Ragam
Cerita dari Tanah Rencong, Penanganan Korban Disabilitas Mendesak Dilakukan hingga Klaim Pejabat Negara
SIANG menjelang sore, Minggu (7/12/2025) saya bersama kawan-kawan jurnalis yang bermukim di Kota Palembang mendapatkan informasi terbaru, terkait dengan penanganan bencana di Provinsi Aceh.
Wawancara kami lakukan dengan menggunakan ruang rapat virtual, meskipun jaringan internet di Aceh tidak stabil, karena itu tak heran ada beberapa narasumber yang batal hadir karena sulit sekali menyambungkan perangkat laptop atau telpon pinter ke medium yang kami sediakan.
Terungkap pada 25-26 November 2025, hujan deras terjadi selama 2x24 jam pada sejumlah daerah di Kabupaten Pidie Jaya. Hujan deras memicu banjir bandang, yang meluluhlantakan hutan, kebun, permukiman dan juga berbagai infrastuktur fasilitas umum.
Seorang relawan, asal Pidie Jaya, Fajrillah mengungkapkan saat ini, selain bahan pangan dan sandang, penangganan terhadap penyandang disabilitas dan lansia sangat mendesak.
Baca Juga:
- Simak 5 Bisnis Daur Ulang yang Hasilkan Cuan Lewat Ekonomi Sirkular
- Distribusi BBM ke Wilayah Bireuen Lancar Kembali, Pertamina Pastikan Pasokan Energi
- Pertamina Patra Niaga Pastikan Distribusi BBM dan LPG di Aceh Berangsur Stabil
Ia bercerita kebutuhan trauma healing dan pendampingan psikologis pada anak-anak dan disabilitas sangat dibutuhkan.
Lalu, kelompok lansia juga belum mendapatkan penanganan sama sekali, kata dia.
Diakuinya hingga kini, belum selesai pendataan jumlah anak-anak, disabilitas dan lansia yang menjadi korban bencana.

Akses Air Bersih
Berbagai permasalahan yang dihadapi korban, diantaranya tidak ada akses air bersih, tempat pengungsian yang tidak memadai, mulai muncul penyakit pascabanjir, seperti gatal-gatal.
Tidak tersedianya air bersih menurut Fajrillah karena banjir bandang membawah lumpur-lumpur hingga memenuhi rumah bahkan tempat pengelolaan air bersih milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat.
Hal itu, diperkuat dengan foto yang beredar dan telah terkonfirmasi merupakan tempat pengolahan air bersih milik PDAM setempat.
Rumah-rumah pun, menurut dia tidak lagi bisa dibersihkan karena ketinggian lumpur yang mengeras sudah lebih dari 1,5 meter.
Cerita dari Aceh Utara juga sangat memprihatinkan, kelaparan terstuktur tampaknya terjadi, karena pasokan makanan dan minuman masih sangat terbatas.
Dari video yang beredar, tampak satu keluarga dengan badan penuh lumpur duduk menggunakan tikar di tepi jalan, saat ada kendaraan pembawa bantuan melintas, dua orang anak mengejar untuk mendapatkan seteguk air atau sepotong kue.
Sungguh miris! Provinsi Aceh yang memiliki kekayaan melimpah, tetapi kini kondisinya sungguh terbalik.
Muji, relawan dari Aceh Utara mengungkapkan pihaknya terus berkeliling dan masuk ke lokasi-lokasi terparah dampak bencana, untuk menyampaikan bantuan kepada korban.
"Kami juga korban, jadi kami juga membantu korban," kata di.
Kondisi terkini, cerita dia korban di Aceh Utara masih banyak yang belum mendapatkan bantuan. Korban terpaksa tinggal di tepi-tepi jalan karena rumah mereka sudah lenyap.
"Rumah, masjid dan jalan tertimbun lumpur tinggi, yang tidak mungkin lagi dibersihkan," kata dia lagi.

