Bankir Ungkap Dampak Sanksi Bank Sentral Rusia ke Indonesia, Ini Penjelasannya

Ilustrasi Dolar AS (TrenAsia)

JAKARTA - Pascasanksi Amerika dan sekutunya  kepada bank sentral Rusia dan menghapus Rusia dari SWIFT, dengan target Rusia terisolasi secara finansial dari sistem keuangan global sehingga sumber pembiayaan mereka untuk mendanai perang sirna. Lantas apa dampaknya terhadap pasar keuangan Indonesia?.

Kepala  Ekonom Bank BCA David Sumual menyatakan dampak eskalasi perang Ukraina-Rusia dan berbagai langkah moneter tersebut ke Indonesia relatif terbatas, mengingat kedua negara tersebut juga bukan mitra dagang utama (10 besar) Indonesia maupun mitra  utama pertukaran mata uang Rupiah-Rubel atau bilateral currency swap.

“Kita sebagai negara pengekspor commodity justru dampaknya relative positif, memang hukum ekonominya begitu ketika ketidakpastian meningkat akibat perang harga komoditas kita naik. CPO, coal, nikel, tembaga, karet hampir semua harganya naik,” kata dia kepada TrenAsia.com, Selasa, 1 Maret 2022.

Baca Juga:

Ditambahkan dari sisi pasar modal sendiri, meski BI mencatat aliran modal asing jual bersih (net sell) sebesar Rp4,89 triliun selam a sepekan lalu (21-24 Februari 2022), namun masih dinilai dalam batas yang wajar. Lagi pula  di equity atau saham sendiri masih terjadi inflow sekitar Rp4 triliunan. Aksi kabur modal asing tersebut turut mengereka premi risiko Credit Default Swaps (CDS) Indonesia 5 tahun naik ke level 104,63 bps, lebih besar dari 97,58 pada pekan lalu.

“Kebanyakan yang outflow obligasi  ya, yang keluar terdiri atas jual bersih sebesar Rp8,23 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan beli bersih Rp3,33 triliun.

Memang jika melihat data BEI, IHSG selama pecan lalu terkoreksi 0,07% dari level 6.888,171 ke level 6.892,818. Searah, kapitalisasi pasar juga terkoreksi 0,07% dari Rp8.695,697 triliun menjadi Rp8.689,990 triliun.

Skenario Suku Bunga The Fed 

Ditambahkan David, kemungkinan the Fed kemungkinan tetap akan menaikkan FFR, namun tidak seagresif yang diperkirakan semula, atau dari perkiraan 50 basis  poin menjadi 25 basis  poin saja, atau dalam bentuk laju pengetatan yang lebih lambat ke paruh kedua 2022.

“Stance  the Fed tidak akan terlalu agresif mengingat ekonomi akam terdampak kenaikan harga komoditas. Namun kembali lagi tergantung seberapa cepat perang usai atau normalisasinya. Karena penyebab utama inflasi dunia  saat ini kan hmbatan di sisi suplai dimana permintaan global sendiri belum pulih di situasi seperti sekarang ini,” tambah David. 

Baca Juga:

Diperkirakan atas sanksi terhadap bank sentral Rusia tersebut, Rusia bisa berbalik melakukan embargo perdaganga.  Dampaknya terjadi gangguan terhadap pasokan minyak mentah dan gas dari Rusia, yang memperburuk guncangan terhadap harga energi global. 

Untuk Indonesia sendiri, pilihan pada kebijakan yang longgar dan pro pertumbuhan sepertinya merupakan langkah bijak yang tepat untuk tetap dapat menopang momentum pertumbuhan senyampang inflasi masih di bawah jangkar yang sebesar 3%. Pilihan pada kebijakan non suku bunga acuan seecara bertahap dan terukur masih dimungkinkan diambil karena efek risikonya yang jauh lebih terkendali.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Yosi Winosa pada 01 Mar 2022 

Bagikan

Related Stories