Dengarkan Dong! Ini 5 Tuntutan Gen Z untuk Isu Lingkungan pada Pemerintah

(null)

JAKARTA, WongKito.co - Kekinian dampak krisis iklim sulit dibendung, suhu panas menjadi  salah satu parameter dari perubahan iklim yang kini dirasakan hingga  ke pelosok negeri.

"Kualitas bumi yang kita tinggali sekarang sudah berbeda dari yang ditinggali generasi orang tua kita. Kita hidup di bumi yang panasnya sudah naik lebih dari satu derajat Celcius. Dan, kita punya tanggung jawab untuk mencegah agar kenaikan itu tidak terulang, agar generasi berikutnya tidak menghirup udara yang kotor akibat pembangunan yang ekspansif dan eksploitatif," kata  Koordinator Climate Rangers (CR), Ginanjar Ariyasuta, dalam siaran pers, Selasa  (23/9/2025) .

Mengingat pentingnya peran orang muda dalam mengatasi krisis iklim, CRI menggelar Local Conference of Children and Youth Indonesia 2025, bulan lalu (25/8/2025), yang dihadiri oleh perwakilan orang muda dan anak dari seluruh Indonesia, termasuk Gispa Ferdinanda (Research Manager Sa Perempuan Papua) dan Lungli Rewardny Supit (Ketua Forum Anak Sulawesi Utara) yang menjadi delegasi termuda.

Baca Juga:

Lokakarya lokal tersebut menghasilkan National Children and Youth Statement 2025, sebuah deklarasi berisi permintaan kepada pemerintah untuk segera bergerak mengatasi krisis iklim.

"Melalui deklarasi tersebut, orang muda Indonesia membawa mandat yang jelas untuk forum COP 30 di Brasil November mendatang, maupun kebijakan nasional," kata Ginanjar.

Lalu, apa saja yang diminta oleh orang muda Indonesia?

1.  Dengarkan suara kami, please…

Lungli boleh saja masih terbilang anak-anak, tapi suaranya lantang bergema. Siswa SMA berusia 16 ini bercerita, orang muda kerap diundang dalam proses pengambilan keputusan, misalnya dalam penyusunan RUU. Masalahnya, istilah Lungli, mereka hanya menjadi stiker di atas cat.

"Wajah kami terpampang jelas di dalam ruangan itu, namun suara kami tidak pernah didengar dan direalisasikan. Tanda tangan kami ada pada berkas, tapi suara dan cita-cita kami tidak pernah masuk di dalam berkas itu. Harapan kami ada di ruangan itu, tapi harapan itu tidak pernah menjadi nyata," tuturnya.

Ia sebenarnya sempat minder, karena merasa masih minim pengalaman. Namun, ia menyadari, sekecil apa pun suara dan tindakan dia, tidak mengubah fakta bahwa tetap saja suaranya adalah suatu suara dan gerakan. Tidak dapat diabaikan begitu saja dan harus ikut dipertimbangkan.

"Suara yang besar dimulai dari yang kecil. Suara aku yang kecil ini tetap dibutuhkan untuk menyuarakan yang lebih kecil lagi di belakangku. Ada suara warga kota yang aku bawa. Dengan kesadaran itu, aku jadi lebih semangat dan yakin bahwa umur bukan patokan untuk menyuarakan sesuatu. So, I just do it," tegasnya.  

Ginanjar menilai, partisipasi orang muda yang bermakna berarti mempertimbangkan suara orang muda, dimulai dari penyusunan rencana, konsultasi, hingga evaluasi. Ia memaparkan, data survei menunjukkan bahwa partisipasi orang muda masih sebatas simbolis. Orang muda hanya menjadi penonton.

"Yang berbicara di panggung masih tetap generasi sebelumnya. Orang muda tidak mendapatkan porsi apa-apa, selain materi untuk post di media sosial. Memang ada perwakilan yang menjadi duta ini atau itu, tapi suaranya tetap tidak didengarkan," katanya.

Terkait hal tersebut, Gispa menyoroti, keterlibatan orang muda memang harus benar-benar diupayakan. Tidak boleh lagi orang muda sekadar menunggu untuk dilibatkan. “Kita harus mau jemput bola melibatkan diri dalam kegiatan berbau iklim. Sebab, kenyataannya, keterlibatan orang muda selama ini hanya sebentuk tokenism, hanya datang, duduk, dan lihat. Tidak mendapatkan yang lebih.”

