Cerita Inspiratif Sadiman dan Rosita, Menyemai Kembali Hutan Untuk Kehidupan

Mbah Sadiman. (ABC News)

JAKARTA, WongKito.co – Indonesia merupakan negara tropis memiliki hutan yang luas dan tersebar di berbagai wilayah. Menurut data FAO tahun 2025, luas hutan di Indonesia mencapai 95,97 juta hektare, menjadikannya yang kedelapan terbesar di dunia dan yang terluas di ASEAN.

Salah satu jenis hutan yang terdapat di Indonesia adalah hutan primer. Hutan primer merupakan warisan alam yang menjadi habitat bagi keanekaragaman hayati yang belum tersentuh eksploitasi manusia. Jika hutan primer dirusak, sangat sulit atau bahkan hampir mungkin lagi bisa dipulihkan dalam jangka waktu dekat.

Dan sayangnya, akibat tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab, Indonesia dilaporkan telah kehilangan sekitar 10,5 juta hektare hutan primer pada 2002-2023. Data tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kehilangan hutan primer terbesar kedua di dunia, setelah Brasil.

Berbicara soal kerusakan hutan akibat tangan jahil manusia, ada sosok inspiratif yang menghidupkan hutan. Namanya Mbah Sadiman dan Rosita.

Mbah Sadiman adalah seorang pria tua yang tinggal di Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Dalam kesehariannya, Mbah Sadiman berkerja sebagai petani yang mengelola lahan tumpangsari milik Perhutani.

Saat tanaman di lahan pertaniannya belum panen, Mbah Sadiman mengandalkan penghasilan dari menjual rumput sebagai pakan ternak, yang ia ambil dari hutan dan kemudian dipasarkan.

Mbah Sadiman dikenang hingga kini karena usahanya dalam menghijaukan lahan di wilayah Wonogiri. Selama bertahun-tahun, Wonogiri mengalami kesulitan air, terutama pada musim kemarau, sehingga mencari air menjadi hal yang sangat sulit.

Sadiman aktif dalam menanam dan merawat puluhan ribu pohon yang berfungsi sebagai penyangga sumber air bagi penduduk desa dan sekitarnya. Berbagai jenis tanaman, khususnya pohon beringin, menjadikan desanya memiliki pasokan air yang melimpah meski menghadapi musim kemarau.

Ia menanam pohon beringin karena tanaman ini memiliki kelebihan sebagai tanaman pencegah erosi. Selain itu, sejak ditanam pada 1996, beringin juga berhasil memunculkan mata air di sekitarnya.

Mendapatkan bibit pohon beringin bukan hal yang mudah. Mbah Sadiman menghadapi kendala karena harga bibit tersebut cukup mahal. Oleh karena itu, ia menanam bibit cengkeh yang bisa ditukar dengan bibit pohon jati, diperlukan sepuluh bibit cengkeh untuk satu bibit jati.

Meski hutan yang ditanami Mbah Sadiman milik Perhutani, ia telah mendapatkan izin resmi untuk menanami lahan tersebut.

Tidak hanya menanam, ia juga merawat pohon-pohon tersebut hingga tumbuh besar. Lahan hutan yang ia kelola seluas 100 hektar, terletak di Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan. Lebih dari 11 ribu pohon telah ditanam sebagai kontribusi untuk kelestarian alam.

Selain Mbah Sadiman, kisah seorang ibu asal Megamendung Bogor dalam upaya mengkonservasi hutan juga tak kalah menarik dan menginspirasi. Kisah Rosita Istiawan berawal dari keinginan suaminya yang ingin tinggal di tempat sejuk dengan pemandangan hutan yang rimbun.

Saat itu, dengan kesadaran penuh Rosita berkata, “Kalau hutan sudah tidak ada, ya ayo bikin hutan.”

Rosita berhasil mewujudkannya. Sekitar tiga kilometer dari Jalan Raya Megamendung-Puncak terdapat hutan rimbun yang dikenal sebagai Hutan Organik, milik Rosita dan suaminya, Bambang Istiawan. 

Untuk mewujudkannya, Rosita menjual aset keluarga dan membeli 2.000 meter lahan langsung dari warga. Tanah di Megamendung yang dulunya perkebunan singkong itu sangat tandus, memiliki pH asam 2,5-4, tak ada cacing, tanpa air, dan hanya ditumbuhi alang-alang setinggi tubuh.

Rosita Istiawan. (Forest Watch Indonesia) 

Upaya mewujudkan mimpinya tidak mudah. Ribuan bibit pertama mati, kesulitan mendapatkan air, listrik, dan akses jalan. Tapi, Rosita tetap teguh dan terus berusaha. Pengembangan hutannya dilakukan melalui model rehabilitasi ekosistem dan lahan kritis berbasis pada pertanian serta peternakan organik.

Dengan pola voluntary Initiative secara swadaya murni, dengan melegalkan diri sebagai kelompok tani hutan organik dan mendapatkan bimbingan awal dari Bali Organic Association. Hutan dikembangkan menggunakan sistem tumpangsari atau agroforestri, yang mengombinasikan pohon keras, sayuran, dan peternakan tanpa penggunaan bahan kimia.

Dia merancang pola tanam dengan jarak 2,5 x 2,5 meter, sehingga satu hektare bisa menampung 1.500 pohon. “Setiap hari Ibu terus berjuang bersama masyarakat,” ungkap Rosita.

Inovasi teknologi sederhana juga diterapkan, seperti Pompa Hidram untuk mengalirkan air ke lahan yang lebih tinggi, sebelum akhirnya mata air kembali pulih sepenuhnya.

Seiring waktu, kesabaran itu mulai membuahkan hasil. Setelah tiga tahun, dua mata air yang semula kering kembali mengalir. Kehijauan pun mulai tumbuh, membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) mikro baru yang mendukung ekosistem DAS Ciliwung.

Hutan Organik Megamendung menghadirkan kembali ekosistem yang kaya dengan berbagai jenis flora dan fauna. Tempat ini menjadi sumber pangan, udara bersih, air, serta ruang belajar.

Kini, Hutan Organik Megamendung lebih dari sekadar hutan. Tempat ini menjadi ruang belajar bagi masyarakat dan pelajar, di mana Rosita memberikan edukasi mengenai pemulihan lahan, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan pembuatan pupuk organik.

Anak-anak sekolah datang untuk belajar mengenal berbagai jenis pohon, sementara peneliti dari IPB dan aktivis lingkungan menjadikannya lokasi studi. Dari kebun organik, Rosita membagikan sayuran, bibit tanaman, dan air kepada masyarakat.

Hutan ini tumbuh tanpa menggunakan bahan kimia, semuanya alami, dan berjalan sesuai siklus alam. pH tanah juga sudah normal, kandungan humus melimpah, dan setiap bibit yang jatuh ke tanah mampu tumbuh dengan sendirinya.

Melihat hasil dari seluruh prosesnya, Rosita menjelaskan, kebahagiaan terbesar setelah 25 tahun berjuang adalah ketika hutan sudah jadi. Tercatat 125 jenis pohon, 25 jenis burung, 10 jenis herpetofauna, dan hampir 60 jenis serangga telah kembali menghuni area tersebut.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 4 Desember 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories