningkatkan  kesadaran," pungkas hasil laporan tersebut.

Remaja bukanlah masalah, melainkan potensi besar yang menunggu digali dan diarahkan. Namun, tanpa perhatian, pendampingan, dan pemahaman yang utuh, mereka bisa tersesat dalam pencarian jati diri yang sunyi.

Penelitian ini menjadi pengingat penting, bahwa di balik setiap kenakalan, ada kisah yang perlu didengar dan luka yang mungkin belum sembuh.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 06 May 2025 


Related Stories