Klaim Bohong
Minggu, Presiden Prabowo dan rombongan pejabat teras negara datang ke Aceh. Dalam kesempatan paparan dihadapan presiden, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia dan Direktur Utama PLN, Darmawan Prasojo melaporkan kondisi listrik sudah mulai normal, bahkan mayoritas daerah sudah menyala 100 persen.
Faktanya, bertentangan dengan yang dialami masyarakat di berbagai kabupaten/kota. Hingga malam ini, mengutip lapora portal media anterokini.com sejumlah wilayah di Aceh masih mengalami pemadaman listrik berkepanjangan, sebagian lainnya menerima aliran listrik hanya beberapa jam, bahkan ada yang belum menyala sama sekali sejak banjir besar melanda provinsi itu.
Pernyataan ini kemudian menjadi sorotan karena dinilai tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
Hingga malam ini, warga di banyak wilayah Aceh melaporkan kondisi yang jauh berbeda. Gangguan listrik masih terjadi di sejumlah kabupaten/kota, beberapa daerah hanya menyala beberapa jam, dan ada lokasi yang sama sekali belum mendapat pasokan listrik sejak banjir melanda. Masyarakat mempertanyakan akurasi laporan para pejabat.
“Di tempat kami dari tadi gelap total. Tidak ada tanda-tanda listrik mau hidup. Jadi kalau dibilang 93 persen menyala, itu tidak benar,” ujar Zulfan, warga Matangkuli, Aceh Utara. Keluhan serupa datang dari warga Peusangan, Bireuen. “Tiang masih ada yang tumbang, jaringan banyak yang putus. Kami paling hidup satu jam, lalu padam lagi,” kata Murniati. Sementara di Aceh Tamiang, sebagian desa masih tanpa listrik sehingga warga menggunakan genset secara bergantian.
Pantauan laporan dari masyarakat menunjukkan wilayah yang masih mengalami gangguan di antaranya Aceh Utara (Matangkuli, Tanah Luas, Syamtalira Bayu), Bireuen (Gandapura, Peusangan), Aceh Timur (Idi Rayeuk, Julok), Aceh Tamiang (Bendahara, Karang Baru), serta sebagian Aceh Besar yang masih mengalami pemadaman bergilir. Kondisi ini menunjukkan bahwa situasi di lapangan belum pulih seperti klaim 93 persen pemulihan yang disampaikan pejabat kepada Presiden.
Sumber internal PLN Aceh menyebut gangguan kelistrikan yang terjadi bukan hanya akibat banjir yang merendam gardu dan memutus jaringan, tetapi juga karena beberapa jalur transmisi utama belum aman untuk dialiri listrik. Proses penormalan disebut membutuhkan pemeriksaan manual, pembersihan jaringan, serta pengeringan peralatan yang terendam air, sehingga pemulihan tidak bisa dilakukan serentak maupun cepat seperti yang dilaporkan. Ketidaksinkronan antara kondisi faktual dan laporan resmi memicu ketidakpercayaan publik.
Warga berharap pemerintah pusat menerima laporan apa adanya dari petugas lapangan dan memastikan penanganan dilakukan merata, terutama untuk daerah yang hingga kini masih gelap total dan sangat bergantung pada listrik untuk kebutuhan pokok, layanan air bersih, serta informasi darurat.

Penetapan Darurat Bencana Nasional tak Digubris
Berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi bahkan secara personal sejak lebih dari sepekan telah menuntut penetapan darurat bencana nasional di tiga provinsi yang terdampak yaitu Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat mengingat dampak kondisi bencana yang luar biasa.
Sabtu (6/12/2025), sekelompok anggota Paduan Suara GITAKU melakukan flash mob, di depan pusat perbelanjaan Sarinah di Jakarta Pusat. Aksi simpatik di pusat ibukota negara itu, menjadi salah satu langkah menyampaikan keprihatinan atas bencana di Sumatera yang belum juga ditangani dengan baik.
Lagu pertama “Ada yang Hilang”, disusul “We Will Rock You” yang mengundang seluruh pengunjung pusat perbelanjaan yang tengah berada di bagian depan dan pejalan kaki turut bernyanyi. Mereka mengentak kaki dan bertepuk, “we will we will rock you...” Aksi mereka ditutup dengan lagu “Do You Hear the People Sing?”
Paduan Suara GITAKU juga menyampaikan desakan kepada pemerintah untuk menerapkan status darurat bencana nasional pada tiga provinsi yang terdampak banjir besar itu.
Beragam tuntutan masyarakat sipil tersebut, tampaknya belum digubris rezim Prabowo-Gibran, hingga kini belum ada upaya skala besar menangani bencana.
“Pemerintah sangat zalim,” ucap seorang pemuda asal Aceh menanggapi kelambanan penangganan korban bencana banjir besar tiga provinsi di Sumatera. (Nila Ertina)