2. Tolong ciptakan kebijakan berkeadilan iklim

Kebijakan yang berkeadilan iklim berarti suatu aturan atau langkah yang diambil untuk menghadapi krisis iklim dibuat dengan adil bagi semua pihak. Jadi, bukan hanya fokus pada masalah lingkungan saja, melainkan juga memikirkan dampaknya terhadap masyarakat, terutama kelompok yang paling rentan.

Ginanjar mencontohkan, pemerintah mulai menjalankan aksi mitigasi untuk menangani krisis iklim.

Sayangnya, banyak proses yang hanya mementingkan penurunan emisi. Padahal, itu belum cukup. Keadilan harus ada di dalam setiap proses mitigasi tersebut.

“Ada sejumlah kelompok yang lebih terdampak oleh krisis iklim, sehingga mereka perlu dilibatkan dalam berbagai aksi mitigasi. Misalnya, kelompok disabilitas yang belum mempunyai infrastruktur yang akomodatif untuk evakuasi bencana. Ada pula kelompok nelayan yang terdampak oleh kenaikan permukaan air laut,” kata Ginanjar.

Gispa menekankan, jika RUU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat disahkan, maka masyarakat Papua memiliki legalitas untuk menjaga tanah, laut, dan hutannya. “Pengesahan RUU akan sangat berarti, karena perjuangan keadilan iklim itu tidak bisa hanya bicara soal aksi dan aksi. Harus bicara juga soal kebijakan, karena kebijakan mempunyai daya ikat lebih kuat daripada sekadar aksi.”

Sementara itu, Lungli menegaskan, kebijakan yang berkeadilan iklim memastikan bahwa kelompok rentan, termasuk masyarakat adat, tidak menanggung beban yang tidak proporsional. Dengan begitu, kelompok rentan tetap merasa aman dan nyaman di rumah mereka sendiri, tidak terbebani oleh pembangunan, tidak kekurangan ketika pembangunan muncul di sekitar mereka, tidak merasa tersingkir ketika alam mereka direnggut.


“Jadi, kebijakan itu juga harus membuat mereka berpikir bahwa pembangunan adalah sesuatu yang baik, dan hidup mereka terjamin, alam mereka tetap sejuk. Soalnya, alam kita tak kalah penting dibandingkan pertumbuhan ekonomi.”


3. Yuk, segera pindah ke energi bersih

Berpindah ke energi terbarukan merupakan hal yang dirasa sangat urgent bagi orang muda. Menyadari betul bahwa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan membutuhkan proses, maka Ginanjar menegaskan bahwa sebaiknya pemerintah tidak menunda-nunda lagi.


"Pembangunan infrastruktur energi terbarukan harus dimulai sekarang. Bukan saatnya lagi membangun PLTU baru, yang membuat sumber energi jadi lebih mahal. Jika dibandingkan dengan Vietnam yang lebih miskin daripada Indonesia, negara kita tertinggal jauh. Tingkat ketercapaian energi terbarukan di sana bisa melebihi kita. Kalau mereka bisa, seharusnya kita juga bisa," kata Ginanjar.


Prosesnya memang sudah dimulai, tetapi Ginanjar menilai hasilnya masih sangat jauh dari harapan. Padahal, semakin cepat diterapkan, emisi karbon akan semakin menurun, pencemaran menurun, udara akan semakin bersih. Dunia sudah menyepakati bahwa kita memerlukan energi terbarukan. Itulah kenapa saat ini menjadi urgent untuk mempercepat pembangunan instalasi energi terbarukan.


Gispa bercerita, Papua punya potensi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya  (PLTS) yang sangat besar, mengingat wilayahnya terbilang sangat panas dengan cakupan sinar matahari sangat tinggi.

"Ketika satu rumah sudah bisa mandiri dalam hal listrik, mereka tidak lagi bergantung pada PLN. Alokasi biaya untuk membayar listrik bisa dipakai untuk hal lain. Inilah yang terkadang luput dari perhatian pemerintah," katanya.

Ia menambahkan, ketika bicara soal energi terbarukan, biasanya pemerintah akan bicara soal energi biru, salah satunya penggunaan baterai lithium. Itu berarti harus membuka tambang nikel baru. “Padahal, ada berbagai jenis energi terbarukan yang mampu dikembangkan oleh Indonesia, termasuk PLTS.”


