Bisnis Tambang NU Dinilai Rintangi Transisi Energi, ini Penjelasannya

Bisnis Tambang NU Dinilai Rintangi Transisi Energi, ini Penjelasannya (ist)

JAKARTA - Tawaran pengelolaan tambang yang diterima Nahdatul Ulama atau NU dinilai hanya akan menghambat transisi energi di Indonesia. Bisnis tambang NU berpotensi membuat para pengusaha batu bara bimbang melanjutkan transisi energi yang dikampanyekan pemerintah.

Hal itu disampaikan peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Ahmad Rahma Wardhana. Ahmad termasuk dalam 68 warga NU atau Nahdliyin alumni UGM yang menolak pemberian izin tambang atau konsesi kepada ormas keagamaan.

Ahmad mengingatkan jelang G-20, Indonesia sangat gencar mengampanyekan transisi energi sehingga mendapat hibah internasional ratusan triliun rupiah untuk menutup beberapa pembangkit listrik batu bara.

Baca Juga:

Langkah itu kemudian diikuti sebagian pengusaha yang mulai melakukan diversifikasi dengan menutup pembangkit listrik tenaga batu bara mereka. “Tapi ketika NU masuk, mereka akan ragu melanjutkan transisi,” ujar Ahmad dalam keterangan pers, dikutip Senin, 10 Juni 2024. 

Menurit dia, NU dikenal sebagai lembaga yang punya pengaruh sosial politik yang besar. “NU punya image lembaga yang menentukan halal haram atau makruhnya sesuatu. Para pengusaha tambang batu bara akan ragu. Hla wong NU saja masuk ke batu bara, kenapa saya harus pergi,” ujarnya. 

Dia menilai agenda transisi energi Indonesia bisa terhambat jika NU ngotot mengambil jatah mengelola tambang. “NU bukan hanya menghalalkan, tapi menganjurkan. Kenapa menganjurkan, karena langsung ikut,” tuturnya. 

Ahmad menyebut dampak negatif pertambangan batu bara secara lingkungan tak terbantahkan. Pihaknya khawatir saat dampak perubahan iklim kian terasa di masa mendatang, penutupan pembangkit listrik batu bara makin sulit terwujud dan harus terus berjalan dengan mengatasnamakan kemaslahatan umat.

"Pada titik di mana kita harus benar-benar pergi dari batu bara, tapi NU sudah tergantung pada bisnis batu bara. Pertanyaannya, apakah NU berani balik badan untuk pergi dari batubara?,” ujar salah satu penulis buku Fikih Energi Terbarukan itu.

Kesediaan NU menerima konsesi tambang memang disayangkan sebagian masyarakat, bahkan Nahdliyin sendiri. Mereka mengingatkan NU sempat menyerukan moratorium semua izin tambang karena bertentangan dengan prinsip lingkungan pada Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015.  

Kemudian, Bahtsul Masail LAKPESDAM-PBNU dan LBM-PBNU pada 2017 mendorong pemerintah memprioritaskan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan energi fosil untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Pada Muktamar ke-34 di Lampung pada 2021, NU juga merekomendasikan pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai 2022 dan penghentian produksi mulai 2022 serta early retirement/phase-out PLTU batubara pada 2040. Hal itu untuk mempercepat transisi ke energi yang berkeadilan, demokratis,bersih, dan murah.

Masyarakat Adat Juga Menolak

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.

"Kami menolak dan mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024," tulis AMAN dalam keterangan resminya. AMAN menilai izin mengelola pertambangan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Baca Juga:

Dalam ketentuan UU tersebut dijelaskan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) diprioritaskan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan finansial.

Dengan demikian Badan Usaha Ormas Keagamaan, tidak termasuk dalam kategori badan usaha yang diprioritaskan untuk IUPK. “Di tengah ketidakhandalan hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak atas wilayah adat, pemberian wilayah izin usaha pertambangan prioritas kepada ormas keagamaan akan berdampak pada perampasan wilayah adat yang semakin luas atas nama pertambangan,” ujar AMAN.

Pada 2020, AMAN mencatat terdapat 1.919.708 hektare wilayah adat yang telah dirampas untuk perijinan di sektor pertambangan. Pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan sebagaimana diatur di dalam regulasi baru menempatkan wilayah-wilayah adat ke dalam situasi yang semakin terancam.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Chrisna Chanis Cara pada 10 Jun 2024 

Bagikan

Related Stories