Beras pada April 2024 Alami Deflasi, Setelah 8 Bulan Naik

Nampak aktifitas penjualan beras sebuah agen di kawasan Graha Raya Bintaro Tangerang Selatan, Selasa 15 Maret 2022. (Foto : Panji Asmoro/TrenAsia)

JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan harga beras mengalami penurunan atau deflasi pada bulan April 2024 setelah 8 bulan berturut-turut sejak Agustus 2023 terus mengalami inflasi. Ini seiring meningkatnya produksi beras dalam negeri, 

Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan penurunan harga beras seiring dengan Indonesia mulai memasuki masa panen raya padi pada April 2024.

“Setelah mengalami inflasi 8 bulan berturut-turut sejak Agustus 2023, beras mengalami deflasi pada April 2024. Hal ini seiring dengan peningkatan produksi beras,” paparnya saat konferensi pers, pada Kamis, 2 Mei 2024.

Baca juga:

Ia mengungkapkan, pada April 2024, beras mengalami penurunan harga sebesar 2,72%, dan memberikan andil deflasi sebanyak 0,12%. Kondisi ini turut meredam laju inflasi bulanan yang melandai dibandingkan Maret 2024, menjadi 0,25%.

Lebih lanjut, di 28 provinsi terjadi deflasi harga beras, sementara di 9 provinsi lainnya harga beras masih mengalami inflasi, serta 1 provinsi harga beras masih stabil.

Perlu diketahui, inflasi April 2024 tercatat sebesar 0,25% secara bulanan (month to month/mtm) dan secara tahunan sebesar 3,0% (year on year/yoy).

Provinsi yang masih mengalami kenaikan harga beras di April secara month to month adalah Provinsi Papua Barat Daya, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Provinsi Riau, Papua Barat, Papua, dan Maluku Utara.

Amalia menjelaskan penyebab deflasi beras tidak merata antar wilayah yaitu skibat pola konsumsi beras, pola tanam, hingga pola panen padi yang bervariasi antar wilayah. Hal ini menyebabkan perbedaan struktur permintaan dan suplai beras antar wilayah walaupun secara nasional terjadi panen raya tapi tidak semua wilayah mengalami penurunan harga beras.

Amalia menambahkan, faktor lain seperti referensi terhadap beras lokal juga berperan dalam penentuan harga. Contohnya, varietas beras Solok yang dikonsumsi masyarakat Suku Minang atau Beras Sian yang dikonsumsi oleh masyarakat Kalimantan cenderung memiliki karakteristik inelastis.

“Pasokan luar wilayah di masa panen raya sekarang tidak serta merta mampu menekan harga beras lokal tersebut jika sisi produksi dari beras lokal juga belum mengalami peningkatan,” papar Amalia.

Oleh karena itu, jika permintaan terhadap beras lokal masih tinggi dan kecenderungan preferensi konsumsi beras lokal tidak otomatis diganti beras dari luar wilayah, maka beras lokal dapat bertahan di harga tinggi meskipun secara nasional sudah memasuki panen raya.

“Selain sentra produksi beras, seperti Maluku dan Papua, kenaikan harga beras itu lebih didorong oleh faktor pasokan dan faktor distribusi,” pungkas Amalia.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 02 May 2024 

Bagikan

Related Stories