4. Stop danai proyek penyebab polusi, ya

Dana pemerintah selama ini masih mengalir proyek yang menggunakan energi dari batubara. Ginanjar menyebutkan nilainya bisa mencapai miliaran dolar. Namun, di sisi lain, ketika diminta untuk membangun instalasi PLTS, pemerintah balik bertanya, dananya dari mana dan transisinya bagaimana.


Gispa menegaskan, satu-satunya sumber daya yang mereka miliki di Papua adalah sinar matahari. Karena itu, PLTS menjadi jalan keluar yang paling masuk akal. Sebaliknya, membangun PLTA memiliki risiko sangat besar, karena ada risiko perampasan lahan untuk membuat bendungan.


"Itulah kenapa kami mendorong pemerintah untuk memberi bantuan berupa pembangkit listrik dan generatornya untuk masyarakat prasejahtera. Karena, mereka sangat membutuhkan bantuan. Ketika membayar listrik saja tidak mampu, PLTS akan sangat memudahkan mereka dari segi finansial," kata Gispa.


Di sisi lain, menurutnya, PLTS juga membantu agar masyarakat tidak lagi mengandalkan PLTD. Nilai plusnya, PLTS juga menjadi materi edukasi bagi orang muda, sambil bekerja sama dan berjejaring dengan teman-teman yang bergerak di isu energi terbarukan.


Ginanjar mengharapkan sebuah solusi yang berbasis komunitas, sehingga masyarakat sekitar bisa menguasai sumber energi. Dalam arti, mereka memproduksi listrik, mengelola, dan mendistribusikan energi tersebut. Dengan begitu, secara energi mereka terbilang mandiri.

 “Mereka bisa membangun ownership dari energi terbarukan. Yang tadinya dikuasai oleh kalangan elite secara terpusat, energi tersebut bisa dikelola oleh masyarakat. Dan, konsep tersebut sudah terbukti berhasil,” kata Ginanjar, sambil menyebutkan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) di Kulonprogo dan Kasepuhan Cipta Gelar di Sukabumi.


5.  Jangan abaikan solusi dari orang muda

Apakah selama ini orang muda terpikir untuk mencari solusi yang mampu menjawab berbagai tantangan iklim? Mungkin. Tapi, apakah mereka paham cara terbaik agar solusi tersebut didengarkan dan kemudian diterapkan? Belum tentu.


Inilah alasan kenapa Ginanjar melihat perlunya jalur bagi orang muda untuk berkreasi, untuk menawarkan solusinya.

"Kita perlu kelembagaan iklim, seperti Youth Climate Council. Di sana orang muda diberi anggaran sepuluh persen untuk menentukan proyeknya. Jadi, yang harus ada sebenarnya adalah jalurnya terlebih dahulu, bukan solusinya dahulu."


Ia mengamati, dengan ketiadaan akses, orang muda tidak terpikir untuk mencari solusi. Sebab, mereka sudah lebih dulu mengalami mental block. ‘Memangnya orang muda bisa minta ini dan itu?’ Begitu pikir mereka.

Baca Juga: 


Lungli bercerita, masalah lingkungan paling parah yang terjadi di daerahnya adalah pembangunan perumahan dan gedung, yang menurutnya izin membangun terlalu mudah didapatkan. Pembangunan terjadi terus-menerus di pinggir pesisir pantai, dijadikan tempat wisata dan tempat hang out. Sementara itu, ikan makin menjauh karena pembangunan di pesisir.


"Ayolah, lakukan sesuatu yang menjamin kesejahteraan rakyat, sekaligus menjaga alam. Kenapa bukan hutannya dilestarikan untuk dijadikan tempat wisata? Kenapa hutan harus dibabat demi membangun tempat wisata baru? Kenapa laut harus digusur untuk membuat taman wisata yang indah? Kenapa tidak membuat saja tempat wisata hutan bakau yang indah? Banyak hal dari alam yang bisa kita manfaatkan dengan bijak untuk mendapatkan uang, sekaligus memajukan indonesia, dengan tetap pro rakyat," kata Duta Lingkungan Indonesia ini.

Ginanjar juga menguraikan sejumlah inisiatif dari komunitas orang muda yang perlu dipertimbangkan, misalnya soal edukasi iklim. “Pendidikan soal iklim belum ada dalam kurikulum. Materi ini penting untuk membentuk generasi yang lebih siap dan lebih tahan iklim. Karena pikiran mereka terbuka soal masalah iklim, mereka kemudian akan terbentuk menjadi pemimpin yang mampu memikirkan solusi iklim.(ril) 

Editor: Nila Ertina

Related Stories