Setara
Dengarkan Curhat Korban Kekerasan Majikan, Moeldoko: Pemerintah Terus Kawal Pengesahan RUU PPRT
JAKARTA, WongKito.co - Kepala Staf Kepresidenan Dr. Moeldoko menegaskan bahwa pemerintah akan terus mengawal pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), ungkapnya usai menerima pengaduan tindak kekerasan yang menimpa seorang PRT asal Cianjur, Selasa (25/10/2022).
Ia mengungkapkan kasus tindak kekerasan ini pun, kata Moeldoko, telah menjadi dorongan moral bagi gugus tugas percepatan pembahasan tentang UU PPRT.
"Ini menjadi kekuatan moral bagi pemerintah untuk bekerja lebih keras lagi. Di era seperti saat ini masih ada pemberi kerja yang melakukan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Tidak masuk akal bagi saya, tapi ini benar terjadi di tengah kita,” kata Kepala Staf Kepresidenan Dr. Moeldoko.
Hingga saat ini, pemerintah masih menunggu proses legislatif di DPR RI. Namun masih terdapat beberapa perbedaan pandangan yang harus disepakati bersama oleh pemerintah diantaranya terkait dengan wilayah kerja PRT yang berada di antara wilayah buruh dan pekerja sektor informal.
Baca Juga:
- ESG Award: Fokus 3 Pilar Keuangan Berkelanjutan, Bank Mandiri Borong Dua Penghargaan TrenAsia ESG Excellence
- Kapal Nazi Tenggelam 80 Tahun ini Masih Mengeluarkan Bahan Kimia Beracun
- Menteri PANRB Bongkar Ada 2 juta Tenaga Honorer Antre Diangkat jadi ASN dan PPPK
Selain itu, aspek perlindungan terhadap PRT perlu menimbang nilai-nilai moral, budaya, kearifan lokal dan aspek kekeluargaan yang memiliki kekhasan masing-masing di setiap daerah.
“Langkah-langkah dan taktik komunikasi politik serta komunikasi publik sudah dilakukan, penyesuaian terhadap substansi sedang dilakukan, langkah administrasi pun sudah diupayakan. Perlu diketahui bahwa saya sudah membuat memo kepada Presiden Jokowi mengenai endorsement terhadap RUU PPRT. Jadi, kita sedang menunggu hasilnya,” ujar dia.
Sementara itu, KSP mengesahkan pembentukan Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT pada Agustus lalu demi mendorong pembahasan RUU PPRT yang mandek selama hampir dua dekade.
Data Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) melaporkan sebanyak 1.148 kasus kekerasan terhadap PRT dari tahun 2017 hingga 2022 terkait dengan kekerasan ekonomi seperti upah tidak dibayar dan/atau upah dipotong. Dari 2.637 PRT yang melaporkan kasus kekerasan pada periode yang sama, sebanyak 1.027 kasus diantaranya menyangkut kekerasan fisik, 1.382 kasus menyangkut kekerasan psikis, 831 kasus menyangkut kekerasan seksual dan 1.487 kasus terkait dengan tindak perdagangan orang oleh agen penyalur.
Oleh karenanya, RUU PPRT tidak hanya menjadi pengakuan dan perlindungan bagi PRT, namun juga menjadi implementasi fungsi pemerintah dalam hal pembinaan dan pengawasan pekerja.
Korban Kekerasan
Riski Nur Askia, PRT mengadukan tindak kekerasan yang dialaminya saat bekerja pada sebuah keluarga, di kawasan Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Baca Juga:
- Going Global, PGN Subholding Gas Pertamina Jajaki Suplai dan Infrastruktur LNG di Bangladesh
- Komitmen Dukung Implementasi Investasi Berkelanjutan, inilah 68 Perusahaan Terbaik Peraih Penghargaan TrenAsia ESG Awards 2022
- Langkah Kecil Berharga dari Keluarga Cegah Lost Generation Akibat Stunting
Riski datang didampingi Pamannya Ceceng, dan aktivis dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Ia ditemui oleh Kepala Staf Kepresidenan Dr. Moeldoko, Deputi II Abetnego Tarigan, dan Tenaga Ahli Utama dr. Noch T. Mallisa.
Diterimanya kedatangan Riski bersama keluarga dan aktivis JALA PRT ini, bagian dari KSP Mendengar, yakni program Kantor Staf Presiden untuk mendengar dan menyerap aspirasi masyarakat. Dan pada saat bersamaan, Kantor Staf Presiden juga menggelar Rapat Tingkat Menteri (RTM) membahas percepatan penyusunan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) bersama stakeholder.
Kepada Moeldoko, Riski mengungkapkan menjadi korban kekerasan oleh majikannya berupa penyiksaan secara fisik maupun psikis. Seperti pemukulan, disiram dengan air cabai, hingga kekerasan verbal berupa ancaman-ancaman.
Tak cukup sampai di situ, remaja putri berusia 18 tahun itu juga mengaku, tidak mendapatkan hak penuh atas pekerjaan yang sudah dia lakukan. Di mana, gaji yang dijanjikan yakni Rp 1.800.000 per bulan, selalu dipotong oleh majikan setiap dirinya melakukan kesalahan.
“Satu bulan saya digaji satu juta delapan ratus. Tapi selalu dipotong kalau saya melakukan kesalahan. Enam bulan kerja, saya hanya bisa bawa pulang uang dua juta tujuh ratus saja bapak,” ucap Riski lirih.
Riski pun menceritakan awal mula dirinya bekerja sebagai PRT. Ia mengatakan, bahwa pekerjaan tersebut ditawarkan oleh tetangganya, yang kemudian difasilitasi oleh sebuah yayasan. Namun, Riski tidak tahu pasti, apakah yayasan yang menyalurkannya bekerja tersebut resmi atau tidak.
“Prosesnya hanya satu hari. Setelah itu saya diantar di pinggir jalan, dan di situ saya dijemput oleh majikan, gitu aja prosesnya,” terangnya.(ril)